Kupang – Masyarakat Pulau Timor yang tidak mengkandangkan anjing sebagai hewan pembawa virus rabies membuat kasus penularannya kian tinggi.
Makin banyak kasus rabies maka makin besar operasional yang dibutuhkan dalam penanganannya, sedangkan biaya operasional penanganan rabies di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) masih minim. Sementara pengadaan vaksin anti rabies bagi hewan maupun manusia saja masih bergantung penuh ke pemerintah pusat selama ini.
Baca juga : Jejak Rabies Selama 4 Bulan Meneror TTS
Menurut laporan Dinas Kesehatan NTT ke Kementerian Kesehatan ada 1.823 kasus gigitan dengan 11 korban jiwa di Timor Tengah Selatan (TTS) dan Timor Tengah Utara (TTU) per 15 November 2023.
Kepala Dinas Peternakan Provinsi NTT, Yohana Lisapaly, juga mengakui akibat keterbatasan itulah maka Badan Nasional Penanggulan Bencana (BNPB) kini turun tangan menggunakan Dana Siap Pakai (DSP).
“Pihak kabupaten sendiri menyatakan bahwa mereka kesulitan karena tidak ada biaya operasional,” jawabnya di Harper Kupang Senin 27 November 2023.
Baca juga : Target Vaksinasi Rabies di NTT 70 Persen, Kesadaran Masyarakat Rendah
Yohana tidak merinci berapa tingginya kebutuhan operasional di daerah yang terpapar rabies. Ia saat itu hanya menyebut tiap tahapan yang dilalui dalam penanganan rabies tentu memerlukan dana.
“Dana untuk orang turun ke sana saja mesti butuh bensin, terus butuh tempat pendinginnya supaya vaksin jangan rusak, terus dikalungkan, didata lagi. Kita kan hanya terima vaksin tok. Itu yang kita namakan dengan operasional,” tambah dia.
Masalah ini ditambah dengan tidak adanya data pasti soal populasi anjing di NTT. Perhitungan selama ini hanya berdasarkan estimasi termasuk untuk permintaan vaksin anti rabies.
Baca juga : Warga TTS Tak Peduli Imbauan Cegah Penularan Rabies
“Kesulitan kita yang berikutnya itu terkait dengan populasi. Populasi itu kita masih estimasi. Hasil penelitian bahwa NTT itu setiap 4 orang ada 1 anjing, maka itu yang dipakai, populasi manusia dibagi 4 menjadi populasi anjing,” tukasnya.
Berdasarkan estimasi itu bisa diperkirakan secara rupiah kebutuhan pengadaan vaksin hingga operasionalnya di lapangan.
Target kekebalan populasi melalui vaksinasi sendiri harusnya 70 persen dari total populasi anjing di suatu wilayah terpapar.
Baca juga : TTS Pilih Cara Persuasi Daripada Pidanakan Pemilik Anjing Rabies
Menurut estimasinya populasi anjing di TTS sekitar 60 sampai 70 ribu ekor anjing. Jumlah di TTU pun tidak jauh berbeda dengan itu. Sedangkan keseluruhan populasi di NTT bisa mencapai 500 sampai 600 ribu ekor.
“Untuk itu pemerintah pusat ambil alih ini sebagai bencana karena biayanya besar karena kalau tidak begitu uang tidak keluar,” tambahnya.
Makin tingginya biaya operasional ini, kata dia, dikarenakan masyarakat yang enggan mengkandangkan atau mengikat anjing. Dampaknya penyebaran rabies kian menjadi karena tak ada langkah cegah dini.
Baca juga : Eksekusi Mati Hewan Rabies Tidak Bisa Asal Dilakukan
“Karena kalau anjing itu tertular tapi kalau diikat ya dia akan mati sendiri dan tidak menggigit. Virus ini cari otak makanya dia menggigit hewan lain atau manusia,” imbuhnya.
Pemda NTT pun akan membuat peraturan khusus agar masyarakat memvaksinasi anjing mereka. Ia juga meminta masyarakat dari kalangan ekonomi menengah ke atas bisa memvaksinasi anjing mereka secara mandiri ke klinik hewan bila tidak ingin tertular virus itu.
“Vaksin itu harus setiap tahun maka itu harus ada regulasi yang memaksa masyarakat, kalau masyarakat dalam kondisi tidak mampu ya tolong kandangkan, kalau yang mampu ya wajib vaksin anjing mereka,” imbuhnya lagi.
Baca juga : 5 Anak Korban Rabies Tutup Usia, Andai Segera Dicegah
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengumumkan keterlibatan langsung pemerintah pusat dalam penanganan rabies di NTT.
Ia menyebut BNPB segera membentuk satgas terpadu penanganan darurat rabies di NTT atas permohonan Gubernur NTT.
“Saat ini, vaksinasi pada hewan anjing baru bisa direalisasikan sebanyak 17 persen. Karena pertama memang jumlah vaksinasinya terbatas, kedua biaya operasionalnya rendah,” ucapnya di Kantor Kemenko PMK sepekan lalu. ***




