• Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak
Minggu, Juni 22, 2025
  • Login
Katong NTT
  • Home
  • Sorotan
  • Perempuan dan Anak
  • Cuaca, Iklim dan Lingkungan
  • Pekerja Migran & Perdagangan Orang
  • Lainnya
    • Bisnis
      • Agribisnis
      • Industri Pariwisata
    • Inspirator
    • Opini
    • Pemilu 2024
    • Kolaborasi
      • Cerita Puan
      • Dekranasda Provinsi NTT
      • Kabar dari Badan Penghubung NTT
      • Media dan Literasi
No Result
View All Result
  • Home
  • Sorotan
  • Perempuan dan Anak
  • Cuaca, Iklim dan Lingkungan
  • Pekerja Migran & Perdagangan Orang
  • Lainnya
    • Bisnis
      • Agribisnis
      • Industri Pariwisata
    • Inspirator
    • Opini
    • Pemilu 2024
    • Kolaborasi
      • Cerita Puan
      • Dekranasda Provinsi NTT
      • Kabar dari Badan Penghubung NTT
      • Media dan Literasi
No Result
View All Result
Katong NTT
No Result
View All Result
Home Perempuan dan Anak

Ketika Indeks Ketimpangan Gender Belum Hadirkan Realita di NTT

Di balik parade statistik yang tampak menggembirakan, seperti penurunan Indeks Ketimpangan Gender di NTT, masih tersembunyi pertanyaan besar: apakah perempuan sungguh diikutsertakan, atau sekadar dicatat?

PriyaHusada by PriyaHusada
1 bulan ago
in Perempuan dan Anak
Reading Time: 4 mins read
A A
0
Kematian Ibu dan Bayi di RSUD Larantuka Picu Demo di Polda NTT

Aliansi Pemuda Progresif Flores Timur demo di Polda NTT terkait kasus kematian ibu dan bayi di RSUD Larantuka. (Putra Bali Mula - KatongNTT)

0
SHARES
85
VIEWS

Dalam dunia angka dan laporan, Indonesia tampaknya terus bergerak ke arah yang lebih baik. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indeks Ketimpangan Gender (IKG) nasional turun dari 0,447 pada 2023 menjadi 0,421 pada 2024—sebuah capaian yang dipuji sebagai kemajuan dua kali lipat lebih cepat dibanding tren lima tahun sebelumnya. Di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), angka ini bahkan lebih rendah dari nasional: 0,402. Namun, di balik deretan desimal ini, perempuan di pelosok-pelosok NTT masih menghadapi dunia yang tak banyak berubah.

Ketika Sistem Mengklaim Kemajuan

IKG mengukur tiga dimensi: kesehatan reproduksi, pemberdayaan, dan pasar tenaga kerja. Secara teori, semakin kecil angkanya, semakin kecil pula ketimpangan antara laki-laki dan perempuan. Di permukaan, IKG NTT 2024 menunjukkan perbaikan dari tahun sebelumnya yang berada di angka 0,428. Namun, apakah angka itu mencerminkan hidup nyata perempuan di Lembata, di Timor Tengah Selatan, atau di pedalaman Rote?

BacaJuga

Ilustrasi Fakta Pemerkosaan Mei 1998

Membungkam Ingatan: Takedown Mei 1998 dan Perlawanan Digital Masyarakat Sipil

20 Juni 2025
Ilustrasi beberapa anak sekolah merokok . (Unair.co.id)

Anak Merokok Aktif Marak di Maumere, Bisakah Kita Peduli dan Bertindak?

14 Juni 2025

Baca juga: Perempuan di NTT Belum Berdaulat pada Rahimnya dalam Program KB

Sebagian besar penurunan IKG berasal dari perbaikan akses kesehatan dan kenaikan partisipasi angkatan kerja perempuan. TPAK (Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja) perempuan NTT naik hampir 2 persen poin, dan angka kelahiran di luar fasilitas kesehatan turun drastis. Tapi seperti biasa, statistik tak berbicara tentang bagaimana perempuan NTT harus berjalan berjam-jam ke puskesmas terdekat. Atau bagaimana, untuk masuk ke dunia kerja, mereka harus meninggalkan anak tanpa pengasuhan yang layak karena kebijakan layanan publik belum memihak perempuan pekerja.

