Soe – Seorang anak perempuan berseragam SD nekat melewati tepi bukit urukan setinggi 15 meter yang longsor ke sungai agar bisa segera sampai perkampungannya di Dusun Oefenu, Desa Supul, Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Bukit urukan ini peninggalan PT Soe Makmur Resources (SMR), perusahaan penambang mangan yang pernah mengeruk kebun warga dan lereng bukit di dusun itu. Bukit ini longsor ke sungai seusai hujan hingga menutup jalan utama ke perkampungan. Motor atau mobil terpaksa menyusuri Sungai Oefenu yang mengering. Jarak ke titik-titik tambang masih 1 – sampai 3 kilometer lagi.
PT SMR masuk Supul sejak 2008 dan aktif menambang pada 2010 dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP) dari Gubernur NTT, Frans Lebu Raya.
Baca juga : Tambang Mangan di Nian: Antara Petaka dan Tuntutan Perut
PT SMR berhenti mengeruk tanah di Oefenu mulai 2018. Akan tetapi banyak persoalan muncul di Desa Supul setelah 10 tahun perusahaan ini beroperasi.
Dusun Oefenu sulit dicapai. KatongNTT harus melalui jalan desa yang berbatu, longsor dan berkubang lumpur licin yang bersebelahan dengan jurang. Dusun ini berada di ujung lembah berjarak sekitar 7 kilometer dari Kantor Desa Supul. Jalan desa rusak tak beraspal dan sisi kiri jalan ambles. Hanya sepeda motor yang bisa melintas.
Tak ada ojek yang biasanya menawarkan jasa Rp 10 ribu sampai Rp 15 ribu sekali antar. Warga pun tak ada yang lewat. Rabu itu, 24 April 2024, sepi dari orang yang hilir mudik.
Di ujung jalan rusak tampak Sungai Oefenu yang lebarnya berkisar 12 meter. Perkampungan di Dusun Oefenu berada di seberang sungai dan warga di sana masih menambang mangan. Karung-karung semen berisi mangan menumpuk di depan pagar rumah mereka.
Beberapa ojek batu mangan (obama) sibuk menurunkan karung semen berisi batu-batu hitam ke atas tumpukan lainnya. Mereka mengangkutnya dari lokasi tambang sekitar satu kilometer dari batas perkampungan yang masih terdapat bekas pos jaga dan portal milik PT SMR. Masyarakat Dusun Oefenu kini mengambil alih bekas tambang PT SMR.
Obama yang benar-benar lincah saja yang akan menguasai medan berbukit-bukit dengan jalan tanah yang lebarnya tak sampai semeter. Rata-rata sekali jalan mereka bisa memboyong 3 karung mangan dengan berat total sekitar 150 kilogram.
Ada sekitar 3 titik penggalian yang jaraknya masing-masing 1 – 2 kilometer. Lokasi pertama, 1 kilometer dari batas perkampungan adalah lereng bukit berwarna hitam dan merah. Sejumlah lansia, anak-anak, dan perempuan sibuk mengikis tepian bukit ini menggunakan kayu atau linggis. Ada warga yang melubangi tanah hingga yang terlihat hanya kepalanya.
Baca juga: Perempuan Supul Melawan “Goliat” Tambang
Mantan Kepala Desa Supul, Dominggus Banu, juga ikutan mencari mangan di lokasi itu. Sekitar 11 warga hari itu mencari mangan di bukit pinggir sungai. Beberapa anak menumpuk mangan yang telah didapat penambang lainnya ke atas tanah lapang yang tandus.
Seorang anak lainnya yang duduk di bawah tempat teduh – yang terbuat dari karung semen dan ditopang empat bilah kayu – sedang menghancurkan satu demi satu bongkahan mangan. Mereka harus membelahnya kecil-kecil supaya bisa muat dalam karung semen.
Berat 20 karung mangan sama dengan 1 ton. Satu truk bisa memuat 100 karung atau 5 ton. Satu kilogramnya dilepas para penambang ini dengan harga Rp 500.
