Kupang – Yasinta Linome, perempuan 70 tahun ini merupakan penenun Buna asal Ayotupas yang masih aktif menenun.
Sejak kecil, Yasinta sudah diajari menenun.
“Karena dulu itu perempuan harus bisa tenun baru diperbolehkan nikah,” jelas Katarina Beukliu, anak dari Yasinta.
Ini jadi tradisi sejak dulu hingga sekarang di Ayotupas, TTS, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Anak-anak perempuan di Ayotupas diajarkan menenun sejak dini. Kini, menenun jadi satu mata pencaharian para perempuan Ayotupas.
Baca Juga: Sikka dan Alor Mendaftarkan Indikasi Geografis Tenunnya, 13 Kabupaten Menyusul
Tenunan Buna memang unik. Kainnya diberi warna lalu motifnya diikat sehingga membuat motifnya timbul. Nilai jualnya relatif mahal.
“Jadi tenun Buna ini beda dengan tenun ikat. Kalau tenun ikat, motifnya diikat, baru kainnya dikasih warna, setelah itu ikatannya dilepas. Kalau Buna, kain sudah dikasih warna, baru motifnya diikat sambil tenun,” jelas Katarina.

Ia mengatakan jenis tenun Buna ini bukan hanya ada di Ayotupas saja. Tapi bisa ditemui di Kefa, maupun Malaka.
“Tapi kalau yang dari Ayotupas itu kebanyakan motifnya hewan,” ujar perempuan usia 36 tahun ini.
Beberapa motif yang sering dibuat ialah berbentuk katak, cicak, belalang sembah, ayam, udang, laba-laba, burung, dan ada pula bentuk manusia.
Motif-motif ini diambil dari apa yang terlihat di Ayotupas.
“Motif sin ia nako au aina sin moe nain (motif-motif ini dari nenek saya mereka sudah buat),” ujar Yasinta.
Sehingga secara turun temurun jenis motif hewan yang dibuat.
Katarina menambahkan, dulu tak ada foto maupun kemampuan orang untuk menggambar. Mereka mengandalkan petunjuk alam saat hendak menenun.
Sehingga para tetua hanya menggunakan imajinasi ketika membuat motif di tenunan mereka.
“Jadi kalau misalnya mereka mau tenun, dan ada dengar suara misalnya burung. Mereka pikir dan buat itu,” jelasnya.
Katarina mengatakan, proses menenun tenunan Buna mencapai tiga minggu hingga enam bulan. Tergantung dari motif apa yang dibuat dengan ukuran kain.
“Paling lama itu motif ayam udang. Apalagi kalau pakai pewarnaan alami. Kita mesti cari dulu bahan pewarnaannya di hutan. Sudah begitu motifnya susah,” ucap Katarina.
Lebih lanjut ia menjelaskan, motif ayam udang sendiri terdapat filosofinya sendiri.

Ayam melambangkan waktu. “Orang tua dulu tidak mengenal jam. Jadi mereka tanda dari ayam. Kalau sudah berkokok, tandanya mulai kerja,” jelasnya.
Sedangkan Udang dilambangkan sebagai keceriaan.
Tenunan Buna dari Ayotupas ini dijual dengan harga minimal Rp200 ribu hingga yang termahal mencapai Rp 6 juta per lembar kain.
“Orang bilang buat ini gampang saja. Coba sesekali mari buat. Ini tidak gampang,” ujar Katarina.
Menghidupi Keluarga Dari Tenunan
Yasinta sejak ditinggal suaminya pada 1996, ia akhirnya harus banting tulang sendiri menyekolahkan tujuh orang anaknya.
“Au usosa tais, u skol au ana sin, (saya jual kain tenun untuk sekolahkan anak-anak),” kata Yasinta.
Baca Juga: Mariance Kabu Suarakan Perlawanan dan Pulihkan Trauma Lewat Tenun
Sejak tahun 1996, Yasinta mulai berjualan tenun di Kupang. Ia menggunakan kendaraan umum dari Ayotupas.
Ketika sampai di Kupang dia mulai menjajal tenunannya ke beberapa toko langganan. Bahkan hingga kini.
“Au usosa tais neno ne Rp125 (saya jual kain waktu itu harganya Rp125),” kata Yasinta.
Dari hasil jualannya itu, ia menyekolahkan ke tujuh anaknya hingga sarjana.
Namun demikian, lima orang anak perempuannya tetap menenun hingga saat ini.
Yasinta di usia senjanya masih menenun. Katanya, “anam mnahat (buat beri nasi/beras),”
Sedangkan Katarina sejak menamatkan pendidikan strata satu di bidang keagamaan di 2016 lebih memilih berjualan tenun.
Kini dia punya toko sendiri dan mempekerjakan orang juga untuk membuat produk turunan dari tenunnya. Seperti sepatu, topi, tas, gelang, dan gantungan kunci.

Walau banyak yang menyesalkan tindakannya itu, namun Katarina bahagia menjalani harinya sebagai penenun dan ibu rumah tangga. Penghasilannya pun mencukupi.
“Saya punya kawan bilang percuma lulus S1 tapi kerja jadi penenun. Sekarang, mereka lihat saya punya kerja dan pendapatan begini, mereka juga mau,” katanya sambil tersenyum.
Saat disinggung akan penghasilannya per bulan, Katarina enggan mengutarakannya secara terbuka.
“Sampai dua digit angkanya, ma?,” tanya saya.
Katarina hanya tertawa sambil mengangguk: “Ya begitulah.” *****