Poco Leok – Bunyi gong terdengar dari rumah adat Kampung Lungar pada Minggu malam, 7 Juli 2024. Warga kampung pun bergegas ke rumah adat. Malam itu, mereka hendak mengadakan ritual adat. Mengenakan baju putih dipadu sarung khas Manggarai, sejumlah ibu duduk bersila bersama para pria di rumah adat.
Ritual adat malam itu hendak memberitahu dan memohon kepada leluhur agar ikut serta dalam perjuangan mereka menolak proyek panas bumi atau geothermal.
Sebelum ritual dimulai, warga yang sudah berkumpul, berdiskusi. Mereka membahas tentang pemerintah yang terus berupaya meloloskan proyek tersebut meski ditentang warga.
Lungar adalah salah satu dari 14 kampung adat atau gendang di wilayah Poco Leok, Kecamatan Satar Mese, Kabupaten Manggarai, NTT. Poco Leok mencakup tiga desa yakni Desa Lungar, Mocok dan Golo Muntas. Wilayah dengan topografi bebukitan dan dikelilingi pegunungan ini, telah ditetapkan sebagai lokasi pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Pengembangan PLTP Ulumbu Unit 5-6 melalui Surat Keputusan Bupati Manggarai Nomor HK/417/2022. PLTP Ulumbu yang berada sekitar 3 kilometer di barat daya Poco Leok beroperasi sejak 2012 dan menghasilkan energi listrik 10 MW.
Baca juga: Tambang Mangan di Nian: Antara Petaka dan Tuntutan Perut
Pengembangan PLTP Ulumbu di wilayah Poco Leok digagas setelah pada 2017 pemerintah menetapkan Flores sebagai Pulau Panas Bumi melalui Surat Keputusan Menteri ESDM Nomor 2268 K/ 30/MEM/2017. Proyek ini dikerjakan oleh PT PLN Unit Induk Pembangunan Nusa Tenggara dan dibiayai oleh Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW) atau bank pembangunan Jerman dengan total dana 150 EUR. Proyek ini ditargetkan menghasilkan energi listrik 2×20 MW.
Malam itu, warga adat Lungar serius mendiskusikan terkait proses pengukuran lahan untuk pelebaran jalan demi kepentingan proyek geothermal.
“Esok, petugas akan mengukur lahan di lingko Meter,” kata salah satu warga. Lingko Meter adalah ulayat gendang Lungar, berjarak sekitar 1 kilometer arah selatan kampung tersebut.
“Kita tidak boleh tinggal diam. Seluruh warga harus ke sana untuk hadang petugas yang seenaknya mau ukur lahan itu,” sahut seorang ibu.
Warga pun ramai-ramai membahas informasi pengukuran lahan tersebut. Celetukan-celetukan bernada sindiran terhadap PT PLN dan pemerintah yang mengabaikan suara penolakan warga terdengar dari beberapa ibu.
“Mereka tidak tahu malu. Tuan tanah sudah dari awal tidak kasih izin, tapi mereka tetap saja datang,” kata seorang ibu.

Baca juga: Longsor, Debit Air Turun, Hingga Pertikaian Keluarga Akibat Mangan
Warga pun bersepakat agar Senin pagi, 8 Juli, melakukan ‘aksi jaga kampung’ supaya petugas dari perusahaan tidak mengukur lahan di ulayat gendang Lungar itu.
Setelah diskusi ditutup, tetua adat memulai ritual. Melalui seekor ayam jantan, ia mendaraskan permohonan kepada leluhur mereka agar ikut serta “mengusir orang yang datang mengganggu dan mengambil tanah kita.”
“Kami menolak proyek ini karena ingin mempertahankan tanah yang kalian wariskan. Sertailah kami agar tetap teguh menjaga tanah ini,” kata tetua adat itu dalam bahasa daerah Manggarai.
Perempuan di Barisan Depan
Senin pagi, 8 Juli, bunyi gong kembali terdengar dari rumah adat Lungar. Selang sekitar 10 menit, gong kembali dibunyikan. Suara gong terakhir terdengar sekitar pukul 07.30 Wita. Warga tampak bergegas menuju lingko Meter. Sebagiannya berjalan kaki, sebagian lainnya menggunakan sepeda motor.
Maria Teme (63) adalah salah satu dari sejumlah ibu yang tiba pertama di lingko Meter. Ia dan beberapa ibu lainnya langsung mengambil posisi berdiri di sisi jalan.
“Kami tidak nyaman kerja karena sering kali Perusahaan datang mengganggu,” kata Maria Teme kepada KatongNTT.
