Kefamenanu– Medi Kol Kapitan (40) segera mengambil langkah tegas saat menyadari tanah leluhurnya telah dicaplok orang tak dia kenal. Medi dan warga Desa Oenbit, Kecamatan Insana, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) pada Juli 2014 mendapati sudah ada perluasan jalan di Dusun 6, atau di Neten Banam.
Dua dump truk mulai sering mondar mandir di jalan desa. Dalam rentang Oktober – Desember 2014, satu ekskavator berwarna kuning mengeruk tanah di wilayah ulayat warga. Empat lubang di empat titik yang berbeda sudah mulai ditambang. Luas lahan yang ditambang sekitar 660 m².
Debu dari proses menambang itu terbawa angin menyebar ke pemukiman. Warga jadi sering batuk-batuk dan pilek.
Baca juga: Tambang Batu Warna, Garis Pantai Kolbano ‘Hilang’ Perlahan
Sejauh 500 meter dari Kantor Desa Oenbit, PT Elgary Resources Indonesia (ERI) menandai lahan konsesinya dengan lebih dari 13 patok semen setinggi 60 sentimeter dan lebar 20 sentimeter bercat kuning. Patok-patok itu mengitari ratusan hektar lahan konsesi.
PT ERI menjadi satu dari 36 perusahaan tambang mangan yang tercatat di Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) TTU. Perusahaan tambang ini mendapat Izin Usaha Pertambangan (IUP) pada 2013 dengan konsesi lahan mencapai 1.623 hektar.
Berdampingan dengan penanda batas itu, PT ERI membangun pos penjagaan di samping gerbang masuk ke kawasan tambang tersebut. Gerbang itu bergembok dan ada papan bertuliskan larangan untuk warga – bahkan juga ternak – masuk ke wilayah tersebut.
Padahal itu jalan menuju area perkebunan warga. Dalam kawasan yang diklaim PT ERI, ada ratusan ternak warga yang telah dilepas jauh sebelum perusahaan itu datang. Di lahan itu juga ada kuburan para tetua adat, salah satunya kakek Medi.
Baca juga: Pemda NTT Tak Punya Data Potensi Cadangan Mangan
“Dulu tanah itu didapat lewat perang. Lewat perjuangan ba’i nenek kami ada yang meninggal, sampai tumpah darah. Satu mayat nama Taub Kapitan. Itu ba’i kandung saya,” kata Medi, perempuan bernama lengkap Maria Yulitha Bikolo, kepada Tim KatongNTT, 27 Juni 2024.
Niko Ataupah, tetua adat dari Suku Ataupah yang hadir bersama Medi menjelaskan persoalan kepemilikan tanah ini.
Lokasi yang diklaim PT ERI itu milik beberapa warga dan ada sertifikatnya maupun SKnya. Tanah itu milik Temukung Ha (Empat Kepala Suku) berada di lima desa yang meliputi Desa Fatoin, Nunmafo, Ainiut, Manunain A, dan Manunain B.
“Lima desa ini yang memiliki tanah itu. Hasil perjuangan tadi itu. Mereka berperang untuk mendapat kembali tanah itu. Dari pihak kerajaan (Insana) kemudian menyerahkan itu sebagai lahan perkebunan mereka. Sehingga bukan hanya Oenbit, tapi lima desa ini punya hak atas tanah itu,” kata Niko menjelaskan saat ditemui di Lopo Naikofi, tempat pertemuan bagi para warga.
Medi kemudian mengajak Tim KatongNTT menyambangi rumahnya. Ia menunjukkan surat tanah yang diwariskan kakeknya.
Baca juga: NTT Terindikasi Punya Bahan Baku Nuklir
Surat yang sudah menguning dan lusuh itu masih ditulis dengan ejaan lama. Di situ tertulis surat tanah terbit pada 30 Desember 1965 dengan luas 2.500 m².
Inilah yang memicu amarah Medi atas tindakan PT ERI. Masuknya PT ERI disebut tanpa sosialisasi ke warga khususnya para pemilik lahan.
Mantan Bupati TTU periode 2010-2015, Ray Fernandes Sau membenarkan jika PT ERI masuk ke Oenbit tanpa sosialisasi ke para pemilik lahan.
“PT ERI itu memang masuk tidak ada sosialisasi ke warga di sana. Dia (PT ERI) mencari orang lain dan membayar orang-orang yang mengaku Ataupah. Yang garis keturunan lurusnya itu ya yang Niko Ataupah itu,” kata Ray menjelaskan saat diwawancara KatongNTT di rumahnya di batas Kota Kefa, TTU.
Tak hanya Medi yang memprotes kehadiran PT ERI, Martha Eno (46) juga memprotes perusahaan tambang itu.
Martha yang lahir dan besar di Neten Banam terpaksa meninggalkan rumahnya setelah rumanya dibakar oleh orang tak dikenal tahun 2005. Martha bertani dan beternak sapi maupun babi di atas lahan rumah lamanya.
Setelah PT ERI mengklaim secara sepihak lahan milik keluarganya, Martha dan warga lainnya tidak bisa masuk ke kawasan itu.
Tanaman ubi, jagung, maupun sayur-sayuran miliknya digerus ekskavator PT ERI tanpa pemberitahuan. Beberapa ekor sapi dan babinya hilang entah ke mana.
“Kami punya kayu jati, mahoni juga, rusak semua,” kata ibu tiga anak ini ada rasa marah.
Situasi ini juga dialami warga lainnya yang punya tanaman dan hewan di area tersebut. Semuanya direnggut tanpa izin dan tanpa ganti rugi. Hanya meninggalkan belasan lubang bekas galian yang dalamnya ada mencapai 20 meter.
