Kupang – Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Sumba disebut masih memerlukan ekosistem bisnis mulai dari garapan energi hingga distribusinya.
Proyek ini butuh banyak investor dan pengusaha untuk menaruh modal. Konsorsium besar masih kurang sehingga perlu mengatasinya demi mewujudkan proyek ini.
Jusuf Adoe selaku Kepala Dinas Energi, Sumber Daya dan Mineral (ESDM) Provinsi NTT menjelaskan hal itu saat dihubungi beberapa waktu lalu.
Menurut Jusuf, PLTS Sumba diproyeksikan memproduksi daya yang terbilang terbesar di dunia yaitu hingga 2 Gigawatt. Lokasi PLTS Sumba berada di Tanambanas yaitu di utara wilayah Sumba Tengah.
Memang saat ini potensinya tengah diuji di lapangan seiring pembentukan konsorsium yang masih dijajaki.
Baca juga: Tri Mumpuni Ajak NTT Tingkatkan Koperasi Berbasis Energi
Ekosistem kelistrikan pendukung memang menjadi kendala. Hal ini karena daya yang diproduksi PLTS Sumba rencananya didistribusikan antar pulau di luar NTT bahkan luar negeri. Maka dibutuhkan penyedia kabel bawah laut maupun darat.
PLTS Sumba ini, kata Jusuf, dapat menyuplai listrik ke daerah yang memiliki beban daya yang besar seperti Bali dan Pulau Jawa. Untuk itu dibutuhkan kerja sama bisnis dan investasi untuk proyek yang terbilang besar nilainya.
“Ini tentunya butuh suatu konsorsium atau ekosistem yang besar. Saat ini sedang kita proses,” kata dia.
Namun begitu banyak pihak yang telah menaruh minat pada proyek ini terutama pengusaha dan investor di dalam negeri.
Menurut Jusuf, PLTS Sumba menjadi upaya transisi energi secara perlahan di samping sedang dilakukan penyesuaian kehandalan teknologi untuk sumber energi lainnya.
Pemerintah Provinsi NTT telah mengatur transisi ke energi baru terbarukan (EBT) dengan Perda Nomor 10 tahun 2019. Aturan ini fokus pada energi primer ke depan dengan menggunakan energi berbasis EBT seperti panas bumi, tenaga surya, angin, air dan arus laut.
Baca juga: Perusahaan Skotlandia Gandeng ITS Studi Potensi Listrik di Selat Gonzalu
Jusuf menyebut transisi ini adalah rencana jangka panjang seiring dengan biaya dan nilai investasi besar-besaran yang harusnya masuk ke daerah.
“Energi yang dibangun harusnya dapat terdistribusi dengan baik. Kalau semua potensi dibangun tapi bila tidak terserap ya sama saja, tidak bisa, karena membangun energi ini berkaitan dengan investasi,” paparnya.
Saat ini PLN telah menggarap EBT di NTT. PLN sebagai perusahaan negara ditugaskan untuk beralih dari energi fosil ke EBT. Misalnya energi panas bumi di Ulumbu dan Mataloko.
“Mereka lagi tingkatkan kapasitas dari 10 megawatt mau naik lagi. Terus Mataloko juga mau dicari sumber yang baru,” kata Jusuf.
PLN juga bekerja sama dengan Universitas Nusa Cendana dalam penggunaan energi biomassa pengganti batu bara. Energi biomassa ini dihasilkan dari tanaman seperti lamtoro dan kaliandra yang nantinya akan menjadi bahan baku co-firing atau woodchip. Dedaunannya untuk pakan ternak.
NTT sendiri belum mempunyai gambaran ketersediaan mineral yang menjadi bahan baku pembuatan baterai kendaraan listrik yaitu nikel. Survei lebih detail diperlukan untuk mengetahui potensi nikel yang terkandung di wilayah NTT.
“Yang jelas mangan ada, emas juga,” sebut Jusuf.
Baca juga: Jokowi Tegaskan Komitmen Soal Industri Kendaraan Listrik, PLN Jadi Pemain Utama
Sementara pembahasan PLTS Sumba sebagai suplai listrik terbesar telah beberapa kali diutarakan oleh Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat.
Gubernur NTT ini juga menyinggungnya saat Group Suryagen meminta dukungan terkait pengembangan proyek PLTS di Manggarai Barat dan Sumba September 2021. Kadis ESDM NTT, Jusuf Adoe hadir dalam pertemuan itu.
“Kita sedang merancang pengembangan PLTS di Sumba dengan daya 2 Gigawat (GW). Kami terus melakukan koordinasi dengan berbagai kementerian dan pihak-pihak terkait agar proyek monumental ini bisa dijalankan. Saya juga akan berkomunikasi dengan Bapak Presiden tentang proyek ini. Kalau (proyek) ini bisa dilaksanakan, maka ini merupakan PLTS terbesar kedua di dunia setelah Cina yang telah mengembangkan PLTS 2 Gigawat lebih,” kata Viktor.
Viktor menjelaskan, skema proyek PLTS Sumba ini adalah Bussines to Bussines (B to B) atau tanpa menggunakan APBN. Ia yakin investor dari dalam maupun luar negeri tertarik.
“Sudah ada investor dari Cina, Italia dan Singapura yang merasa tertarik untuk menggarap mega proyek ini,” sebutnya.
Group Suryagen membenarkan telah melakukan beberapa tahapan di lapangan melalui anak perusahaannya terkait pengembangan PLTS di Manggarai Barat sebesar 30 MW dan Sumba sebesar 2 GW. (Putra Bali Mula)