
BKKBN Berharap Tren Prevalensi Stunting NTT 2023 Turun ke 13 Persen
Kupang – Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) berharap prevalensi stunting NTT turun lagi tahun ini melihat tren turunnya prevalensi stunting dua tahun terakhir.
Kepala BKKBN Provinsi NTT Marius Mau Kuru menyampaikan prevalensi stunting diharapkan bisa turun ke angka 13 persen sesuai tren tersebut.
Marius saat diwawancarai Minggu 19 Maret 2023 di Lapangan Udara El Tari di Kupang menyampaikan hal tersebut. Ia berharap intervensi dari semua stakeholders dapat menekan prevalensi stunting di NTT.
Baca juga: Pemda Diminta Gerak Cepat, Menkeu Heran Dana Stunting Habis untuk Koordinasi
Pada Agustus 2021 prevalensi stunting di NTT berada di angka 20,9 persen. Sementara hasil timbang dan ukur terhadap bayi di bawah lima tahun (balita) pada Agustus 2022 turun ke 17 persen.
“Laporan terakhir menyatakan adanya 77.378 kasus stunting di NTT pada Agustus 2022 lalu dengan prevalensi 17,7 persen. Prevalensi ini ditekan dari beberapa tahun lalu yang mencapai 20 persen,” kata Marius.
Pada Februari 2023 juga telah dilakukan penimbangan atau pengukuran terhadap balita. Angka terbaru mengenai stunting ini akan dipublikasikan secara sah oleh Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat setelah semua data dari kabupaten dan kota terkumpul.
“Diharapkan turun lagi ke 14 atau bahkan 13 persen. Harapan kita seperti itu karena dalam persiapan untuk operasi timbang kita semua sudah bergerak,” jelasnya.
Sasaran timbang untuk Februari ini pun mencapai 440 ribu anak dan sebelumnya BKKBN NTT mengedukasi agar semua keluarga yang memiliki balita dapat mengikuti operasi timbang.
Baca juga: Stunting Ancam Indonesia Petik Bonus Demografi 2030 yang Berkualitas
Partisipasi balita untuk mengikuti operasi timbang ini diharapkan juga telah 100 persen sehingga dapat terdata seluruhnya.
Penanganan stunting ini pun kini diintervensi oleh semua sektor melalui berbagai program. Misalnya program orang tua asuh yang juga diterapkan oleh TNI Polri. BKKBN NTT juga bergerak ke berbagai stakeholder termasuk melalui tokoh agama dan rumah ibadah.
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengungkapkan anggaran sub kegiatan penanganan stunting senilai Rp 77 triliun tetapi hanya Rp 34 triliun yang langsung diterima oleh balita.
Menurut Marius Pemerintah NTT telah memiliki strategi untuk menjaga agar anggaran stunting tepat sasaran searah dengan prevalensi stunting yang turun ini.
“Untuk pengawasan saya pikir strategi dari setiap pemerintah daerah tentunya pasti ada karena pemerintah daerah tidak ingin anggaran itu bocor. Itu pasti,” ungkap dia.
Anggaran stunting juga diharapkan dapat tepat sasaran sesuai dengan penanganan stunting pada anak.
Pada hari yang sama Kepala Staf Angkatan Udara (Kasau) Marsekal TNI Fadjar Prasetyo datang ke Kota Kupang terkait isu stunting.
Ia berharap intervensi langsung seperti ini dapat mendorong stakeholder lainnya dalam memerangi stunting di NTT.
“Ini baksos TNI AU secara nasional yang dipusatkan di NTT Jadi terkait isu stunting sesuai arahan Presiden kepada seluruh kementerian lembaga termasuk TNI Polri untuk ambil bagian,” kata Marius lagi.
Marius menyebut Kasau Marsekal TNI Fadjar Prasetyo sendiri dalam rapat kerja nasional BKKBN di Jakarta 25 Januari telah mengamati isu stunting di NTT.
Baca juga: Wapres Sebut Masih Ditemukan Masalah Penanganan Stunting di 12 Provinsi Prioritas
Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat memegang komando untuk kerja kolaboratif dalam penanganan stunting di NTT.
Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Daerah Provinsi NTT Johanna E. Lisapaly, beberapa waktu lalu juga memaparkan target prevalensi stunting pada 2023 ini turun ke angka 12-10 persen.
Ia menyampaikan ini dalam peluncuran Orang Tua Peduli Stunting dan Gerakan Orang Tua Asuh bagi Balita Stunting di Kubupaten Kupang, 5 Maret 2023.
Ia juga mengapresiasi jajaran BKKBN NTT yang turun ke lapangan dan sudah mampu mengendalikan total kelahiran di NTT.
Kegiatan BKKBN terhadap Total Fertility Rate (TFR) atau jumlah anak rata-rata yang akan dilahirkan oleh seorang perempuan kini pada angka 2,79 anak per wanita usia subur. Angka ini mengalami penurunan dari sebelumnya yaitu pada angka 3,4 anak per wanita usia subur.
“Kemiskinan erat kaitannya dengan tingginya jumlah kelahiran terutama pada kelompok masyarakat menengah ke bawah,” kata Lisapally.
Ia mengklaim Provinsi NTT berhasil menurunkan sekitar 4,4 persen per tahun, yaitu sejak tahun 2018 sebesar 30,1 persen menjadi 24,0 persen pada 2019. Lalu turun menjadi 20,9 persen pada 2021, kemudian di 2022 menjadi 17,7 persen. (Putra Bali Mula)