TTU – Masih tersimpan jelas dalam benak Rovina Natun peristiwa nahas hampir 14 tahun lalu. Tak pernah ia sangka siang itu menjadi hari terakhir ia melihat ketiga saudara perempuannya. Ketiganya tertimbun longsoran tanah galian batu mangan dan tak terselamatkan.
Ketika itu hampir seluruh warga Desa Nian, Kecamatan Miomaffo, Kabupaten Timor Tengah Utara, Provinsi Nusa Tenggara Timur menjadi penambang mangan. Laki-laki, perempuan, anak kecil, maupun dewasa kala itu berlomba-lomba mengumpulkan batu mangan. Mereka bahkan sampai menginap di lokasi galian mangan yang sebelumnya berupa hutan belantara.
Rovina dan ketiga saudarinya Maria Agnes Natun, Yustina Natun, dan Filomena Natun yang sehari-hari bekerja di kebun mereka di Desa Nian. . Mereka pun memilih menjadi penambang mangan.
Baca juga: Perempuan Supul Melawan “Goliat” Tambang
Rovina jelas bersemangat menambang karena suaminya yang waktu itu bekerja di Pulau Flores jarang mengirim uang. Rovina harus menyediakan makanan dan biaya sekolah tiga anaknya.
Tepat pada 18 September 2010, mereka berempat tertimbun tanah saat menggali mangan. Rovina selamat dari kejadian itu, namun tiga saudaranya menutup usia di timbun tanah.
Rovina, berambut keriting ini hening sesaat sebelum menceritakan kembali peristiwa tragis itu kepada KatongNTT, awal Juli 2024.
Pagi-pagi sekali sekitar jam 6 Wita, Rovina dan tiga saudara perempuannya tiba di lokasi tambang mangan di Hoek Kol Kael. Jaraknya sekitar 3,7 km dari pemukiman warga.
Butuh sekitar satu jam untuk sampai di lokasi dengan berjalan kaki. Mereka harus melewati semak belukar, sabana, dan ladang kosong tempat menggembala sapi maupun kuda. Tempat yang banyak mangannya berada di dekat sungai.
Lokasi galian mereka tepat di tebing sungai. Lokasi tambang ditumbuhi tanaman keras seperti pohon jati, mahoni, kayu putih. Pohon-pohon itu kemudian ditebang agar lahannya bisa ditambang dan tempat menginap warga. Rovina dan saudaranya memilih tak tinggal di lokasi tambang. Mereka kembali ke rumah tiap usai menambang karena ada anak dan orang tua yang harus diurus.
![](https://katongntt.com/wp-content/uploads/2024/07/Rovina.jpeg)
Pagi itu, setibanya di lokasi keempatnya langsung menambang seperti biasa.
Hari itu turun hujan.Hujan tak meredupkan semangat keempat perempuan ini untuk pergi menambang.
“Galian kami sekitar empat sampai enam meter ke arah bawah, baru kemudian ke arah samping dibuat seperti terowongan, masuk ke dalam lubang pakai tangga,” kata Rovina menjelaskan.
Rovina mengatakan masuk semakin dalam semakin dingin, semakin gelap, semakin banyak pula mangan yang didapat.
Baca juga: Perempuan Oenbit Tolak Tambang
Hujan kian deras. Mangan yang didapat lebih banyak dari hari-hari sebelumnya. Yustina, Filomena, dan Agnes menggaling mangan tanpa henti di dalam lubang. Tubuh mereka sudah tak terlihat dari permukaan tanah.
Rovina yang menggaling di lubang yang lain meminta bergantian dengan saudaranya karena sejak pagi ia baru mendapat lima lempeng mangan. Sedangkan ketiganya masing-masing sudah mendapat tiga ember mangan.
“Di situ saya bilang, ‘kita gantian, saya juga mau dapat, bagaimana kita kerja sama-sama, terus kalian dapat banyak, saya dapat lima saja ini bagaimana.’ Yang tiga ini mereka tidak mau. Mereka bilang sudah kamu di situ, kami di sini,” cerita Rovina.
