Kupang – Pulau Timor merupakan satu dari 15 wilayah di Indonesia yang masuk jalur metalogeni. Tanah di Timor diidentifikasi mengandung kumpulan endapan beberapa jenis mineral yang khas di antaranya mangan.
“Timor ini salah satu jalur metalogeni untuk mangan dan tembaga. Itu sudah diketahui sejak lama,” kata Herry Kota, ahli geologi kepada KatongNTT, 3 April 2024, di rumahnya di Kota Kupang.
Di dalam literatur itu, ujar Herry, kandungan mangan di perut bumi Timor ini kurang lebih 125 juta ton. Kualitas mangan di hampir seluruh wilayah Timor disebut terbaik kedua di dunia setelah Afrika karena kandungannya mencapai 50%, melebihi spesifikasi mangan untuk industri, yang minimal kandungan mangan nya 48%.
Tak heran sejak 2008, banyak pengusaha mulai berdatangan di NTT, khususnya di Pulau Timor untuk mencari mangan.
Banyak perusahaan mangan dari dalam maupun luar negeri mulai masuk mengeksplorasi tanah Timor secara besar-besaran.
Baca juga: Perempuan Oenbit Tolak Tambang
Sayangnya, mereka datang tanpa survei dan sosialisasi ke masyarakat lebih dulu. Mereka menambang mangan masuk ke tanah milik warga. Mengeruk lahan perkebunan rakyat untuk mendapat kepingan-kepingan batu hitam ini.
Di Desa Oenbit, Kecamatan Insana, TTU, PT Elgary Resources Indonesia (ERI) tiba-tiba masuk ke desa ini pada 2014 dan mengklaim tanah ulayat warga sebagai lahan konsesi mereka.
Berbekal Surat Keputusan (SK) Bupati yang memberi izin pada PT ERI, mereka kemudian masuk mengeruk lahan kebun warga di sana. Surat Keputusan Bupati TTU itu bernomor 2140 A Tahun 2008 tentang Pemberian Kuasa Pertambangan Eksplorasi Bahan Galian Golongan B (Mangan) kepada PT ERI di Kecamatan Insana. Surat bertanggal 15 Desember 2008 itu diterbitkan oleh Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten TTU.
Surat lainnya adalah SK Bupati TTU Nomor: 680 Tahun 2010, tentang Persetujuan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi Mineral Logam Mangan kepada PT ERI di Desa Oenbit, Kecamatan Insana, Kabupaten TTU, bertanggal 15 Mei 2010.
PT ERI menjadi satu dari 36 perusahaan tambang mangan yang tercatat di Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) TTU. PT ERI mendapat perpanjangan IUP pada 2013 dengan konsesi mencapai 1.623 hektar.
Pada periode Oktober-Desember 2014, PT ERI masuk ke lahan konsesinya membawa eskavator untuk mengeruk tanah guna mencari mangan .
Perusahaan ini dengan IUPnya menunjukkan wilayah tambangnya berada di Dusun Enam di Oenbit. Nama wilayah itu Neten Banam.
Masalah muncul karena lahan tersebut merupakan tanah ulayat milik Suku Ataupah, Naikofi, dan Tesbenu, yang pemiliknya tersebar di lima desa tetangga yaitu Desa Fatoin, Nunmafo, Ainiut, Manunain A, dan Manunain B.
Wilayah itu biasanya dipakai untuk acara adat. Ladangnya untuk beternak sapi. Pohon jati, mahoni, kayu putih, banyak tumbuh di daerah itu. Beberapa warga pun tinggal di area tersebut.
PT ERI masuk dan mencaplok lahan ulayat itu sebagai wilayah tambangnya. Pilar-pilar ditancapkan sebagai tanda. Base camp untuk pekerja perusahaan dibangun. Warga dilarang masuk, sapi-sapi pun tak diizinkan berkeliaran di dalam wilayah konsesi mereka.
Baca juga: Perempuan Supul Melawan “Goliat” Tambang
Dengan berbekal hasil survei eksplorasi pada pertengahan 2014, perusahaan ini kemudian masuk dan langsung menggali tanah, juga membelah Bukit Besin di Oenbit untuk mengeruk mangan yang ada.
Dalam keterangan Dinas Kehutanan TTU, perusahaan kemudian menggali empat lubang dalam kawasan hutan dengan menggunakan alat berat berupa ekskavator jenis CAT 320 D.