Biasanya ada truk dengan nomor polisi DH 9687 AH yang bisa 20 kali mondar-mandir ke Oefenu. Para penambang ini bilang truk itu akan membawa mangan ke gudang PT SMR. Truk sewaan perusahaan ini mengangkut 5 ton mangan sekali jalan. Saat cuaca buruk, truk tidak beraktivitas.
Sekitar 60 warga Oefenu menambang saat ini. Mereka menggali dengan alat seadanya sejak pukul 7 pagi sampai pukul 6 sore, berbeda saat PT SMR dahulu menggunakan alat berat.
“Sehari bisa gali bisa dapat 100 kilogram. Kalau obama bisa sampai mengangkut 5 ton mangan sekali jalan, maka untungnya mereka sama dengan 1 ton,” kata Dominggus, si mantan Kades Supul.
Pada Februari 2023 lalu banjir bandang menghanyutkannya peralatan berat milik PT SMR dari Dusun Oefenu. Akses warga terputus selama beberapa minggu. Setelah bencana itu masyarakat membersihkan longsor yang menutup akses masuk ke perkampungan mereka.
Dominggus mengatakan ada tiga lokasi galian tambang yang terdekat. Lokasi pertama satu kilometer dari perkampungan Dusun Oefenu. Dua titik lainnya berjarak sekitar satu kilometer dekat dari lokasi embung untuk pencucian mangan PT SMR.
Baca juga: Perempuan Oenbit Tolak Tambang
Bijih mangan harus terlebih dahulu dicuci untuk menghilangkan tanah lempung yang mengotorinya. Maka dari itu PT SMR membangun embung buatan untuk mencuci mangan yang mereka dapat. Instalasi pencucian mangan ini menggunakan pompa atau alat trommel screen dan longwash.
Embung ini pernah mengalami kebocoran pada 2012 lalu tapi berhasil kembali dipadatkan. Kejadian ini diungkap dalam Skripsi Analisis Permeabilitas pada Poros Bendungan Urugan PT SMR pada Mei 2016. Penelitian ini dilakukan oleh mahasiswa Prodi Tambang Universitas Nusa Cendana (Undana).
Warga dusun ini bergantung pada Sungai Oefenu sebagai sumber air utama. Saat hujan warga bisa mengambil air di sepanjang sungai. Bila kemarau tiba mereka harus mencari mata air yang biasanya kurang dari 5 titik. Dalamnya tak lebih dari semeter.
Berbeda dengan Dusun B di seberang bukit-bukit hijau yang airnya melimpah. Kantor Desa Supul berada di Dusun B dan letaknya dekat dengan Danau Supul, tempat warga biasanya memancing. Warga Dusun B menggunakan pipa air ke rumah masing-masing untuk menampung air.

PT SMR Rusak Supul
Kepala Dusun Oefenu, Katerina Betty, mengatakan penambangan mangan telah memberi kerugian besar. Kebun warga jadi korban utama dan kini tak ada yang bisa ditanami lagi usai tanah mereka dikeruk PT SMR.
“Longsor semua jadi tidak bisa tanam. Kalau masih ada tanah yang lain ya baik tapi kalau kita tidak ada tanah lagi bagaimana? Batu mangan yang ada uang ini jadi korbankan tanah untuk mangan. Tanah di sini kalau sudah mulai hujan lebat mulai longsor,” kata Katerina di Kantor Desa Supul, 17 Mei 2024.
Desa Supul luasnya 4.200 hektare terdiri dari 4 dusun. Untuk Dusun Oefenu punya 6 RT yang dihuni 122 kepala keluarga. Wilayah terdekat lokasi tambang ialah RT 11 / RW 06 dengan 150 orang dan 35 orangnya adalah petani.
Katerina jadi salah satu korban galian mangan PT SMR. Ada 2 bidang lahannya, sekitar 2 hektare, tidak bisa dipakai berkebun lagi. Kebun lainnya milik warga pun sama namun ia tidak mengetahui jumlah pasti luas kebun warga yang sudah tak bisa diolah pasca tambang.
Baca juga: Walhi NTT Soroti Gagalnya Moratorium Izin Tambang
“Saya punya dua bidang yang rusak waktu mereka garuk cari itu batu mangan. Saya bilang kasih jarak 20 meter tapi mereka buat 10 meter saja. Terakhir jadi longsor. Mereka kasih tinggal saja. Jadi sekarang kosong. Tidak ada tanaman apa-apa. Hujan datang tambah longsor,” kata Katerina kesal.