Sesaat tanah akan longsor, ada tanah jatuh sedikit-sedikit mengenai kepala mereka. Perasaan Rovina sudah tak tenang. Ia merasa seperti akan terjadi sesuatu. Ketiga saudarinya tak mengindahkan firasatnya itu. Kata mereka hal itu sudah biasa terjadi ketika menggali mangan.
“Jadi ada di antara para penambang di situ bilang ‘hati-hati. Kalau mau mati, mati di rumah jangan mati di sini,’ mereka bilang seperti itu. Kami anggap biasa saja, kami gali terus,” kata ibu lima anak ini melanjutkan ceritanya.
Sekitar jam 1 siang, tanah di atas terowongan yang dibuat mereka sudah tak mampu bertahan setelah terus diguyur hujan sejak pagi. Tambahan makin panjangnya galian yang mereka buat.
Tanah ambruk dalam hitungan detik. Rovina tertimbun di lubang galian yang dalamnya sepinggang. Ia mencoba keluar, tapi kakinya tak bisa bergerak. Satu batu besar menimpa kepalanya dari belakang. Ia mulai hilang kesadaran.
Filomena, iparnya, sempat mencoba keluar lewat tangga. Tapi ia terjatuh dan kemudian tertimbun.
Kakak kandungnya, Yustina, dan adik bungsunya, Agnes, langsung terkubur hidup-hidup saat itu.
Anselmus Pili (50), ada di lokasi itu juga. Jarak galiannya dengan para korban hanya sekitar 20 meter. Mendengar suara keras longsor itu, Anselmus langsung keluar dari lubang. Ia dan penambang lainnya mendapati Rovina yang kepalanya masih terlihat. Berusaha menarik keluar Rovina, dan mencoba mengeluarkan tiga korban lainnya.
“Namanya kita kaget, di posisi itu kami gali sembarang karena siapa tahu masih ada yang bernafas. Supaya dia masih hidup ya kita selamatkan,” kata Anselmus.
“Gali pakai linggis, namanya juga buru-buru jadi ada yang kena telinga (Red – korban) dan bahu. Jadi kami gali kasih keluar tidak bernyawa lagi,” cerita Anselmus pria asal Manggarai ini.
Baca juga: Walhi NTT Soroti Gagalnya Moratorium Izin Tambang
Sekitar tiga jam baru ketiga korban ini berhasil dikeluarkan. Rovina sudah tak sadarkan diri. Ia langsung dibawa warga ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kefa.
“Saya langsung dibawa ke rumah sakit. Waktu saya kembali ke rumah, mereka sudah dikubur,” Rovina bercerita dengan terbata-bata.
Baca juga: Tambang Batu Warna, Garis Pantai Kolbano ‘Hilang’ Perlahan
Petrus Lai Toan, Kepala Suku Toan, yang ada di desa Nian mengatakan, masyarakat Timor, umumnya punya filosofi tersendiri soal alam.
“Tanah ini bagian badan manusia, batu ini bagian tulang manusia. Air itu ibaratnya darah manusia. Manakala setiap badan kalau diambil satu-persatu, lama-lama itu jadi rusak,” kata Petrus menjelaskan, di Kantor Desa Nian, 22 April 2024.
Setelah peristiwa tragis itu, aktivitas mangan di desa Nian perlahan berhenti. Warga percaya tragedi itu terjadi karena alam sudah marah dengan kelakuan manusia yang mengambil apa yang ada di alam secara berlebih.
Hingga kini, warga tak berani menambang lagi.
Lubang-lubang bekas galian pun dibiarkan begitu saja sampai saat ini.
“Ini sudah tidak terlalu dalam karena sudah hujan terus jadi tanah juga sudah longsor. Ini bekas galiannya masih bisa dilihat ini,” kata Agus Toan, Kepala Desa Nian, sambil menunjukkan lokasi bekas tambang mangan yang memakan korban jiwa, 25 April 2024.
Bekas kerukan eksavator masih terlihat di kubangan itu. Kurang lebih 50 meter dari lokasi itu, beberapa lubang bekas galian warga belum sepenuhnya tertutupi walau sudah 14 tahun berlalu.
Banyaknya aktivitas galian mangan di dekat sungai menyebabkan sungai makin melebar. Ketika musim penghujan tiba, arus sungai kian deras.
“Sejak saat itu longsor jadi sering terjadi,” kata Agus.
Tempat tertimbunnya empat bersaudara itu pun kini jadi tempat angker bagi warga desa, walau batu mangan masih terlihat banyak di permukaan.
Baca juga: Politik Licik di Balik Izin Tambang Bagi Ormas Agama
Euforia Menambang Mangan
Walau Desa Nian punya pengalaman pahit saat menambang, tak bisa dipungkiri jika saat itu mangan memberi dampak ekonomi bagi para warga desa.
Batu yang mereka kenal dengan sebutan fatu metan (batu hitam) ini awalnya dianggap tak bernilai. Biasanya hanya dijadikan sebagai pagar rumah atau bahkan untuk mengganjal pintu karena bentuknya kecil namun lebih berat dari batu biasanya.
Baru ketika banyak perusahaan mencari batu mangan di hampir seluruh Timor, warga Nian pun ikut dalam euforia menambang mangan. Walaupun, kata Rovina, ia tak tahu pasti untuk apa mangan ini.
Ada dua badan usaha yang masuk ke Nian pada 2010 yakni PT Timor Indah Abadi (PT TIA) dan CV Kasih Mulia (CV KM).
PT TIA jadi perusahaan pertama yang masuk di Nian. Perusahaan ini beroperasi sejak 2010. Izin Usaha Tambang (IUP) yang tercatat di Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) TTU ini terbit pada 27 Mei 2011 dengan luas 265 hektare. IUP perusahaan ini berakhir pada 2031.
CV KM tercatat dalam data pemegang IUP logam yang dikeluarkan dinas ESDM TTU. Wilayah konsesinya bukan di Desa Nian. Menurut Inggrid Wijaya, pemilik CV KM, di Desa Nian dia mendirikan koperasi untuk menampung batu mangan yang dijual warga setempat.
Warga banyak menjual hasil mengumpulkan mangan ke CV KM karena tawaran harganya yang lebih tinggi dibanding PT TIA.
CV KM mengambil mangan dari hasil galian warga dengan harga Rp 350/kg. PT TIA menggunakan eksavator, baru kemudian batu mangannya dipilih oleh warga. Batu mangan pilihan dipatok harga Rp 150/kg.
Ketidaktahuan warga akan harga mangan ini membuat mereka terima saja walau hanya dibayar Rp 150/kg. Padahal kerjanya terbilang berat.
Baru kemudian ketika sudah ada dua perusahaan yang masuk di Nian, harga mangan dinaikan di kisaran Rp 200-350 per kilogramnya.
Hilarius Toan (43), seorang guru di Nian tidak bisa mengelakkan godaan menambang mangan.. Sehabis mengajar di sekolah, ia langsung mengikuti warga lainnya menggali mangan di Hoek Kol Kael.
“Ya rata-rata untuk satu minggu itu yang anak-anak kecil saja, yang umur-umur belasan itu bisa dapat sampai satu juta. Waktu mangan ramai ini, istilahnya kita mau dapat uang gampang,” kata Hilarius Mei 2024.
“Kalau dirupiahkan sehari itu bisa sampai Rp250-500 ribu pasti. Kalau yang sampai menginap, kadang satu minggu baru timbang satu kali, itu berarti sudah jutaan,” ujar Hilarius.
Kemudahan mengambil dan menjual mangan membuat warga Nian beramai-ramai pindah ke lokasi tambang tersebut.
