Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Pilkada) oleh rakyat merupakan satu pergeseran paradigma dalam kancah perpolitikan. Pergeseran paradigma ini menunjukkan ciri yang demokratis. Kedaulatan rakyat dijunjung tinggi. Satu langkah maju dalam berpolitik. Rakyat bukan sebagai penonton pasif-reseptif atas keputusan melainkan rakyat berpartisipasi dan bahkan sebagai konstituen determinan.
Pilkada menandakan pengafirmasian kedaulatan rakyat dan penjujungan hak politik rakyat. Membaca gejala Pilkada dalam hingar bingarnya bersama Edmund Husserl berarti mencoba menyingkap apa substansi (noumenon) dari balik gejala (fenomena) yang unik dan beragam. Pilkada menjadi penyingkapan realitas politik yang sebenarnya. Politik dan Pilkada bukanlah suatu domaian privat yang ‘haram’ untuk segelintir orang.
Baca juga: Pemilu 2024, Dewan Pers Mendesak Media Terapkan Pedoman Pemberitaan Isu Keberagaman
Pilkada menjadi proses demokrasi yang melampaui fenomena politik kekuasaan yang tidak jarang mengatup rapat-rapat realitas politik yang sebenarnya. Pilkada menjadi antitesis yang turut menentukan praktik politik dalam sejarah perpolitikan Indonesia. Pilkada sebagai noumenon politik.
Politik merupakan proses yang dilakukan rakyat. Proses untuk menata hidup bersama dalam suatu masyarakat. Politik senantiasa bersinggungan dengan rakyat sebagai pelaku proses politik. Karena afirmasi inilah politik mewujud dalam diskusi dan perbincangan dimana “ruang antara” (Zwichenraueme) antar manusia terbuka dan sebuah dunia bersama dengan kebaikan terbentuk.
Filsuf Hannah Arendt meyakini bahwa “politik adalah kasih yang diwujudnyatakan kepada dunia”. Pernyataan ini mungkin terlalu tendensius dan serentak diamini sebagai suatu cita-cita atau idealisme bahkan terkesan paradoksal. Cinta kepada dunia (manusia dan alam) adalah suatu panggilan kemanusiaan. Panggilan untuk suatu perubahan hidup yang lebih bermartabat lewat karya-karya karitatif dalam semangat solider dengan manusia dan alam.
Politik bukan sekedar perkara “apa yang harus orang inginkan atau rasakan” tetapi juga apa yang harus orang alami secara nyata (tentu kebaikan bersama). Dalam politik, dunia bersama dibangun atas dasar komunikasi. Keputusan politis tidak semata diambil atas dasar suara terbanyak tetapi harus lahir dari sebuah proses diskursus. Diskursus menciptakan dunia bersama yang memungkinkan hidup bersama. Karena itulah kita menjadi ‘warga politik,” tulis Hannah Arendt (1977).
Baca juga: Pemilu 2024, Dewan Pers Mendesak Media Terapkan Pedoman Pemberitaan Isu Keberagaman
Rakyat menjadi syarat mutlak (conditio sine quo non) bagi politik. Maka Pilkada menjadi pengafirmasian politis atas upaya pengembalian realitas politik kepada pengakuan kedaulatan rakyat. Rakyat diserahi hak politik untuk memproses hidup bersama, menyepakati sebagai konsensus dan mendialogkan tata laksana aturan dalam mencapai kesejahteraan bersama. Pilkada menjadi momen legitim hak rakyat.
Kedaulatan politik dinyatakan secara legitim melalui pemilihan secara langsung oleh rakyat mencirikan rasionalitas politik. Rasionalitas politik berkaitan erat dengan perwujudan demokrasi kerakyatan. Pilkada idealnya sebagai pencapaian rasionalitas politik kerakyatan. Hal ini menunjukkan perluasan pemahaman dan pemaknaan rakyat akan politik. Pilkada sebagai peralihan rasionalitas politik yaitu dengan menempatkan kembali rakyat sebagai pelaku utama yang bermartabat.
Rasionalitas politik yang dicapai melalui proses pilkada adalah aktualisasi pelimpahan kedaulatan rakyat.Pilkada sebagai legitimasi hak rakyat menunjuk pada kebebasan dan otonomi masyarakat. Pilkada menjadi tanda penjunjungan dan pengakuan kebebasan rakyat dan otonominya untuk memilih. Kebebasan menyatu dengan eksistensi manusia. Kebebasan adalah kemampuan seseorang untuk menentukan sendiri apa yang mau dilakukan. Kebebasan berkaitan erat dengan self determination. Kebebasan menjadi hal yang fundamental dalam demokrasi. Karena hanya dengan individu-individu yang bebas ini demokrasi menjadi mungkin. Pembicaraan tentang demokrasi hanya mungkin apabila para warga menyadari diri sebagai manusia yang bebas dan dapat menentukan sikap sendiri.
Baca juga: Caleg Miskin Gagasan Andalkan Politik Uang
Kebebasan menjadi penjamin berlangsungnya demokrasi sebab sistem ini membuka ruang bagi rakyat untuk bersikap kritis. Sikap kritis dimungkinkan oleh kebebasan mengambil jarak. Supaya demokrasi ada dan survive dibutuhkan kebebasan dan sikap kritis yang selalu bertanya tentang tempat dan martabat manusia sebagai manusia dalam demokrasi.
Demokrasi hanya dapat bertahan apabila yang menjadi tujuannya adalah kebebasan para warga. Karena itu, demokrasi mesti diabdikan bagi perwujudan politik dan pelaksanaan kebebasan manusia. Pilkada menjadi momen aktualisasi kebebasan rakyat.
