Kupang – Weli Manafe, 52 tahun, fokus memproduksi makanan tradisional Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kreativitasnya tak berhenti di satu atau dua produk, tapi lebih dari 10 produk dengan bahan dasar khas NTT.
Dengan modal awal Rp200 ribu, Weli berhasil mengembangkan usaha UMKM miliknya . Awalnya hanya memproduksi dan menjual abon ikan.
Weli memulai usaha kecil-kecilan dengan memproduksi abon ikan tahun 2009. Dia memberdayakan hasil laut yang melimpah di NTT.
Tak hanya memafaatkan bagian daging ikan untuk abon ikan dan dendeng ikan, Weli juga mengolah tulang ikan untuk membuat camilan. Sebelumnya, tulang ikan hanya jadi sampah.
“Kita buat inovasi, bagaimana pemanfaatan tulang ikan. Selama ini tulang ikan itu dibuang saja. Palingan hanya dijadikan makanan binatang. Makanya kami buat camilan stik tulang ikan,” kata Weli saat ditemui di rumahnya di kawasan Lasiana.
Seiring berjalan waktu, sayap bisnis Weli berkembang ke produk pertanian seperti jagung, ubi, dan pisang. Dia memproduksi marning jagung, aneka keripik pisang dan ubi.
Baca Juga: Gokma Tampubolon Kembangkan Bisnis Madu “Big Bolon” dari Hutan Timor
Dan, Weli berlanjut ke produksi teh kelor dan serbuk kelor. Weli menyadari manfaat serta potensi kelor di NTT.
“Ini (kelor) kan untuk mencegah stunting juga, jadi kami buat teh kelor dan serbuk kelor. Karena memang ini sangat bermanfaat dan bisa dikonsumsi semua kalangan,” tuturnya.
“Selain itu, ada stik kelor. Itu produk turunan dari kelor itu. Lalu stik ubi ungu,” imbuh perempuan asal Pulau Rote ini.
Selain 10 produk olahan yang sudah disebutkan di atas, Weli bersama kelompok UMKMnya yang diberi nama Mawar juga membuat gula semut, kacang telur, pisang gula lontar, hingga minyak kayu putih.
Ide untuk membuat banyak produk ini muncul dari banyaknya permintaan dari pelanggan.
“Prinsipnya yang penting bisa menghasilkan uang saja. Jadi apa saja yang bisa dibuat yang penting bisa menghasilkan uang. Jadi kenapa harus lebih dari satu, karena kami layani sesuai dengan permintaan konsumen,” ujar ibu empat anak itu tertawa.
Menurutnya, konsumennya suka akan rasa produk buatannya. Weli jadi bersemangat untuk bekerja.
Alhasil, Weli meraup untung bersih mencapai Rp 10 juta per bulan.
”Kalau modal awal itu 200 ribu. Akhirnya (uang) berputar, sekarang ya, perbulan itu bisa lima sampai 10 juta per bulan” ungkap Weli.
Weli juga melek dengan pemanfaatan media sosial dalam pemasaran produk UMKnya. Dia menjual produknya melalui media sosial ketimbang menitipkannya di toko-toko.
Baca Juga: Mobi Pada Jual Sedotan dari Rumput dan Bambu Aur
Dulu dia menintipkan produknya di toko-toko di Kupang, namun hingga tiga bulan berselang, tak ada pemasukan. Untuk itu ia lebih memilih menggunakan jejaring sosial dan rajin mengikuti kegiatan-kegiatan yang dilakukan di Kota Kupang untuk memamerkan produk buatannya.
“Karena di toko-toko sistemnya titip, makanya perputaran uangnya susah. Palingan kalau ada kegiatan-kegiatan, baru ada booth, di situ kita biasa pasarkan. Nah di situ kalau ada konsumen yang datang belanja, kami kasih dengan kartu nama. Mereka tinggal menghubungi nomor yang tertera. Dan akan kami antar ke alamatnya,” kata Weli.
Meski tidak lagi menitipkan produknya di toko-toko, namun Weli mendapat tempat untuk memajang produk-produk olahannya di Dekranasda NTT.
“Karena perputaran uangnya tidak macet. Jadi kita UMKM tetap hidup, karena kan produksinya rutin,” ujar Weli memberi alasan produknya dijual di Dekranasda NTT.
Memproduksi banyak produk olahan dan meraup laba yang lumayan, menurut Weli sebagai hasil belajar dari lingkungan sekitarnya dan dari pelatihan-pelatihan yang dibuat pemerintah.
“Kalau untuk latar belakang (pendidikan), saya tidak punya titel S (sarjana). Untuk pendidikan saya hanya batas SMA. Tapi bagaimana saya bisa belajar untuk membuat inovasi. Itu belajar dari teman-teman yang tahu. Jadi kita saling belajar. Selain belajar dari teman, kalau ada pelatihan dari dinas-dinas ikut,” jelasnya.
Dia menekuni pekerjaannya yang sudah lumayan lama juga. Kenangan indah tak terlupa. Misalnya ketika tangan terluka karena harus menekan kuat daging ikan agar benar-benar kering dari minyak untuk menjadi abon.
“Dulu kan belum ada mesin spinner untuk keringkan abon. Jadi masih pakai alat yang kecil, dan itu harus ditekan kuat. Jadi tangan sampai luka,” ujarnya
Kamar tidur anaknya pernah terpaksa beralih fungsi menjadi ruang produksi.
“Supaya bisa dapat izin edar dan halal,” jelas perempuan yang sudah memiliki cucu itu.
Pekerjaan rumah yang masih dia hadapi adalah pengurusan izin halal serta belum tersedia mesin pengering kelor.
Bonus dari ketekunan menjalani usaha UMKM selama 13 tahun adalah Weli menjadi salah satu pengajar dalam pelatihan UMKM bagi pemula yang ingin serius berbisnis UMKM.
“Kebetulan dipercayakan dari komunitas perempuan. Jadi kalau ada permintaan dari kelompok-kelompok di kabupaten misalnya, untuk kami fasilitasi, maka ilmu yang kami miliki, kami bagi juga ke orang lain,” pungkas Weli tersenyum. *****