Di 5 Mei 2021, kala Covid-19 merebak dan menghambat segala aktivitas manusia, Venny memilih membuka usaha selai nanas di Kupang, NTT.
“Jadi ini resep turun temurun. Biasanya kalau ada perayaan trus buat nastar begitu. Selainnya pakai ini,” jelas Venny ketika disambangi di rumah produksinya di BTN Kolhua, Kupang, NTT.
Dengan dukungan suaminya Bartholomeus Lahera dan adik perempuannya Yati Reinnati, mereka bertiga menjalankan usahanya itu.
Buah nanas mereka datangkan dari wilayah NTT.
“Tergantung daerah mana yang lagi musim. Kami ambil dari sana. Kadang Ende, kadang dari Timor sini,” ujar Yati.
Namun bila kosong, mau tak mau mereka datangkan dari Pulau Jawa. Akan tetapi, rasa nenas yang berbeda membuat mereka mengupayakan tetap menggunakan nanas dari NTT.
“Kalau dari Jawa itu rasanya manis. Mereka sebut nanas madu. Nah kalo di sini, nanasnya ada rasa masamnya. Jadi rasa nanasnya lebih terasa,” jelas Venny.
“Trus lebih berserat nanas kita ini,” tambah Bartholomeus, atau yang biasa disapa Meos ini.
Buah nanas kemudian dibersihkan dan diblender hingga halus. Sarinya kemudian diambil dan dimasak bersama gula pasir, kayu manis, vanilla.
“Dan gula lempeng (gula merah). Ini yang buat jadi khas. Makanya kita kasih nama khas Kupang,” ujar Yati, perempuan 42 tahun itu.
Yati Dalam Proses Memasak Sari Nanas Untuk Dijadikan Selai Nanas Victoria (Ruth-KatongNTT)
Bahan-bahan itu kemudian dimasak hingga sekitar dua-tiga jam dengan api kecil. Hingga pada kekentalan yang sesuai, api dimatikan dan selainya didinginkan. Baru kemudian dikemas.
Selai Victoria dikemas dengan berat 200 gram. Dijual dengan harga Rp19 ribu per botol.
“Sekali produksi bisa dua lusin, tiga lusin,” jelas Meos.
Terdapat dua selai yang diproduksi. Selai oles untuk dimakan dengan roti tawar, dan selai untuk isian kue.
“Bedanya itu kalau untuk isian kue itu lebih kental. Padat,” kata Venny.
Ketiganya saling menopang dalam menjalankan usaha ini. Venny dan Yati bertugas memproduksi selai. Sedang Meos, mengambil bagian dalam proses pembersihan nanas dan mengantar pesanan para pelanggan.
Juga ada Putri Zilvania Lahera, cucu Meos dan Venny yang turut serta membantu dalam proses pembuatan dan pengantaran.
“Antar ke toko-toko roti,” kata Putri, bocah enam tahun ini.
Venny sedang mengemas selai nanas Victoria (Ruth-KatongNTT)
Dengan tanpa bahan kimia dan masa ketahanan hingga satu tahun, produk mereka diminati masyarakat.
Hingga saat ini, sudah 41 swalayan, toko oleh-oleh, maupun toko roti di daratan Timor, dan dari Timor Leste yang memasok Victoria Selai ini.
Satu syarat yang mengharuskan adanya karyawan jadi hambatan buat mereka.
“Minta maaf tapi karyawannya pun harus yang muslim. Nah ini memang usaha ini ada untungnya. Tapi beriringan dengan naiknya bahan-bahan. Kami hanya dapat 6-7% dari tiap penjualan satu botol. Kalau ada karyawan, kita harus bayar. Hasilnya saja hanya cukup untuk kami,” jelas Meos.
Meski demikian, harap mereka usaha ini terus berkembang agar bisa mengurus sertifikat halal itu.
Kata Meos, produk mereka ini dapat dikatakan menjadi yang pertama di NTT.
“Karena belum ada yang produksi dan pasarkan ya, setau saya,” kata Meos.
Meos, dalam usianya yang menginjak 62 tahun itu mengatakan, tujuan utama mereka membuat bisnis itu hanyalah untuk meninggalkan jejak baik ke anak-anak.
“Sebagai satu contoh bahwa kami yang sudah tua bisa bekerja seperti ini. Apalagi anak-anak. Jadi kita tidak perlu bicara dengan kata-kata. Tapi dengan tindakan,” tandasnya. *****