Gender: Masih Komoditas Politik

Ketimpangan representasi perempuan di legislatif terus dijadikan kambing hitam “budaya patriarkal”. Tapi mengapa kita tidak membahas partai politik yang mengusung laki-laki sebagai calon dominan dengan alasan elektabilitas, meskipun telah ada kuota 30 persen perempuan dalam pencalegan?

Data BPS menunjukkan, gender gap dalam persentase anggota legislatif di Indonesia hanya menurun tipis dari 55,72% menjadi 55,08%—dan NTT tidak jauh berbeda. Dalam beberapa kabupaten di NTT, jumlah perempuan di DPRD bisa dihitung dengan jari. Mengapa? Karena mesin politik tak sungguh-sungguh menginklusikan perempuan kecuali untuk memenuhi persyaratan administratif.

“Ketimpangan gender bukan soal kurangnya potensi perempuan, tapi sistem yang mengatur siapa yang boleh bersuara dan siapa yang hanya boleh menonton,” ujar Maria Leki, aktivis perempuan dari Yayasan Sanggar Suara Perempuan Kupang, dalam diskusi daring bertajuk “Keadilan Gender dalam Demokrasi Lokal NTT”, yang diselenggarakan oleh CIS Timor pada 24 Februari 2024.

Baca juga: Ribuan Kasus Kekerasan Menimpa Perempuan di NTT, Mengapa?

Relasi Kuasa yang Tidak Netral Gender

Lembaga dan birokrasi kerap dipandang netral. Tapi dalam praktiknya, kebijakan publik sering lahir dari kacamata maskulin. Misalnya, dalam kebijakan ketenagakerjaan, upah minimum provinsi (UMP) tidak mempertimbangkan beban ganda perempuan yang mengurus rumah sekaligus bekerja. Sementara itu, jaminan sosial tak menjamin pengasuhan anak, cuti haid hanya diatur di atas kertas, dan kasus kekerasan seksual di tempat kerja cenderung diselesaikan lewat jalan damai yang menyakitkan korban.

NTT masih memiliki pekerjaan rumah besar: dari tingginya pernikahan anak, akses pendidikan menengah yang timpang, hingga tingginya kasus kekerasan berbasis gender (femisida). Pada 2023, Komnas Perempuan mencatat NTT sebagai salah satu dari 5 provinsi dengan angka kekerasan tertinggi terhadap perempuan, terutama dalam ranah domestik (Laporan Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2024).

Bagaimana bisa angka indeks membaik tapi kasus femisida meningkat? Tahun lalu, seorang perempuan muda di Manggarai Timur ditemukan tewas setelah dipukuli suaminya. Ia sempat tiga kali melapor ke polisi. Tidak ada tindakan. Berita ini dilansir Flores Pos edisi 17 Oktober 2023.

Gabriel Sengkoen membakar istrinya, Mbati Mbana dipicu tagihan Rp 20 ribu oleh penjual ikan keliling rumah mereka di BTN Kolhua, Kota Kupang. Mbati akhirnya meninggal dalam perawatan di Ruang ICU di RSUD W.Z. Johannes. Lebih dari 80 persen tubuhnya mengalami luka bakar. (KatongNTT, 1 Desember 2024).

Majelis hakim menghukum Gabriel selama 13 tahun penjara, 5 tahun lebih ringan dari tuntutan jaksa. Dan jaksa yang mewakili korban di depan hukum menerima putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Kupang. Keluarga korban hanya pasrah meski tidak menerima putusan yang dinilai melukai rasa keadilan mereka.

Baca juga: Paus Leo XIV Perluas Peran Perempuan Tanpa ‘Tabrak’ Tradisi Gereja

Ketimpangan yang Terstruktur

Kesetaraan gender bukan hanya soal kesempatan, tetapi soal daya dan ruang untuk mengambil keputusan. Namun hingga kini, perempuan NTT masih jarang menjadi pengambil keputusan dalam rumah tangga, komunitas, maupun lembaga formal.

Dalam banyak komunitas adat, suara perempuan nyaris tak terdengar dalam musyawarah desa. Padahal Undang-Undang Desa mengamanatkan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan. Tapi praktiknya, mereka hanya dijadikan peserta pelengkap—atau bahkan tidak diundang sama sekali.

Dalam dunia kerja, diskriminasi terhadap pekerja perempuan tetap nyata. Mereka dianggap kurang produktif karena dianggap akan “sering cuti” saat hamil atau menstruasi. Tidak sedikit perempuan NTT yang akhirnya menerima upah lebih rendah untuk pekerjaan yang sama.