Kualitas suatu demokrasi dapat ditakar melalui kebebasan rakyat untuk menyalurkan aspirasi politiknya. Karena itu, kebebasan mesti dijadikan kriteria penilaian sebuah demokrasi.
Pilkada memberi peluang bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam politik. Melalui Pilkada partisipasi rakyat menjadi terbuka. Rakyat melibatkan diri sebagai pemberi suara sekaligus sebagai pemantau yang kritis. Hal ini menunjukkan demokratisasinya. Dalam demokrasi, rakyat mempunyai hak untuk memilih. Pilihan selalu terarah pada suatu tujuan yang hakiki yang menjadi dasar dan horison dari nilai. Karena itu pilihan harus dijiwai kesadaran untuk membangun kesejahteraan umum (bonum commune). Kesejahteraan yang dimaksud bukan terbatas pada hal-hal material melainkan terarah pada nilai-nilai kemanusiaan. Kesejahteraan yang terarah pada pembangunan martabat manusia sebagai manusia.
Dalam Pilkada rakyat dihadapkan pada kemungkinan-kemungkinan. Karena itu sikap selektif amat dibutuhkan. Pilihan yang rasional juga adalah pilihan yang dipertimbangkan secara rasional dari kemungkinan-kemungkinan yang ada. Sesuai dengan kondisi yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap nilai-nilai humanis dan hati nurani. Karena itu pilihan yang selalu rasional berada dalam kerangka kriteria penilaian. Memilih berarti menilai dari kemungkinan-kemungkinan. Dalam penilaian itu otonomi ditampakkan. Hanya pribadi otonom dapat menentukan sikap dan pilihan secara benar sesuai dengan hati nurani. Kriteria yang dipakai untuk menilai suatu kemungkinan adalah penghargaan otonomi manusia.
Baca juga: Pemilu 2024, Politik Uang: Harga Suara Lebih Murah dari Bibit Babi (2)
Menilai dalam kebebasan adalah menilai secara otonom tanpa diintimidasi oleh pihak manapun. Keterikatan dan keterpasungan pada suatu kepentingan sektarian dengan intrik kekuasaan, kebebasan akan terbelenggu. Rasionalitas dan otonomi dipertanyakan, pada galibnya pertanggungjawaban terhadap sebuah pilihan lemah; hakikat kemanusiaan dipersoalkan.
Pengambilan sikap dan tindakan menyangkut seluruh kemanusiaan. Pengambilan sikap adalah totalitas kemanusiaan dan menentukan pilihan adalah tanggungjawab kemanusiaan dan nilai-nilai sosial. Pilihan berkaitan erat dengan pengambilan sikap. Pengambilan sikap ini menjadi lebih signifikan manakala disertai dengan suatu pemahaman dan kesadaran yang jelas tentang pilihan. Oleh karena titu menjatuhkan pilihan dalam pilkada harus melepaskan diri dari keterikatan-keterikatan primordialisme, sukuisme, atau kepentingan politik tertentu. Praksisnya tidak dapat dielakkan sama sekali kecenderungan untuk mempertimbangkan privilese politik tertentu..
Riil politik saat ini bukanlah mimpi indah.Harapan akan tatanan politik yang bermartabat dan kualitas hidup yang baik selalu berbenturan dengan realitas kebobrokan (malum). Cita-cita politik untuk bonum commune jauh panggang dari api karena para elite politik lebih memperjuangkan kepentingan pribadi (bonum privatum) .
Kecenderungan para elite untuk memperhatikan kepentingannya sendiri dan kepentingan partai politiknya. Kecenderungan-kecederungan ini tidak jarang menyeret para penguasa ke praktik tidak fair untuk berusaha mengakomodasikan pertimbangan dan kepentingan para warga, dengan memberikan sumbangan material.
Kecenderungan yang demikian tidak lain yaitu selain untuk memperoleh simpatisan dan menggaet simpati massa juga untuk mengukuhkan posisi. Hal ini yang menjadi kelemahan yang perlu dikritisi. Pemberian itu tidak fair dalam politik karena dalamnya suara masyarakat dibeli dan diukur dengan hal-hal material. Pemberian itu juga menunjukkkan pencaplokan rasionalitas, kebebasan dan otonomi masyarakat. Otonomi masyarakat dikungkung. Masyarakat terikat pada pemberian dan kekuasaan tertentu. Dengan demikian aktualisasi kebebasan dan otonomi menjadi kabur.
Baca juga:,Pemilu 2024, Keluarga dan Tetangga di Pusaran Politik Uang (1)
Cita-cita demokrasi dalam pilkada dapat tercapai jikalau mekanisme dan tujuan berpolitik menempatkan penghargaan terhadap kebebasan dan otonomi masyarakat. Mekanisme berpolitik harus beralih kepada kebebasan masyarakat dari pemberian barang-barang material atau money politic yang mengikat kebebasannya.
Demokrasi menunjukkan kualitasnya manakala tercipta iklim komunikasi yang bebas dominasi dengan memberikan ruang bagi publik untuk secara bebas memilih sesuai dengan hati nuraninya. Pilkada sesungguhnya merupakan pengafirmasian kebebasan dan otonomi masyarakat. Karena itu jangan pernah mencaploknya! Kita akan mengggelar Pilkada massal yang akan terjadi serempak pada tanggal 27 November 2024 di beberapa Kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kita mengharapkan jalannya proses pilkada sungguh menampakkkan kebebasan, dan otonomi masyarakat untuk memilih. [*]