Borong – Chily tengah asyik menggambar pada selembar kertas kosong pada buku catatan bekas milik adiknya pada Senin, pekan pertama Mei 2024. Ia menggambar mobil yang sedang diparkir di depan sebuah rumah. Di samping rumah itu, ada pepohonan. Jauh di belakang rumah itu, ia menggambar dua gunung dengan awan di atasnya.
“Saya pernah lihat gambar begini. Makanya saya coba tiru sesuai ingatan saya,” kata pemuda 18 tahun itu, dalam bahasa daerah Manggarai.
Chily yang berasal dari sebuah kampung di Kecamatan Kota Komba Utara, Kabupaten Manggarai Timur itu adalah penyandang disabilitas fisik sejak lahir. Ia tidak bisa berjalan. Untuk berpindah tempat di dalam rumah, ia menggunakan bokong dan kedua tangannya. Sedangkan jika hendak ke luar rumah, ia menggunakan kursi roda bantuan pemerintah. Ia baru mendapat kursi roda itu pada 2020.
Baca juga: Kerentanan Berlapis Perempuan Difabel Hadapi Kekerasan Seksual
Karena kondisi fisiknya itu, ia tidak disekolahkan, meskipun dulu ada keinginan (untuk sekolah).
Ia belajar memegang bolpoin hingga menggambar dari kakak dan adiknya.
“Dulu, mereka juga ajar saya tulis. Tapi saya lebih suka gambar,” katanya.
Menggambar, kata Chily, membuatnya tidak jenuh berada di dalam rumah. “Kalau tidak ada kertas dan bolpoin, saya biasanya dengar musik atau nonton TV,” katanya.
Terpaut sekitar 40-an kilometer dari kampung Chily, Lusia (33) sedang bepergian dengan ibunya ke rumah tetangga di sebuah kampung di Kecamatan Kota Komba. Bertamu ke rumah tetangga atau kerabat merupakan kesempatan baginya untuk bisa keluar rumah.
“Kalau mama ajak, baru dia keluar rumah. Kalau tidak, dia di rumah terus. Jarang keluar rumah,” kata Wily , saudara Lusia.
Lusia adalah penyandang tuli. Ia tidak bisa mendengar sejak berusia empat tahun. Saudara maupun ibunya tidak tahu persis penyebabnya.
“Saat usia empat tahun itu, pendengarannya sudah terganggu. Padahal sejak lahir, pendengarannya normal,” kata Wily.
Baca juga: Suara Tanpa Pemilik
Selain tuli, Lusia juga menyandang disabilitas intelektual yang ditandai dengan kurangnya keterampilan dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Orangtuanya tidak menyekolahkannya, meskipun dulu pernah ada tawaran dari seorang biarawati katolik yang mengelola Sekolah Luar Biasa (SLB) di Ruteng, Kabupaten Manggarai.”
Seperti Chily dan Lusia, Natalia, penyandang disabilitas di sebuah kampung di ujung timur Kecamatan Kota Komba juga tidak pernah mengenyam pendidikan. Ia penyandang disabilitas multi: tidak bisa berjalan, tidak bisa mendengar, dan tidak bisa berbicara.
Natalia tinggal bersama Veronika, ibu sambungnya, setelah ayahnya meninggal pada September 2023. Ibu kandungnya telah lama meninggal dunia.
“Dia tidak bisa jalan karena pernah jatuh dari pohon Coppeng (syzygium cumini).”
“Kalau tidak bisa mendengar dan berbicara, itu sudah sejak lahir,” cerita Veronika.
Di Borong, ibu kota Kabupaten Manggarai Timur, Fandi dan Ignas, kakak beradik berusia 15 dan 17 tahun, hanya bisa berbaring di kamar. Mereka tidak keluar rumah karena tidak bisa berjalan.
Fandi menderita sakit saat berusia tujuh tahun, hal yang membuatnya tidak bisa berjalan. Saat itu ia belum sempat masuk sekolah.
“Awalnya saat jalan-jalan di sekitar rumah, ia selalu jatuh, susah bangun,” kata Laurensius, ayahnya.
Padahal, sejak lahir, kata dia, anaknya itu sehat, “bisa jalan sendiri.”
Sementara Ignas tidak bisa berjalan sejak berusia delapan tahun. Saat itu, ia duduk di bangku kelas satu sekolah dasar dan kemudian berhenti sekolah hingga saat ini.
Orangtuanya memeriksakan Fandi dan Ignas ke dokter ahli saraf di RSUD Ruteng, Kabupaten Manggarai, pada 2019. Keduanya didiagnosa terkena penyakit saraf.
Baca juga: Pelayanan Publik di Kota Kupang Abaikan Difabel
Laurensius mengatakan, dokter yang memeriksa Fandi dan Ignas menyarankan agar kedua anaknya itu berobat ke salah satu rumah sakit di Denpasar, Bali.
“Kami belum cukup uang untuk membawa mereka ke sana,” katanya.
Mayoritas Tak Sekolah
Dinas Sosial Manggarai Timur mendata hingga akhir Januari 2024, total penyandang disabilitas usia anak hingga lansia di kabupaten itu sebanyak 1441 orang.
Kendati mengklaim belum merekapitulasi data terkait jumlah disabilitas yang tidak pernah bersekolah, sedang bersekolah dan putus sekolah, Hila Jabur, staf Dinas Sosial Manggarai Timur yang menangani disabilitas, mengatakan, “mayoritas mereka tidak sekolah.”
“Temuan kami di lapangan, banyak anak-anak disabilitas tidak sekolah karena orangtuanya tidak rela untuk berpisah dengan anaknya,” kata Hila Jabur.