Dulu dari kebunnya itu ia bisa memanen jagung, ubi dan pisang. Suaminya mengangkut hasil bumi mereka dari Oefenu ke Pasar Niki-niki.
Masyarakat yang tidak mempunyai tanah untuk berkebun lagi lebih sering memungut mangan di sungai atau langsung menambangnya di lereng bukit.
“Sekarang di situ mereka setengah mati. Mereka tetap ambil mangan untuk jual,” kata Katerina menambahkan.
Tingkat kesuburan tanah di lokasi tambang Dusun Oefenu juga menurun menurut penelitian dari Undana pada Mei 2014 lalu. (Sumber: Skripsi” Studi Perbandingan Kualitas Tanah Untuk Reklamasi Berdasarkan Tingkat Kesuburan Tanah di Blok 1 Tambang PT SMR, mahasiswa Prodi Tambang Fakultas Teknik Universitas Negeri Cendana).
Penelitian ini terhadap tanah reklamasi atau tanah yang menutup bekas tambang sebelumnya. PT SMR sempat menutup bekas-bekas galian dengan material tanah lempung limonitan dan karbonatan. Jenis material tanah ini punya tingkat keasaman yang lebih rendah dari tanah aslinya.
Sementara di lereng sekitar titik tambang pun hanya sedikit vegetasinya. Selain itu pun tak ada humus pada lempung bobonaro berwarna abu-abu yang mudah erosi.
Tanah di wilayah tambang ini tidak begitu subur apalagi setelah dikeruk PT SMR. Penimbunan bekas galian dengan material tanah yang tak sesuai pun makin menurunkan tingkat kesuburan tanah.
Katerina lebih lanjut menjelaskan, warganya sangat bergantung pada sungai. Mereka biasanya berjalan kaki ke sungai untuk mengambil air. Kondisi airnya tak berubah, sama seperti saat PT SMR masih menambang mangan.
Biasanya memasuki Agustus dan September debit air mulai berkurang. Mata air di sekitar RT 11 ini yang hidup di musim kering. Warga berjalan kaki ke sungai mencari air yang masih cukup untuk digunakan.
Baca juga: Cerita Perampasan Tanah Ulayat Demi Berburu Mangan di Pulau Timor
PT SMR juga mengambil air dari sungai yang sama untuk embung pencucian mangan. Menurut Katerina saat itu kualitas air tidak terpengaruh dari aktivitas pertambangan mangan.
“Masih sama airnya tidak berubah. Kita jalan kaki saja ambil air. Ada yang pakai motor kalau ada motor. Jadi kalau mulai musim kering itu yang bagian tertentu saja yang ada air. Ada mata air yang masih bisa ada air,” lanjut Katerina.
Debit air memang terus berkurang tiap tahun hingga saat ini. Kini tidak setiap harinya mereka menimba air di sungai.
“Mata air kurang lancar, airnya mengalir kurang lancar, mungkin karena longsor juga, pengaruh musim juga,” kata Katerina.
Yohanna Bani, ibu rumah tangga yang tinggal di dekat Kantor Desa Supul juga sependapat kalau mangan tidak berdampak baik di hidupnya.
PT SMR saat beroperasi membuat aspal jalan desa rusak dan kini masih berbekas. Kala itu banyak debu berterbangan saat truk-truk atau kendaraan berat lewat setiap harinya sejak pagi hingga malam hari.
Aktivitas PT SMR untuk mendapatkan mangan membuat warga Supul menutup rapat pintu dan jendela rumah menghindari debu beterbangan masuk. Tanaman di pekarangan rumah mereka juga mati karena tertutup debu.
“Bahkan tanaman-tanaman di halaman tidak bisa kita makan, misalnya daun pepaya, ya karena debu. Ada yang berkebun di sisi jalan itu waktu itu ikut tercemar,” kata dia.
Kepala Desa Supul, Dups Betty, di kantornya pada 19 April 2024, mengaku kelimpungan mengurus jalan desa yang rusak ditinggalkan PT SMR.
