26 March 2023
Berawal dari Penikmat, Kini Maria Dhone Produksi Kopi Kobba dengan Omzet Rp 10 Juta
Dekranasda NTT

Berawal dari Penikmat, Kini Maria Dhone Produksi Kopi Kobba dengan Omzet Rp 10 Juta

Feb 4, 2023

Kupang – Dua alat sangrai ditempatkan pada dua kompor yang menyala dengan api sedang. Pada tingkat panas yang sudah sesuai, kopi dimasukkan dan disangrai atau biasa disebut roasting.

Aroma kopi menguar selama 30 menit disangrai. Sandi dan Nunu, dua pria asal Bajawa, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur (NTT) ini kemudian dengan telaten memindahkan kopi yang ada dalam mesin sangrai ke wadah untuk didinginkan. Yang kemudian akan digiling halus, atau dikemas utuh untuk dipasarkan.

Keduanya adalah pekerja di UMKM Salve, dengan produknya ialah kopi asli Bajawa yang diberi nama Kobba.

Pemilik UMKM Salve, Maria Magdalena Dhone menyebut, Kobba selain berarti Kopi Bajawa, juga merupakan panggilan akrab pada sanak saudara. Khususnya untuk laki-laki di kampungnya Jerebu’u, Bajawa.

Baca juga: Tingkatkan Ekspor ke Eropa dan Afrika, Pulau Coffee Jajaki Kopi Flores

“Dengan kopi ini kita bisa bersaudara, toh? Jadi kalau minum kopi ini rasanya lebih dekat,” kata perempuan yang biasa di sapa Lena ini.

Awalnya, mereka hanyalah penikmat kopi. Bajawa yang adalah salah satu daerah penghasil kopi terbanyak di NTT, membuat mereka sudah akrab dengan kopi sejak dini.

Hingga di 2018, mereka yang kini berdomisili di Liliba, Kupang, mendapat 10 kg biji kopi mentah dari keluarga mereka di Bajawa.

“Jadi kami tidak tahu ini kopi mentah mau buat apa. Lalu, saya punya anak bungsu usul, kalau bisa kita produksi kopi saja. Dari pada kita konsumsi, lalu habis, mending kita produksi jual ke orang,” cerita perempuan 62 tahun ini.

Dengan tanpa peralatan yang memadai dan dengan keterampilan serta pengetahuan mengolah kopi yang masih minim, mereka memulai usaha itu.

Bermodalkan perkakas rumah dan belajar dari Youtube, perlahan-lahan mereka memproduksi Kobba dan menjualnya dari rumah ke rumah.

Kopi Kobba dari Bajawa, NTT. (Ruth-KatongNTT.com)
Kopi Kobba dari Bajawa, NTT. (Ruth-KatongNTT.com)

Baca juga: Jatuh Bangun Yustin Sadji, Eks Pengungsi Timtim Merawat UMKM Mindari

“Saya bawa ke kampus. Saya tawar ke teman-teman, ke dosen. Mereka bilang ini yang namanya kopi, karena selama ini mereka cari kopi asli susah,” kata Sandi, pria 24 tahun ini.

Mendapat respon positif dari penikmat kopi di Kupang, mereka kemudian mencoba menawarkan kopi Kobba ke swalayan yang ada di Kupang.

Namun, oleh karena belum memiliki izin PIRT, Halal, dan lainnya, produk mereka belum bisa diterima. Setelah berhasil mengantongi izin, Corona malah melanda. Menghentikan laju pergerakan manusia di berbagai sektor. Termasuk pemasukan dari bisnis Kobba ini.

“Corona itu (pesanan) kosong yang di sekitar sini. Palingan yang pesan daring saja,” kata Lena.

Hingga setelah corona, keadaan mulai membaik. Penerimaan Kobba di berbagai swalayan dan juga di Dekranasda NTT mulai meningkat.

Kopi Robusta dan Arabika asli tanpa ada campuran apapun dari tanah Bajawa yang diproduksi UMKM Salve kian digemari. Tak lagi dipesan oleh swalayan, namun kafe-kafe yang mulai menjamur di Kupang mulai memasok kopi dari UMKM Salve.

Target anak Muda dan Pengembangan Kopi Bajawa
Badan Pusat Statistik mencatat, hasil kopi di Ngada mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Di 2019, hasil kopi mencapai 2.351 ton. Pada 2021 diproduksi 3.224 ton, dan di 2020 mencapai 3.219 ton.

Baca juga: Status Internasional Bandara El Tari Kupang Bakal Dipangkas? Ini Dampaknya

Kopi pun mulai dinikmati oleh generasi milenial. Hal ini membuat Kobba dibuat dengan targetnya untuk anak muda.

“Kobba ini pasarnya untuk anak muda. Jadi kalau orang tua minum, ‘kenapa kopi asam?’. Karena sangrainya medium. kalau orang tua ini kan mereka sampai kopi hitam sekali itu, makanya rasanya pahit,” jelas Sandi diikuti tawanya bersama Lena dan Nunu.

Ini membuat, kafe-kafe yang ada mengambil kebutuhan kopi mereka dari UMKM Salve.

“Sudah lebih dari 10 kafe ambil (kopi sangrai) dari sini. Bukan hanya dari Kupang saja. Ada yang dari Jakarta, Bali. Kebanyakan dari Bali,” kata Nunu, mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Nusa Cendana Kupang ini.

Total produksi dapat mencapai 100 kilogram per bulannya. Setiap mereka saling membagi tugas. Sandi dan Nunu yang adalah ponakan dari Lena, bertugas menyangrai, menghaluskan biji kopi, dan memasarkannya.

Dalam usia senjanya, Lena mengambil bagian dalam proses pengemasan. Tangannya telaten memberi cap kadaluarsa pada kemasan kopi. Lalu memasukan kopi bubuk dengan takaran 250 gram per kemasan.

Walau banyak kendala seperti mendapat izin yang lama, atau kerap dibohongi oleh petani kopi terkait berat kopi yang dipesan. Atau lalai mengirim kopi yang tak sesuai pesanan, dan banyak pesaing yang muncul, Kobba tetap konsisten hadir memberi yang terbaik dengan harga yang terjangkau.

Dengan harga Rp38 ribu untuk ukuran 250gr bubuk maupun biji kopi sangrai. Baik itu kopi Robusta maupun Arabika, omzet dari Kobba dapat mencapai Rp9-10 juta per bulan. **

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *