Oleh : Nukila Evanty, Direktur Eksekutif Women Working Group dan Ketua Inisiasi Masyarakat Adat
Kawasan pesisir di pulau Sabu adalah kawasan strategis yang penting dan penuh potensi pariwisata. Pulau Sabu, Sabu Raijua atau Rai Hawu demikian masyarakat lokal menyebutnya adalah bagian Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Pulau Sabu merupakan pulau terluar dan terpencil dengan luas 460,78 kilometer persegi dengan penduduk lebih dari 30 ribu jiwa.
Saya sebagai Ketua Inisiasi Masyarakat Adat (IMA) atau Indigenous People’s Initiatives sekaligus aktivis lingkungan, keadilan dan hak-hak masyarakat adat, baru-baru ini mengunjungi pulau Sabu dan Flores Timur.
Pasir pantai indah sekali seperti di pantai Hai Rawu, pantai Wuihebo, pantai Kol Udju dan pantai Napae. Termasuk keindahan Kelabba Maja yaitu bukit berwarna dan termasuk sakral (sacred place) bagi penduduk setempat, terutama masyarakat adat Gelanalalu. Masyarakat adat Gelanalalu mengganggap Kelabba Maja sebagai tanah dewa (the land of God) dan dipercaya sebagai tempat suci Dewa Maja.
Baca juga: Friets Mone Merawat Budaya Sabu Melalui Kamus
Mencermati keindahan alamnya, saya optimistik Pulau Sabu kelak bisa seperti Maldives, negara kecil, lebih luas dari Pulau Sabu sekitar 661,5 kilometer persegi. Maldives dikelola dengan baik dengan melibatkan pemerintah dan masyarakat Maldives terutama terhadap upaya perlindungan ekosistem pantai dan lautnya yang super indah.
Pulau Sabu bersama-sama dengan Sumba, Kabupaten Kupang, Flores Timur (Flotim) juga merupakan penghasil rumput laut terbesar. Petani-petaninya tangguh. Produksi rumput laut kering di Kabupaten Sabu Raijua menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2019 sebesar 11 ribu ton. Jumlah ini diperoleh dari luas areal potensial budidaya rumput laut Pulau Sabu Raijua seluas 2.364,67 hektare. Sehingga sangat-sangat potensial untuk kesejahteraan masyarakat Sabu.
Petani budidaya rumput laut tersebut umumnya perempuan. Mereka menghidupi keluarganya dari hasil penjualan rumput laut kering kepada pengepul, Mereka sekaligus bekerja di ranah domestik untuk menjaga keluarga mereka.
Sepanjang perjalanan, saya sangat menikmati pasir putih pantai Sabu Raijua yang halus dan dengan warna air laut yang hijau, biru cerah dan biru gelap beririsan pada Mei dan Juni ini. Sungguh tidak menjemukan! Sabu cocok buat healing istilah generasi muda sekarang.
Tetapi saya terganggu pada perjalanan hari kedua di Pulau Sabu. Saya mendapati banyaknya penggalian dan penambangan pasir yang diduga dilakukan masyarakat setempat dan juga pebisnis. Sangat disayangkan karena masyarakat harusnya terinformasikan akan dampak yang dapat ditimbulkan dari kegiatan penggalian dan penambangan pasir di kawasan pesisir Pulau Sabu.
Dampak itu di antaranya pantai akan tercemari; kualitas pesisir pantai dan perairan laut ternodai; abrasi atau pengikisan pesisir pantai dan rusaknya ekosistem flora dan fauna. Rumput laut yang menjadi salah satu komoditas andalan di Sabu Raijua pasti rusak.
Baca juga: Potret Industri Garam NTT, Investor Jual Bahan Baku Hingga Pabrik Tak Berproduksi
Bahkan abrasi dan pengerukan pasir dapat merusak pantai dan ekosistem budidaya rumput laut dengan cara tradisional long-line atau pasak. Dampak ini tentunya berakibat pada penurunan kualitas dan kuantitas rumput laut.
Regulasi Diabaikan
Persoalan lainnya adalah beberapa regulasi diabaikan oleh pengambil kebijakan. Selain itu penegakan hukum yang belum kuat. Seperti tercantum dalam pasal 69 (1a) Undang-Undang Nomor 32 /2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal itu menyebutkan “setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup”.
Dalam Undang-Undang Nomor 27 /2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, menyebutkan: “dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang melakukan penambangan pasir pada wilayah yang apabila secara teknis, ekologis, sosial, dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya.”
