Soe– Tiga perempuan berada di barisan paling depan di antara puluhan warga Desa Supul yang menyerbu hingga menghujani batu ke pos jaga perusahaan tambang mangan. Lebih dari tiga orang aparat keamanan kabur memboyong senjata lalu bersembunyi di rumah seorang warga.
Dups Betty, nama warga yang dijadikan tempat persembunyian aparat keamanan saat amuk massa terjadi pada tahun 2013. Dups saat itu menjabat Kepala Urusan Desa Supul, Kecamatan Kuatnana, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).
Tentu saja Dups mengenali para wanita yang mengamuk di pertigaan jalan antara Kantor Desa Supul, Desa Noebesa dan jalan menuju Dusun Oefenu, dusun dengan tambang mangan terbesar di TTS. Di pertigaan jalan ini terdapat pos jaga dengan palang jalan berdiri angkuh.
Baca juga:Perempuan Oenbit Tolak Tambang
Baceba Betty paling membara dalam unjuk rasa itu. Amukan spontan perempuan itu menyulut amarah Since Betty dan Lefernia Bulla di tengah hari yang terik. Tiga perempuan ini tak gentar menantang para penjaga pos jaga. Kemudian puluhan warga lainnya ikutan mengamuk. Polisi yang tak sanggup membendung mereka memilih kabur.
“Mereka tiga tiba-tiba mengamuk. Tidak ada pakai rencana apa-apa. Mama Baceba maju duluan terus terjadi begitu,” kata Dups 19 April 2024 lalu kepada KatongNTT.
Dups, lelaki bertubuh kekar itu kini Kepala Desa Supul. Ia mengingat-ingat lagi bentrokan sekitar 2013. Menurutnya wajar warga marah dan ia tak terkejut itu terjadi.
Ini bukan demo pertama yang dilakukan warga Soe atas kehadiran perusahaan tambang mangan di desa mereka. Sebelumnya unjuk rasa terjadi pada Juli 2010. Mereka memblokir jalan masuk ke lokasi pertambangan milik PT SMR (Tribunnews, 24 Juli 2010). Unjuk rasa 2013 itu dimotori para perempuan warga Supul.
PT SMR memang datang mencari mangan di Supul pada 2008 dengan gencar melakukan survei. Perusahaan ini mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) pada 2010 dari tangan Gubernur NTT Frans Lebu Raya. PT SMR lantas beroperasi selama kepemimpinan dua Bupati TTS yakni Daniel Banunaek dan Paul Mella.
Selama PT SMR beroperasi, Desa Supul dihujani suara berisik siang hingga malam terutama di tahun 2012. Ketika itu eksplorasi mangan besar-besaran berlangsung. Ada 40.282 ton mangan tergerus dari Supul pada 2009 – 2010 sesuai kajian Kementerian ESDM di 2017. Supul tidak lagi jadi desa yang hening.
PT SMR telah memonopoli jalan desa. Truk pengangkut mangan mereka lewat silih berganti. Abu di antara roda kendaraan berat itu mengepul sepanjang jalan yang rusak.
Warga yang pergi ke kebun atau pulang ke rumah juga dalam pengawasan aparat yang dibayar pakai PT SMR. Siapa pun yang melintasi pos jaga itu harus melapor. Petugas mencatat nama mereka satu per satu dan melengkapi tanda tangan.
Mobil yang mengangkut hasil kebun pun wajib diperiksa. Petugas juga akan mewawancarai mereka panjang lebar sampai-sampai menahan KTP baru bisa diizinkan melintas. Para petugas itu tak mau warga Supul membawa mangan ke luar diam-diam.
Baca juga: Walhi NTT Soroti Gagalnya Moratorium Izin Tambang
PT SMR menjadi penguasa baru di desa Supul.
Menanggapi kritikan warga terhadap PT SMR, tim KatongNTT berupaya menghubungi Direktur PT SMR, Dodi Wijaya, melalui telepon seluler dan pesan WhatsApp. Dodi tidak memberi respons. KatongNTT juga mendatangi Kantor PT SMR di Desa Tetaf, namun kantor kosong dan pagar digembok.
Warga setempat menjelaskan, Kantor PT SMR sudah lama tidak beraktivitas.
PT SMR mendapat izin operasi tambang mangan seluas 4.550 hektar dari Pemerintah Provinsi NTT. Lahan konsesinya mencakup Desa Supul, Lakat, Noebesa, Tubmonas, Tumu, dan Nobi-nobi. Semua desa ini berada di Kecamatan Kuatnana dan Amanuban Tengah.
Warga Desa Supul kemudian mempersoalkan pemberian lahan konsesi ke PT SMR.
“Ini tanah leluhur tapi mereka bilang air, tanah, isinya itu milik negara,” kata Baceba kesal.
Dia mengaku muak mendapat perlakuan seperti pencuri di desanya sendiri oleh orang asing.
“Kita mau turun muat jagung di kebun, tapi kita harus turun minta izin dulu, tanda tangan buku tamu. Mereka curiga kami ambil batu mangan pakai oto (mobil-red) padahal kita mau ambil jagung. Masa taruh pos jaga di sini. Kita mau kencing, berak, harus minta izin juga padahal ini di kampung kita sendiri,” kata Baceba setengah berteriak.
Baceba nekad merobek buku absen yang disediakan petugas PT SMR. Cekcok mulut tak terelakkan.
Tak terima diperlakukan bagai maling, Baceba dan warga lainnya membawa peralatan dapur, periuk, piring dan nyiru. Mereka menuntut para petugas PT SMR itu memberi warga makan.
“Kami bawa periuk, piring, nyiru, saya minta beras di polisi. ‘Tolong taruh kasih kami beras kami mau masak di sini, sekarang, karena kami mau ambil hasil di kebun kalian tidak mau. Kami punya hak untuk jual tapi pak mereka tidak mau. Sekarang kasih kami beras!’ Polisi tidak omong banyak. Kami tunjuk-tunjuk dengan periuk, nyiru, langsung mereka kabur, kami kejar sampai kepala desa punya rumah. Mereka sembunyi di situ,” kata Baceba mengulangi soal kejadian waktu itu.
Baca juga: Walhi NTT Soroti Gagalnya Moratorium Izin Tambang
Baceba lalu tak membiarkan satu pun truk PT SMR turun ke Oefenu. Ia menutup jalan. Wanita itu mengambil alih jalan Desa Supul. Ia mengumpat polisi. Semuanya pecah, tak ada yang ditahannya lagi.
Perempuan yang ramah ini telah jadi sosok yang berani berhadapan dengan aparat dan peluru. Baceba menyebut serangannya hari itu demi rumah dan harga diri warga desa Supul.
“Mereka bilang kita pencuri malah mereka yang pencuri. Saya bilang mereka yang pencuri! Polisi ini yang tuntun supaya PT SMR ini pencuri kami punya barang. Kami punya hak terus kami mau ambil jagung tapi kamu bilang kami pencuri. Apa selama ini kami pencuri?” kata Baceba sambil menahan emosinya.
Polisi kembali berdatangan lagi. Baceba tetap menghancurkan pos jaga milik PT SMR yang kadung dibencinya.
“Jadi pos jaga kami kasih hancur. Polisi mereka masih jaga. Kami kasih hancur. Waktu itu polisi ada dua oto tapi kami tidak takut. Ada yang bawa linggis, parang, dengan hamar. Ada yang hantam kasih rubuh tembok terus potong kusen jendela. Kita bakar di situ,” kata Baceba.
“Aparat desa hanya diam saja, ‘kan mereka kerja sama, maka PT ini masuk dengan harga sekian. ‘Bapak mereka kasih masuk enak-enak baru kita yang susah,’ saya bilang begitu. Aparat desa mereka hanya diam. Waktu itu masih Pak Dominggus Banu yang kades. Beliau hanya lipat tangan saja lihat kami,” kata Baceba lanjut bercerita.
PT SMR memang membeli mangan dari masyarakat. Harganya Rp 400 per kilogram. Harga itu dibagi antara pemilik lahan dan para buruh pengumpul mangan. Masing-masing mendapat Rp 200 per kilogram. PT SMR yang menyediakan alat berat untuk mengeruk lahan warga. Setelahnya warga akan memilah mangan dan mengumpulkannya. Ratusan warga bekerja seperti itu.
Para pemilah mangan ini bekerja mulai dari pukul 8 sampai pukul 4 sore. Ada yang begitu termotivasi hingga mampu memilah ratusan kilogram mangan dalam beberapa hari.