Total keseluruhan lokasi yang sudah digali seluas 617m2. Jika perhitungan dilakukan dengan cara poligon secara menyeluruh yang menghubungkan ke empat bekas galian pertambangan diperoleh luas lokasi penggalian 1.900 m2 yang terletak di kawasan hutan produksi.
Dalam jangka waktu empat bulan, perusahaan ini sudah mengumpulkan 800 ton mangan dari tanah Oenbit.
“Jadi mereka bawa alat tes. Kalau ada mereka langsung gali. Nah alat ini kan kalau deteksi mangan sedikit saja, di permukaan begini, sudah bunyi. Padahal belum tentu di dalamnya banyak (mangan). Jadi mereka galing tidak dapat di sini, pindah lagi ke sana,” kata Nikolas Ataupah, Tua Adat dari suku Ataupah, menjelaskan, 24 April 2024, saat ditemui di rumah adat/lopo Naikofi.
Bekas-bekas galian ini kemudian dibiarkan terbengkalai begitu saja. Kini jadi kubangan selebar sekitar 20 meter, berada di sisi jalan Desa Oenbit, Kecamatan Insana. Air kubangan sedalam lima hingga tujuh meter di bawah jalan itu, berwarna seperti susu cokelat.
Kubangan dibiarkan tanpa tanda peringatan atau dipagar atau ditimbun kembali. Akibatnya tanah di sekitar wilayah galian mudah longsor.
Beberapa ternak warga beberapa kali tergelincir masuk ke dalam kubangan tersebut.
“Mungkin ada sekitar tujuh ekor sapi sudah jatuh ke dalam,” kata Nikolas.
PT ERI masuk dan mengklaim lahan milik orangtua Martha Eno (46) sebagai lahan tambang. Martha tak diberi akses untuk masuk ke lahan keluarganya untuk bertani dan beternak sapi dan babi.
Tanaman ubi, jagung, maupun sayur-sayuran miliknya dikeruk excavator perusahaan tambang tanpa pemberitahuan. Beberapa ekor sapi dan babinya hilang entah ke mana.
“Kami punya kayu jati, mahoni, rusak semua,” kata Martha, ibu tiga anak ini.
Hal ini tak hanya dialami Martha, tapi juga dialami warga lainnya yang punya tanaman dan hewan di area tersebut.

Medi Kol Kapitan (40), salah satu warga yang punya Sertifikat Hak Milik di lahan konsesi PT ERI itu pun mengalami hal yang sama. Tanah yang didapatnya turun-temurun dari kakeknya itu diambil perusahaan tanpa ada informasi ke dirinya dan keluarga.
Sebelum perusahaan tambang masuk, ada ratusan bahkan ribuan pohon jati dan mahoni yang sudah diwariskan kakeknya.
Baca juga: Tambang Mangan di Nian: Antara Petaka dan Tuntutan Perut
“Tapi mereka tebang semua dan tidak tahu mereka kemanakan itu pohon. Sampai saat ini tidak ada ganti rugi satu sen pun,” kata Medi dengan suara meninggi.
Makam sang kakek, Taub Kapitan, pun ada di wilayah yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Malaka itu.
Memang kawasan itu bukan pekuburan umum, tetapi menurut penuturannya yang dibenarkan tokoh adat lainnya, tanah itu didapat dari hasil perang kakeknya melawan kelompok suku dari Malaka. Sehingga untuk menandai perjuangan mereka, jasad Taub dikuburkan di lahan itu.
Lebih lanjut Nikolas menjelaskan, mereka berhasil mengusir PT ERI dari kampung halaman mereka pada 2015. Klaim perusahaan yang para warga sebut tak masuk akal dan sama sekali tak menguntungkan memicu aksi penolakan dari seluruh warga Oenbit.
Selama hampir setahun, warga Oenbit di bawah pimpinan Nikolas Ataupah yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Peduli Lingkungan (Arapel) melakukan aksi penolakan pada perusahaan mangan itu. Nikolas mencatat dengan rapi aksi mereka saat itu di buku.
“Waktu itu kami minta perusahaan itu diberhentikan karena merusak lingkungan. Kami tidak setuju!” kata Nikolas dengan lantang mengingat kembali masa-masa itu.
Operasi tambang mangan yang berada di lokasi yang sedikit lebih tinggi dari pemukiman warga membuat serpihan dan debu galian maupun batu mangan itu mengenai masyarakat. Mereka jadi gampang batuk-batuk dan pilek.
Ratusan sapi dan babi peliharaan warga, ditambah hasil hutan berupa kayu mereka, pun hilang tak tahu kemana. Akses mereka ke perkebunan ditutup.
