Pagi itu, 18 Juni 2025, pengelola akun @neohistoria_id membuka surel dari platform X. Isinya mengejutkan—pemberitahuan resmi bahwa Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) telah mengirimkan laporan ke X atas salah satu unggahannya. Cuitan yang dimaksud adalah utas sejarah tentang pernyataan kontroversial Wiranto, mantan Panglima ABRI, yang membantah adanya pemerkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998.
Diunggah sehari sebelumnya, utas itu berbunyi: “Ave Neohistorian! Jauh sebelum Fadli Zon, Wiranto yang sebelumnya menjabat sebagai Panglima ABRI, pernah mengutarakan nada serupa bahwa peristiwa kerusuhan Mei 1998 tidak pernah terjadi [SEBUAH UTAS].”
Di bawahnya, terdapat foto Wiranto berseragam dengan narasi: “WIRANTO: TIDAK ADA PEMERKOSAAN MASSAL PADA MEI 1998.”
Bukan hanya satu akun. Di hari yang sama, @perupadata juga menerima pesan serupa. Cuitannya—yang mengutip angka kekerasan seksual selama kerusuhan dan menyentil pernyataan Menteri Kebudayaan—dilaporkan oleh Komdigi ke X.
Baca juga: Perlawanan Marlina dan Politik Kekerasan terhadap Perempuan NTT
“Padahal data menunjukkan ada 152 orang jadi korban kekerasan seksual selama masa kritis, 20 di antaranya meninggal,” tulis @perupadata.
Tidak satu pun dari dua surel tersebut menjelaskan bagian mana dari unggahan yang dianggap melanggar hukum. Tidak ada pasal yang dirujuk, tidak ada penjelasan substansi. Yang ada hanyalah pernyataan umum bahwa konten tersebut “melanggar peraturan perundang-undangan di Indonesia.”
Sejarah yang Tak Diakui, Luka yang Tak Kunjung Sembuh
Mei 1998 adalah bab gelap dalam sejarah Indonesia yang belum sepenuhnya dibuka. Saat Orde Baru runtuh, Jakarta dan beberapa kota lain dilanda kerusuhan, penjarahan, pembakaran, dan kekerasan. Dalam kekacauan itu, laporan tentang pemerkosaan terhadap perempuan—terutama etnis Tionghoa—mengemuka dan memicu kemarahan publik.
Komnas Perempuan dan Tim Gabungan Pencari Fakta menyatakan bahwa kekerasan seksual saat itu bersifat sistematis, bukan kebetulan. Namun dua dekade lebih berlalu, negara belum juga memberikan pengakuan resmi dan langkah pemulihan. Bahkan sebaliknya, belakangan ini muncul suara dari sejumlah pejabat yang justru menyangkal kekerasan seksual tersebut pernah terjadi.
Baca juga: Ribuan Kasus Kekerasan Menimpa Perempuan di NTT, Mengapa?
Dalam pidato kenegaraan di depan DPR pada 16 Agustus 1998, Presiden Habibie secara tegas mengutuk tindakan kekerasan seksual terhadap perempuan etnis Cina pada Tragedi Kerusuhan Mei 1998:
“Huru-hara berupa penjarahan dan pembakaran… disertai tindak kekerasan dan perundungan seksual terhadap kaum perempuan, terutama dari kelompok etnis Tionghoa. Seluruh rangkaian tindakan tidak bertanggung jawab tersebut sangat memalukan dan telah mencoreng muka kita sendiri sebagai bangsa yang berakhlak dan bermoral tinggi… Sebagai bangsa yang berbudaya dan beragama kita mengutuk perbuatan biadab tersebut. (CNN)
Bagi generasi muda yang tumbuh setelah Reformasi, sejarah Mei 1998 banyak dikenali melalui media sosial. Akun-akun seperti @neohistoria_id dan @perupadata memainkan peran penting sebagai pengingat kolektif dan kurator sejarah alternatif yang jarang disentuh kurikulum formal. Ketika akun-akun ini dibungkam, yang terancam bukan hanya kebebasan berbicara, tapi juga kemampuan bangsa ini untuk belajar dari masa lalunya.