Februari 2015, warga Oenbit dan kemudian diikuti lima warga desa lainnya berdemonstrasi pertama kali ke lokasi tambang PT ERI. Medi kala itu berusia 30 tahun dan sedang mengandung empat bulan.
![](https://katongntt.com/wp-content/uploads/2024/07/Foto-Medi-dari-Desa-Oenbit-TTU-1024x576.jpeg)
Baca juga: Politik Licik di Balik Izin Tambang Bagi Ormas Agama
Medi salah satu motor penggerak aksi penolakan tambang mangan bersama ratusan warga lainnya di TTU.
“Awal kami demo itu jalan kaki dari Lopo sini,” kata Medi mulai mengisahkan situasi saat itu.
“Ada yang gendong anak, nenek -nenek, ba’i-ba’i, yang tua juga ikut. Pokoknya kami semua menuju ke lokasi supaya kami mau lihat keadaan itu seperti apa,” kata Medi melanjutkan.
Tiba di lokasi, pintu gerbang dari besi itu digembok. Warga tak diizinkan masuk. Medi nyaris mengambil linggis untuk membongkar pintu tersebut.
Daniel Castillo, yang lebih dikenal warga dengan Dennis, Manager PT ERI keluar menghadapi warga yang berdemo. Dengan memegang IUP yang diteken Gabriel Manek, Bupati TTU, Dennis menantang warga untuk melapor kemana saja, tak akan dihiraukannya.
“Pak Dennis itu mati-matian dia bilang sudah membeli putus tanah itu. Saya langsung menyatakan, ‘Pak membeli hari ini, tapi kalau kami tanah ini sudah dimiliki dari nenek moyang kami. Dan kami memiliki SK sudah dari dulu tahun antoni (zaman dulu – Red).”
“Pak baru datang. Untuk dapat tanah ini lewat perjuangan. Dan kami tidak akan serahkan ke siapa pun!” cerita Medi dengan kedua matanya memerah menggambarkan perseteruan saat itu.
Demonstrasi berlanjut. Medi dan warga lainnya menuntut PT ERI keluar dari tanah mereka.
Bertepatan dengan Hari Kartini 21 April 2015, Medi dan mama-mama lainnya melakukan aksi tanam pohon di lokasi tambang.
“Bawa tanaman jati, mahoni, marungga, pokoknya ada tanaman apa yang kami lihat ada, kami cabut bawa. Untuk menghijaukan kembali di gunung. Karena ada sumber air di bagian bawah. Jadi lewat tanaman-tanaman di atas sehingga air itu ada. Intinya tanaman umur panjang,” kata Medi menjelaskan.
Kantor Bupati dan DPRD TTU pun mereka datangi untuk menyuarakan protes akan tanah mereka yang diambil paksa perusahaan tambang. Tak ada satu pun pejabat di Kantor Bupati dan DPRD TTU keluar menemui mereka.
“Di situ saya marah. Saya bilang, Bapak, Ibu yang duduk -duduk di sini tanpa masyarakat, Bapak tidak duduk di sini,” kata Medi menceritakan saat itu ia berteriak keras.
Panas matahari membakar ubun-ubun, semakin menyulutkan emosi Medi atas ketidakacuhan para anggota Dewan yang disebut ‘wakil rakyat’ itu.
Baca juga: Walhi NTT Soroti Gagalnya Moratorium Izin Tambang
“Bukan kami memilih bapak ibu DPR ini untuk datang duduk menerima gaji. Tidak. Kita pilih kamu duduk di kursi ini tujuan untuk membantu masyarakat yang lemah. Kami ini buta huruf, tidak bisa berbuat apa-apa kalau tanpa bapak membantu kami,” Medi melanjutkan ceritanya. Ada nada kecewa dari suaranya.
Mereka kemudian pulang tanpa mendapat jawaban berarti.
Medi pun kembali penjual buah-buahan di Pasar Atambua. Ia merasa baik-baik saja. Namun kemudian ia terkejut ketika masuk ke toilet pasar, darah mengalir dari tubuhnya. Tak ada sakit apa pun yang ia rasakan saat itu. Medi keguguran.
“Mungkin karena kecapean toh, karena ikut demo terus,” ujarnya.
Perjuangan Medi dan perempuan lainnya di enam desa di Kecamatan Insana tidak sia-sia. Manajemen PT. ERI dijerat pidana atas penyerobotan lahan hutan lindung di Insana.
Daniel Castillo menjalani persidangan pidana di Pengadilan Negeri Kefamenanu pada September 2015. Mahkamah Agung dengan putusan kasasi nomor 62/Pid.Sus/2015/PN KFM menyatakan Daniel sebagai terdakwa bersalah atas lahan konsesi yang menerobos masuk kawasan hutan lindung. Dia dijatuhi hukuman penjara selama 3 tahun dan membayar denda Rp 3 miliar.
Sudah satu dasawarsa peristiwa pahit itu terjadi di tanah mereka. Medi dan warga lainnya mengikrar tak akan pernah lagi membolehkan aktivitas tambang apapun masuk ke tanah mereka.
“Sampai kapan pun juga kami tidak siap menerima itu. Pertambangan apa pun kami akan tolak! Tidak akan tergoda. Karena tanah itu lewat perjuangan ba’i kami, nenek kami. Jadi kami tidak rela,” ujar Medi tegas. *****
Catatan:
“Liputan tim jurnalis KatongNTT.com untuk menyorot dua windu sengkarut persoalan penambangan mangan di Pulau Timor, Provinsi Nusa Tenggara Timur didukung Kurawal Foundation.”