Di depan pintu masuk lokasi tambang yang dulunya jalan menuju Neten Banam itu dipasang papan larangan masuk bukan hanya untuk warga bahkan juga ternak.
Mereka jadi bak tamu di tanah sendiri.
Nikolas kemudian memimpin ratusan warga melakukan aksi di berbagai tempat.
Demo pertama pada Februari 2015, warga mendatangi lokasi tambang itu yang berjarak sekitar 500 meter dari Kantor Desa Oenbit.
Mereka berkumpul di Lopo Naikofi, kemudian berjalan kaki ke lokasi tambang yang jauhnya sekitar 2 km.
Sekitar satu jam berjalan, mereka tiba di sana. Ketika sampai, mereka tak diizinkan masuk.
Keadaan mulai tak kondusif. Medi nyaris mengambil linggis untuk membuka gerbang besi itu.
Baca juga: Walhi NTT Soroti Gagalnya Moratorium Izin Tambang
Daniel Castillo yang lebih dikenal warga dengan Dennis, manager PT ERI keluar menghadapi warga yang berdemo. Dengan memegang IUP yang didapat perusahaannya ia kemudian menantang warga untuk melapor ke mana saja, tak akan dihiraukannya.
“Pak Dennis itu mati-matian dia bilang sudah membeli putus tanah itu. Saya langsung menyatakan, ‘Pak membeli hari ini, tapi kalau kami tanah ini sudah dimiliki dari nenek moyang kami. Dan kami memiliki SK sudah dari dulu tahun Antoni. Pak baru datang.’ Untuk dapat tanah ini lewat perjuangan. Dan kami tidak akan serahkan ke siapa pun!” kata Medi dengan mata nyalang menggambarkan perseteruan saat itu.
Demo kedua mereka masih menyambangi lokasi. Pater Johanes Kopong, pastor di Paroki Ainan Boni ini pun turut serta bersama warga untuk melakukan aksi. Ia memimpin misa di lokasi.
“Buat misa juga bukan tujuan untuk penyerahan siapa-siapa, tidak. Buat misa karena arwah-arwah nenek moyang kami ada yang meninggal di situ,” kata Medi melanjutkan ceritanya.
“Dulu kan tanah itu didapat lewat perang. Lewat perjuangan bai nenek kami ada yang meninggal sampai tumpah darah. Nah di situ buat misa tujuan untuk mereka,” kata Medi menjelaskan.
Mereka kemudian menyambangi Keuskupan Atambua untuk meminta turut serta membantu mereka. Tak ada jawaban berarti.
Niko tak patah semangat. Di pertengahan 2015, ia membawa masyarakat berunjuk rasa ke Kantor Bupati dan Kantor DPRD TTU. Saat itu tak ada yang menggubris keributan yang mereka ciptakan di bangunan-bangunan besar itu. Mereka Pulang.
Baca juga: Politik Licik di Balik Izin Tambang Bagi Ormas Agama
Kemudian di September 2015, manajer PT ERI disidangkan. Daniel Casstilo sebagai terdakwa dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana: “Turut Serta Melakukan Kegiatan Penambangan di dalam Kawasan Hutan Tanpa Izin Menteri.”
Ia dipidana penjara selama tiga tahun dan denda Rp 3 miliar.
Jurnalis KatongNTT.com berusaha mencari tahu keberadaan kantor PT ERI di Oenbit pada Mei 2024. Kantor perusahaan ini sudah dipenuhi semak belukar. Bangunan kantor sudah hancur. Nama PT ERI juga sudah tidak ditemukan di dalam daftar perusahaan tambang mangan di situs MinerbaOneDataIndonesia (Modi) Kementerian ESDM.

Kini dengan segala imbas pada lingkungan, ternak, dan pada hak milik mereka lainnya, warga Oenbit menolak keras jika ada lagi tambang di daerah mereka. Kejadian pelik itu tak ingin mereka rasakan lagi.
“Telinga panas dengar begini (tambang). Kita sudah tidak terima lagi. Karena kerugian bukan sedikit. Perusahaan datang itu bukan menguntungkan masyarakat, bahkan merugikan,” ujar Nikolas. *****
Catatan:
“Liputan tim jurnalis KatongNTT.com untuk menyorot dua windu sengkarut persoalan penambangan mangan di Pulau Timor, Provinsi Nusa Tenggara Timur didukung Kurawal Foundation.”