Ironinya, data IKG tidak mencakup aspek seperti kepemilikan tanah, kontrol atas sumber daya ekonomi, atau keadilan dalam warisan adat. Aspek-aspek ini luput dari indikator, padahal menjadi fondasi kekuasaan yang melegitimasi ketimpangan.

 

iNDEKS KETIMPANGAN GENDER (BPS)
INDEKS KETIMPANGAN GENDER (BPS)

 

Optimisme Berbasis Kritis

Tidak semua gelap. Beberapa upaya lokal patut diapresiasi. Di Kabupaten Sikka, program pemberdayaan perempuan berbasis ekonomi mulai menunjukkan hasil: komunitas perempuan nelayan kini memegang peran penting dalam rantai distribusi hasil laut. Di Kabupaten Kupang, pelatihan politik bagi calon legislatif perempuan berhasil mendorong peningkatan jumlah caleg perempuan terpilih pada 2024. Kedua program ini dilaporkan dalam Laporan Tahunan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi NTT 2024.

Namun tantangan terbesar tetap pada tataran struktural: ketimpangan dalam akses pendidikan tinggi, bias dalam media lokal yang lebih suka menyoroti “ibu rumah tangga inspiratif” ketimbang politisi perempuan yang berani, serta rendahnya anggaran responsif gender dalam APBD.

Dan tentu saja, masalah data. Sebagaimana diakui BPS dalam Press Release Statistik Gender Indonesia pada 7 Mei 2024, baru pada 2024 mereka mampu menyajikan data IKG untu 38 provinsi, termasuk Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua dan Papua Barat. Artinya, selama ini banyak wilayah marginal yang luput dari pengawasan statistik nasional—padahal di sanalah ketimpangan paling brutal terjadi.

Baca juga: Perempuan NTT dalam Lingkaran Kemiskinan Panjang dan Tradisi yang Membebani

Keadilan Bukan Sekadar Angka

Sistem yang mengklaim diri sebagai pembawa kemajuan tidak cukup hanya menunjukkan angka yang menurun. Keadilan sosial tidak diukur dengan grafik. Ia hadir ketika seorang perempuan di pedalaman Sabu bisa melahirkan dengan aman. Ketika anak perempuan di Soe bisa menyelesaikan SMA tanpa dinikahkan. Ketika pekerja perempuan di Larantuka bisa menolak pelecehan tanpa takut dipecat.

Indeks kesetaraan gender di NTT bisa saja terus turun, tapi jika sistem yang menopang hidup perempuan tetap timpang dan menindas, maka angka itu hanya menjadi kosmetik statistik. Kita butuh lebih dari sekadar laporan tahunan. Kita butuh keberanian untuk mengubah struktur kekuasaan itu sendiri. [*]

 

Tags: #AngkaKematianIbuMelahirkan#BPS#Femisida#IndeksKetimpanganGender#KDRT#kesetaraangender
PriyaHusada

PriyaHusada

Baca Juga

Ilustrasi Fakta Pemerkosaan Mei 1998

Membungkam Ingatan: Takedown Mei 1998 dan Perlawanan Digital Masyarakat Sipil

by Rita Hasugian
20 Juni 2025
0

Pagi itu, 18 Juni 2025, pengelola akun @neohistoria_id membuka surel dari platform X. Isinya mengejutkan—pemberitahuan resmi bahwa Kementerian Komunikasi dan...

Ilustrasi beberapa anak sekolah merokok . (Unair.co.id)

Anak Merokok Aktif Marak di Maumere, Bisakah Kita Peduli dan Bertindak?

by Rita Hasugian
14 Juni 2025
0

Waiblama – Di tengah perbukitan di Kecamatan Waiblama, Maumere, Kabupaten Sikka, kisah seperti Roky bukan hal langka. Roky (bukan nama...

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Katong NTT

Merawat Suara Hati

Menu

  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak

Follow Us

Welcome Back!

Sign In with Facebook
Sign In with Google
Sign In with Linked In
OR

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Sorotan
  • Perempuan dan Anak
  • Cuaca, Iklim dan Lingkungan
  • Pekerja Migran & Perdagangan Orang
  • Lainnya
    • Bisnis
      • Agribisnis
      • Industri Pariwisata
    • Inspirator
    • Opini
    • Pemilu 2024
    • Kolaborasi
      • Cerita Puan
      • Dekranasda Provinsi NTT
      • Kabar dari Badan Penghubung NTT
      • Media dan Literasi

Merawat Suara Hati