Di Manggarai Timur hanya ada satu sekolah khusus untuk disabilitas, yaitu SLB Negeri Borong. Sekolah ini terletak di pusat kabupaten.
Sekolah-sekolah reguler yang menyebar hampir di setiap desa, belum menunjukkan geliat untuk menerapkan pendidikan inklusi. Inklusi ini amanat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Sekolah-sekolah reguler belum menerapkan pendidikan inklusi disebabkan minimnya sarana dan prasarana pendukung, termasuk sumber daya guru.
Cristiana Titik Winiaryati, Kepala SLB Negeri Borong, mengatakan, ada 62 penyandang disabilitas usia anak mengenyam pendidikan di sekolah tersebut.
SLB Negeri Borong, kata dia, mendidik anak-anak yang mengalami hambatan melihat, hambatan mendengar, hambatan bicara, hambatan gerak, dan disabilitas intelektual.
Ia mengatakan siswa-siswi SLB Negeri Borong yang datang dari desa-desa yang jauh, tinggal di asrama sekolah.
“Siswa-siswi yang berasal dari kota Borong, tinggal di rumah masing-masing,” kata Cristiana.
Cristiana mengatakan, SLB Negeri Borong tidak memungut biaya pendidikan. “Makanya tidak ada komite. Tidak ada uang asrama.”
Kendati bebas biaya, kata dia, belum banyak orangtua yang mau menyekolahkan anak-anak disabilitas di sekolah tersebut. Alih-alih menyekolahkan anaknya, orangtua justru menganggap anak disabilitas tidak bisa mandiri.
“Orangtua tidak mau anaknya jauh dari mereka. Mereka khawatir. Padahal, anak disabilitas sekolah supaya bisa mandiri,” katanya.
Baca juga: Perdana Ikuti Musrembang, Difabel di Nekamese Bicara Pemenuhan Hak
Temuan tim media ini yang pernah mengunjungi sejumlah penyandang disabilitas di beberapa kecamatan di Manggarai Timur, menguatkan pernyataan Hila dari Dinas Sosial. Nyaris semua penyandang disabilitas yang kami temui, tak pernah mengenyam pendidikan.
Di Desa Rana Kolong, Kecamatan Kota Komba, misalnya, dari 27 penyandang disabilitas, tak satupun bersekolah.
“Mereka (disabilitas) tidak pernah mengenyam pendidikan dasar,” kata Yensen Ngambut, Kepala Desa Rana Kolong.
Mengapa Pendidikan Penting untuk Penyandang Disabilitas?
Eka Prastama Widiyanta, Komisioner Komisi Disabilitas Nasional mengatakan pendidikan sangat penting untuk penyandang disabilitas.
“Dengan bersekolah, berseragam bersama anak-anak lainnya, akan efektif mengubah stigma keluarga mereka, membangun optimisme masa depan mereka,” katanya kepada Tutur.id.
Pendidikan juga, kata dia, salah satu aspek yang mampu mengubah kondisi sosial ekonomi keluarga.
Selain itu, lanjutnya, pendidikan juga — selaras dengan cita-cita Ki Hajar Dewantara — menuntun bakat, minat, dan potensi peserta didik agar mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya sebagai seorang manusia dan anggota masyarakat.
“Pendidikan diartikan sebagai tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak; menuntun segala kodrat (kondisi) yang ada pada anak-anak untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat,” katanya.
Apa yang Mesti Dilakukan Pemerintah Daerah?
Eka mengatakan, merujuk pada sejumlah aturan, baik Undang-Undang tentang Penyandang Disabilitas maupun peraturan turunannya, seperti yang terbaru adalah Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 48 Tahun 2023, pemerintah daerah wajib memiliki Unit Layanan Disabilitas Pendidikan PAUD dan Dasar. Unit layanan ini untuk memastikan akses, dukungan dan pendampingan ke sekolah reguler (inklusif), pendataan, pendampingan keluarga, alat bantu, dan kerjasama dengan pihak-pihak lain.
“Pemerintah daerah harus menjamin dan memfasilitasi akomodasi yang layak di sekolah terdekat dengan rumah anak, proses PPDB yang menjamin wajib belajar 12 tahun mudah diakses anak disabilitas,” kata Eka.
Baca juga: 2 Kecamatan di Kupang Belajar Perspektif Difabel
Ia mengatakan, kondisi geografis di NTT yang menantang dan terbatasnya SLB, semestinya pendidikan inklusif menjadi prioritas untuk meningkatkan angka partisipasi anak disabilitas dan angka lama sekolah.
“Sedih rasanya menemukan atau mendengar anak-anak disabilitas di Manggarai Timur tidak sekolah karena sekolah terdekat tidak bisa mengakomodasi mereka, atau tidak bisa menjangkau SLB yang jauh sehingga perlu biaya,” katanya.
Padahal, kata dia, berbagai peluang pendidikan tinggi dan pekerjaan yang sekarang semakin besar, seharusnya didukung pemerintah daerah setempat untuk melaksanakan pendidikan inklusif.
Di tengah belum adanya perhatian serius pemerintah terhadap pendidikan bagi penyandang disabilitas di Manggarai Timur, semangat Chily untuk bersekolah sudah luntur.
Ia mengatakan, 18 tahun “bukan usia yang pas” untuk masuk sekolah dasar.
“Sudah tua,” katanya sembari tersipu.
Alasan serupa juga dilontarkan oleh Wily, saudara dari Lusia, penyandang disabilitas lain di Manggarai Timur.
“Umur saudari saya yang sudah 33 tahun tidak memungkinkan untuk sekolah lagi di lembaga pendidikan dasar,” katanya. *****