Untuk lebih mengatur secara operasional kedua undang-undang di atas diatur dalam Keputusan Menteri (Kepmen) Kelautan dan Perikanan No. KEP.33/MEN/2002. Kepmen ini tentang Zonasi Wilayah Pesisir dan Laut untuk kegiatan pengusahaan pasir laut. Dalam Kepmen tersebut jelas pemerintah menetapkan beberapa zona perlindungan, yaitu zona yang dilarang untuk kegiatan penambangan pasir laut. Zona ini di antaranya kawasan perlindungan ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, terdiri dari Taman Laut Daerah, Kawasan Perlindungan bagi Mamalia Laut (Marine Mammals Sanctuaries), Suaka Perikanan, daerah migrasi biota laut dan Daerah Perlindungan Laut, terumbu karang, serta kawasan pemijahan ikan dan biota laut lainnya.
Selanjutnya zona perairan dengan jarak kurang dari atau sama dengan 2 (dua) mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah perairan kepulauan atau laut lepas pada saat surut terendah.
Kemudian, perairan dengan kedalaman kurang dari atau sama dengan 10 meter dan berbatasan langsung dengan garis pantai, yang diukur dari permukaan air laut pada saat surut terendah.
Bahkan Undang-Undang Nomor 27 /2007 dan Undang-Undang Cipta kerja (Omnibus Law) menyebutkan pentingnya peran masyarakat dan hak masyakat untuk melaporkan kepada penegak hukum tentang dugaan pencemaran/perusakan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang merugikan kehidupannya.
Masyarakat lokal dan masyarakat adat sebenarnya memiliki kewajiban menjaga, melindungi dan memelihara kelestarian wilayah pesisir mereka. Masyarakat dapat mengadukan jika terjadi bahaya pencemaran serta kerusakan lingkungan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil mereka.
Baca juga: Pengamat Ingatkan Kasus Orient Riwu Kore Tidak Terjadi di Pemilu 2024
Baru-baru ini ada beberapa debat dan pemikiran yang pro dan kontra dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut dengan materi muatan tentang pengelolaan dan pemanfaatan pasir laut. Tetapi perlu diingat bahwa siapapun itu termasuk pebisnis wajib mengikuti peraturan yang berlaku. Termasuk Undang-Undang yang menjadi dasar utama dari peraturan yang bersifat delegasi. Utamanya harus tetap mengikuti perizinan berusaha serta proses persetujuan lingkungan yang melekat sanksi hukumnya.
Pemerintah Kabupaten Bertanggung Jawab
Pemerintah kabupaten dan dinas -dinas yang berkaitan dengan lingkungan paling punya peran dan bertanggung jawab untuk melakukan perlindungan terhadap pasir pantai dan pesisir. Di samping itu pemerintah harus punya program yang jelas. Apa mitigasi yang dilakukan pemerintah jika masyarakat yang menggali pasir secara ilegal dan mengandalkan pekerjaan itu untuk menghidupi diri mereka dan keluarganya?
Pemerintah perlu memastikan bahwa bisnis yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan pesisir serta sebagai potensi pariwisata yang bisa mendatangkan penghasilan.
Teruntuk Sekda dan jajaran pemerintah di Pulau Sabu Raijua: Bapak /Ibu Yang Terhormat , tolong baca Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah: “Kewenangan pemerintah daerah untuk mengatur kepentingan masyarakat di daerah masing-masing & bertanggung jawab atas segala urusan yang terjadi di daerah kepengurusannya termasuk dalam hal ini masalah pasir”.
Pasal 14 (2) menyebutkan urusan pemerintah daerah kabupaten adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi di daerah yang bersangkutan. Pasal 14 (1 ) mengatur urusan yang menjadi kewenangan pemerintah di kabupaten di antaranya : dalam perencanaan dan pengendalian pembangunan; pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; penyediaan sarana dan prasarana umum;penanggulangan masalah sosial; pengendalian lingkungan hidup; pelayanan dasar lainnya; urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Sehingga jelas dan terang hal ini menjadi urusan pemerintahan kabupaten!
Baca juga: KKP Evaluasi Hilirisasi Rumput Laut, Investor Sudah Jajaki NTT
Berdasarkan Undang-Undang juga Dinas Lingkungan Hidup Pulau Sabu seharusnya mengambil tindakan karena mereka punya tugas dalam kebijakan teknis di bidang lingkungan. Seharusnya Dinas Lingkungan Hidup bisa membuat larangan atau upaya mitigasi lainnya karena mereka adalah pelaksana kebijakan.
Aparat di Kabupaten juga harus giat melakukan koordinasi dengan penegak hukum dan masyarakat pesisir. Perlu diingat bahwa masyarakat pulau Sabu harus aktif dan peka terhadap masalah penggalian pasir ini! Kita tak hidup sendirian di bumi ini. Nanti masih ada giliran anak cucu!