Mereka sejatinya sebagai petani maupun peternak. Sepanjang tahun 2010 mereka beralih pekerjaan sebagai penambang mangan.
Baca juga: Pemda NTT Tak Punya Data Potensi Cadangan Mangan
“Waktu masa galing-galing mangan itu, tetap kerja (bertani) seperti biasa. Tapi kan fokusnya sudah ke tambang. Intinya kalau sudah bersihkan rumput dan selesai tanam, kan tidak mungkin tiap hari harus ke kebun. Itu mulai fokus tambang mangan,” kata Hilarius, Ketua Badan Pengawasan Desa (BPD) Nian di masa itu.
Stefanus Frengki Mbawo, peneliti dari Universitas Nusa Cendana, Kupang, menemukan adanya perubahan signifikan terjadi di warga Nian akibat imbas dari menambang mangan.
Dalam penelitiannya tentang Dampak Transformasi Mata Pencaharian Terhadap Kondisi Ekonomi Dan Sosial Masyarakat di Desa Nian, ia mendapati mangan mampu meningkatkan ekonomi masyarakat setempat.
Stefanus menemukan penghasilan rata-rata warga Nian kurang dari Rp 500 ribu per bulannya. Setelah adanya usaha tambang mangan, 12 dari 20 respondennya mengaku mengalami peningkatan penghasilan lebih dari Rp 500 ribu hingga jutaan rupiah per bulannya.
Bebatuan yang tak perlu diolah namun bisa langsung dijual untuk mendapat uang seolah jadi angin segar bagi warga.
Anselmus Pili jelas lebih memilih menjadi penambang mangan. Ternak sapi, babi, dan ladangnya ia biarkan diurus istrinya.
Ia membangun tenda seadanya dan menambang setiap hari. Berhenti hanya ketika meminum kopi, makan siang, maupun makan malam.
“Kerja ini barang ini kalau mau dibilang mau ingat Tuhan juga itu jarang. Sudah hari Minggu pun tetap kerja gali-gali terus,” kata Anselmus dengan jujur.
Anselmus mengungkapkan, ia bisa mendapat Rp 3 juta waktu itu dari hasil menambangnya selama seminggu. Penghasilannya itu kebanyakan habis untuk makan dan minum sehari-hari.
Di lokasi tambang mangan waktu itu, karena banyak penambang yang memilih tinggal di sana, warga lainnya pun kemudian membuka lapak jualan di lokasi tersebut.
Ini membuat para petani dan peternak di Nian berubah haluan jadi penambang, penjual sembako, dan juga ojek untuk membawa mangan. Atau yang disebut warga dengan obama (ojek bawa mangan).
Anselmus menyebut situasi kala itu seperti di pasar. Hasil galian mangannya terkadang ia barter dengan kebutuhannya saat itu. Misalnya, sekian kilogram mangan ditukar dengan beras, ikan, atau pun sabun.
“Bukti yang masih ada sampai sekarang itu kebetulan waktu itu ada promo kah apa, jadi saya buat meteran listrik. Itu saja. Selain itu habis di kebutuhan sehari-hari,” kata Anselmus mengungkapkan.
Ia mengatakan, masih siap sedia menambang lagi jika ada perusahaan yang mangan.
Rovina, korban timbunan yang selamat itu, pun mengaku masih mau menambang jika dibuka lagi penambangan di desa mereka.
Kala itu Rovina bisa mendapat Rp 600 ribu tiap minggunya. Berbeda dengan hasil menanam jagung dan ubi yang tak bisa dijual, karena hanya cukup untuk makan anggota keluarganya.
Perkara kebutuhan isi perut dan kebutuhan hidup lainnya yang mulai naik membuat warga Nian tak hirau lagi dengan pengalaman buruk yang mereka alami. *****
Catatan:
“Liputan tim jurnalis KatongNTT.com untuk menyorot dua windu sengkarut persoalan penambangan mangan di Pulau Timor, Provinsi Nusa Tenggara Timur didukung Kurawal Foundation.”