Baca juga: Perempuan Oenbit Tolak Tambang
Mayoritas warga Poco Leok adalah petani. Mereka menanam komoditas umur panjang seperti cengkeh, kakao, kemiri, kopi, dan beberapa lainnya.
“Ketika sedang kerja di kebun, kalau dengar bunyi gong atau pukulan tiang listrik, kami akan segera ke kampung. Berarti ada petugas perusahaan yang datang,” katanya.
Maria mengatakan, ia dan warga lainnya di wilayah Poco Leok sejak awal menolak proyek tersebut karena takut ruang hidup mereka rusak.
Ruang hidup bagi orang Manggarai, khususnya Poco Leok, terdiri dari lima komponen; kampung, rumah, kebun, sumber air, dan compang (altar atau mezbah untuk memberikan sesajen kepada leluhur).
“Kalau proyek ini kami izinkan, mereka akan bor tanah. Dengan topografi yang bebukitan seperti ini, kalau longsor, kami tidak bisa selamat,” katanya.
Maria mengatakan warga menolak bukan karena pengaruh dari pihak lain, tetapi karena mereka belajar dari dampak proyek PLTP di tempat lain.
Di Ulumbu yang dekat dengan Poco Leok, kata dia, warga menyaksikan bagaimana atap-atap rumah berlubang akibat korosi hingga permukaan tanah yang turun serta longsor di sekitar area pengeboran panas bumi.
“Kami juga sudah lihat di Mataloko, semburan lumpur panas muncul di sejumlah titik dan terus meluas. Lahan pertanian menjadi tidak produktif karena semburan panas,” katanya.
Baca juga: Perempuan Supul Melawan “Goliat” Tambang
PLTP Mataloko yang mulai dirintis sejak 1998 memang berulang kali gagal menghasilkan energi listrik. Kini, yang terjadi adalah munculnya semburan lumpur panas di sejumlah titik yang terus meluas. Dan, sejak 2019, pemerintah telah memulai proyek baru untuk pengeboran panas bumi di sekitar lokasi yang gagal itu.
Selain itu, kata Maria, mereka juga menonton dan membaca berita terkait kejadian di Mandailing Natal, di mana warga mengalami keracunan hingga ada yang meninggal dunia akibat menghirup gas H2S yang bocor.
Yustina Nehes (64) dan Wihelmina Sesam (59) dan ibu-ibu lainnya mendukung pernyataan Maria. Menurut mereka, tanah adalah warisan leluhur yang sangat berharga.
“Kalau nenek moyang kami tidak wariskan tanah ini, kami pasti sudah hidup terpisah-pisah,” kata Yustina Nehes.
“Dari tanah ini, kami juga bisa bertahan hidup. Kami tidak akan pernah mundur selangkah pun untuk memperjuangkan apa yang kami punya ini.”
Wihelmina Sesam mengatakan, sebagai ibu, “kami tidak rela tanah ini dijual hanya untuk meloloskan proyek panas bumi.”
“Kalau tanah dikasih kepada perusahan, ke mana anak-cucu kami nanti?”
Baca juga: Cerita Perampasan Tanah Ulayat Demi Berburu Mangan di Pulau Timor
Atas dasar pemikiran tersebut, kata dia, ibu-ibu di Poco Leok selalu berada di barisan paling depan menolak ketika PT PLN bersama aparat gabungan (polisi, tentara, dan Pol PP) datang untuk melakukan aktivitas terkait proyek geothermal.
Kini, sudah dua tahun warga Poco Leok berjuang mempertahankan tanah mereka agar tidak diambil untuk proyek geothermal.
Maria mengatakan, pemerintah mestinya mendengarkan suara warga, bukan malah mengabaikannya.
Ia dan warga Poco Leok lainnya meminta agar Bupati Manggarai mencabut izin lokasi pengembangan PLTP Ulumbu Unit 5-6 di wilayah itu.
“Kalau bupati tidak kasih izin, kehidupan kami tidak seperti ini. Sebelum proyek ini ada, kami hidup nyaman. Sekarang kami sudah tidak nyaman seperti dulu,” katanya.
Ketika ditanya apa yang akan mereka lakukan apabila proyek geothermal Poco Leok tetap dilanjutkan, sejumlah ibu itu serempak berteriak: “Kami tetap berjuang sampai tuntas, berani sampai mati.”
Matahari terus bergerak ke arah barat. Para petugas yang hendak mengukur lahan tak muncul hingga sore. Warga pun pulang ke rumah masing-masing. *****