Operasi terbesar memang di Oefenu atau Dusun C. Rata-rata warga Oefenu mengumpulkan mangan untuk PT SMR. Ada pula pemilik lahan yang mengumpulkannya sendiri tanpa menyewa pekerja.
Sementara Dusun B, tempatnya Baceba, mereka mencari sendiri di sekitar sungai atau sekitar perkampungan. Akhirnya mereka menjualnya ke Kefamenanu. Para pengusaha dari Kefamenanu membeli Rp 1.000 per kilogram.
Warga Dusun B termasuk Baceba ini mengaku telah menolak mangan mereka diambil PT SMR. Selain karena perlakuan perusahaan yang diskriminatif, tentu karena harganya yang amat murah.
Operasi PT SMR di Dusun B tak sampai setahun. Warga menolak kebun mereka dikeruk dan tetap memilih untuk mengumpulkan mangan yang ada di sekitaran sungai.
Baca juga: Perempuan NTT Dalam Bayang-bayang Bencana Ekologis
Saat KatongNTT meliput di Dusun C pada April dan Mei 2024, aktivitas penggalian mangan masih berlangsung. Perempuan, lelaki bahkan anak-anak ramai-ramai menggali batu mangan secara manual di lereng-lereng bukit. Kemiringan lereng-lereng bukit berisiko terjadi longsor yang bisa menimbun mereka. .
Mangan di Desa Supul memang berlimpah. Batu yang berat namun mudah pecah itu ada di dua dusun ini. Anak-anak menjadikannya pelor ketapel. Warga dulunya memanfaatkan batu yang hitam seperti arang ini sebagai pagar di rumah atau kebun. Ada yang menjadikannya penahan pintu. Mereka baru tahu batu itu bisa dijual sampai ke Cina setelah PT SMR masuk.
Tidak menyesal Melawan
Baceba tidak menyesal telah melawan “goliat” yang datang ke desanya. Ia tengah menjemur jagung di halaman rumahnya 18 Mei 2024. Dusunnya telah selamat, kata dia, tak seperti Dusun Oefenu yang sering longsor dan penuh tanah bekas penggalian sehingga tidak bisa lagi ditanami apa pun. Jagung pun sulit tumbuh di situ.
“Kalau waktu itu kami tidak serang mungkin semua lahan di bawah hancur. Kalau mungkin waktu itu kami tidak lawan polisi mungkin kami punya lahan mereka pakai alat berat kasih hancur, ambil mangan itu semua. Tapi karena kami lawan maka bagian kami punya aman, mereka tidak masuk, hanya Oefenu hancur, rata,” kata Baceba.
Setelah aksi itu PT SMR juga tidak lagi menggunakan jalan desa. Perusahaan itu membuat jalan sendiri dari depan kantornya menuju lokasi tambang di Oefenu. Mereka aktif menggunakan jalan yang bermula dari Desa Tetaf.
Baca juga: Politik Licik di Balik Izin Tambang Bagi Ormas Agama
“Setelah kami demo itu yang mereka tidak pakai jalan di sini (jalan desa). Mereka pakai jalan di sana (lewat kantor PT SMR). Mereka buat jalan baru. Jadi kalau mereka lewat sini langsung kami tutup jalan. Mereka balik lagi. Kadang mereka minta izin bilang mau kasih panas oto. Kami bilang kasih tinggal di situ sampai berkarat,” demikian cerita Baceba.
Tak lama selepas itu Baceba tak lagi memungut mangan di Dusun B. Menyadari pertarungan dengan PT SMR semakin berat, Baceba memilih realistis dengan memutuskan berhenti memungut mangan. Dia memilih kembali ke pekerjaannya sebagai petani di lahannya di Dusun B, Desa Supul.
Dia masih menyelipkan harapan pada tambang mangan ini. “Kalau 500 rupiah per kilo, kami mau lagi (menambang-red),” katanya tertawa sambil mengunyah sirih pinang. *****
Catatan:
“Liputan tim jurnalis KatongNTT.com untuk menyorot dua windu sengkarut persoalan penambangan mangan di Pulau Timor, Provinsi Nusa Tenggara Timur didukung Kurawal Foundation.”