Baca juga: Mengenal 4 Jenis Kekerasan Yang Dialami Perempuan

Pola yang Berulang
Menurut laporan SAFEnet, kasus ini bukan yang pertama. Selama Pemilu 2024, dan dalam berbagai isu publik—seperti tambang nikel di Raja Ampat dan kritik terhadap kebijakan perdagangan—banyak konten yang dilaporkan atau dihapus atas permintaan pemerintah. Konten @ZakkiAmali tentang tambang dan @MF_Rais tentang hubungan dagang Indonesia-AS adalah contoh lain dari pola intervensi yang semakin meluas.
Koalisi Demokratisasi dan Moderasi Ruang Digital Indonesia (Koalisi Damai), yang terdiri dari 16 organisasi masyarakat sipil termasuk AJI, SAFEnet, ELSAM, dan CfDS UGM, menyatakan keprihatinan mendalam. Mereka menyebut langkah Komdigi sebagai bentuk moderasi konten yang “serampangan,” tidak transparan, dan membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan.
“Permintaan penurunan konten yang tidak disertai penjelasan hukum yang jelas melanggar prinsip akuntabilitas,” ujar SAFEnet dalam pernyataannya.
“Jika konten tersebut bersifat jurnalistik, penyelesaian seharusnya melalui mekanisme Dewan Pers, bukan intervensi langsung ke platform.”
Baca juga: Kerentanan Berlapis Perempuan Difabel Hadapi Kekerasan Seksual
Antara Negara, Platform, dan Publik
Masalah ini tidak hanya menyangkut satu kementerian. Ia mencerminkan hubungan rumit antara negara, perusahaan teknologi, dan masyarakat. Platform seperti X dihadapkan pada dilema: mematuhi permintaan pemerintah yang tidak selalu disertai legitimasi hukum, atau mempertahankan prinsip kebebasan berekspresi yang dijunjung dalam standar hak asasi internasional.
Koalisi Damai meminta platform untuk bersikap. “Jangan hapus konten kritis tanpa dasar hukum yang jelas, proporsional, dan sesuai standar HAM,” tegas mereka.
Seruan ini menjadi penting, karena jika platform global tunduk tanpa syarat pada permintaan pemerintah represif, maka ruang digital tidak lagi netral.
Jalan Panjang Menuju Regulasi yang Adil
Kasus ini menyoroti kebutuhan akan kerangka hukum baru. Selama ini, regulasi seperti Permenkominfo No. 5/2020 memberi pemerintah kewenangan luas untuk menghapus konten digital. Tanpa pembatasan yang tegas dan mekanisme pengawasan yang independen, kebijakan ini rawan disalahgunakan.
Koalisi Damai menyerukan agar regulasi digital dirombak—dengan prinsip utama: kebebasan berekspresi adalah hak, bukan fasilitas. Proses takedown harus transparan, dapat diaudit, dan terbuka bagi keberatan. Jika tidak, intervensi negara akan terus meluas, dan pelajaran dari sejarah hanya akan hidup dalam bisikan.
Namun perjuangan ini bukan tanpa hambatan. Resistensi datang dari dalam sistem. DPR, melalui Komisi I, belum menunjukkan inisiatif untuk mengevaluasi atau membatasi kewenangan Komdigi. Sementara itu, kementerian tetap menggunakan pendekatan kontrol, bukan fasilitasi ruang digital yang sehat.
Mengingat adalah Tindakan Perlawanan
Dalam situasi seperti ini, mengingat menjadi tindakan politik. Ketika negara mencoba menghapus bagian-bagian sejarah yang tidak nyaman, publik punya kewajiban moral untuk menghidupkannya kembali. Koalisi Damai berdiri di garis depan perlawanan itu—tidak dengan kekerasan, tapi dengan argumen, data, dan solidaritas.
Mereka percaya, demokrasi tidak hanya dibangun dari pemilu dan lembaga. Ia juga tumbuh di ruang-ruang digital tempat sejarah diperdebatkan, suara-suara kritis dibagikan, dan kebenaran diperjuangkan. Dan sejauh ini, satu hal tetap jelas: ingatan tidak akan bisa dihapus semudah menekan tombol delete. (Novi/Rita)