Dana desa tahun ini hanya tersisa Rp 300 juta, tidak cukup mengadakan aspal untuk menutup jalan yang rusak parah. Kemungkinan hanya bisa untuk 100 meter jalan rabat, sisa untuk membangun tanggul longsor sekitar 80 meter. Menurut dia longsor selalu terjadi apabila hujan deras sehingga mobilitas warga terganggu.
Dominggus Banu sebelumnya mengatakan PT SMR dulu hanya merehabilitasi jalan desa yang dibangun pemerintah. Awalnya pihak desa membangunnya dengan Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) dan dari APBD II. Selanjutnya PT SMR masuk sempat memperbaiki jalan tapi bukan pengerasan atau aspal.
PT SMR akhirnya membuat jalan tambang mereka sendiri usai warga memblokir jalan desa. Jalan tambang ini bermula dari Desa Tetaf yang berbatasan dengan Desa Supul menuju Dusun Oefenu. Jalan tambang ini pun kini rusak dan kembali jadi hutan.
Baca juga: NTT Terindikasi Punya Bahan Baku Nuklir
“Mereka hanya rehab, pelebaran, tapi yang ibu-ibu blokir jalan itu, akhirnya saya dipanggil terus diputuskan oleh perusahaan untuk buka jalan tambang. Jadi akhirnya itu mereka buka jalan dari kantor mereka sendiri. Setelah itu jalan desa sepi dan masyarakat juga gunakan jalan tambang,” jelas Dominggus.
Perebutan lahan guna menambang mangan turut jadi pemicu pertumpahan darah antar-saudara. Kasus ini terjadi antara keluarga Bulla dan keluarga Betty pada tahun 2011 padahal mereka masih terhitung sepupu dekat. Korbannya adalah Obet Bulla yang terkena bacokan saudaranya sendiri.
“Karena ada kesalahpahaman antara dua keluarga ini dan sampai sekarang sudah selesai tinggal urusan damai. Ini lahan yang diperebutkan,” kata Dominggus menceritakan ulang perselisihan itu.
Pelakunya telah menjalani masa penjara dan bebas pada 2016. Setelah sewindu berlalu keluarga yang berseteru ini berencana menggelar upacara adat agar berdamai kembali.
Lefernia Bulla, keluarga dari korban mengatakan kehadiran perusahaan tambang mangan memang menghancurkan keutuhan keluarga mereka. Kasus yang terjadi ini pun membuat penambangan di Blok 2 yakni Dusun B atau Dusun Faut Manu tak berlanjut lagi.
“Kami bermusuhan sampai saat ini. Adik dan kakak, bapak dan anak, tidak saling kenal karena batu mangan,” ungkap Lafernia.
Since Betty yang juga Kepala Dusun B menuturkan aksi kekerasan antar-keluarga mereka bisa terjadi lagi karena perebutan lahan jika PT SMR kembali. Pasalnya, penetapan batas-batas tanah di antara dua keluarga ini belum kunjung rampung.
“Batas-batas tanah yang dimiliki saudara-saudara harus tahu pasti dan selesaikan itu dulu baru bisa diproses. Sebelum ini diselesaikan dan kalau ada yang masuk lagi itu bisa ada pembunuhan besar, masalah besar yang akan terjadi di sini,” kata Since menjelaskan.
Hingga saat ini kedua keluarga ini tidak akur dan Since merasakan ini selama kehidupan sehari-hari mereka di Desa Supul.
“Masing-masing duduk sendiri. Misalnya pesta tidak saling undang lagi. Tidak saling tegur lagi. Ketemu di jalan juga tidak sapa lagi,” kata Since menggambarkan perselisihan dua keluarga.
Oktovianus Bulla, pemilik lahan di Blok 2 itu tidak menyesal membuat keputusan berhenti menambang setelah pertikaian antar keluarga mereka. “Iya, kita harus urus damai dulu,” kata Oktovianus penuh harap. *****
Catatan:
“Liputan tim jurnalis KatongNTT.com untuk menyorot dua windu sengkarut persoalan penambangan mangan di Pulau Timor, Provinsi Nusa Tenggara Timur didukung Kurawal Foundation.”