Kupang – Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) telah setahun disahkan namun hanya jadi hiasan dalam penegakan hukum di Nusa Tenggara Timur (NTT). Kasus kekerasan seksual marak ditemukan tapi para predatornya tak dihukum sesuai UU baru itu.
Menurut LBH APIK NTT, dalam penerapan pasalnya, sebagaimana data dari Polda NTT, kasus kekerasan seksual belum sepenuhnya menggunakan pasal dalam UU TPKS. Sejauh ini pun hanya 1 kasus saja yaitu pelecehan seksual yang menggunakan UU TPKS.
Baca juga : Dilema Korban KDRT, Melaporkan atau Patuhi Perintah Agama
Tidak digunakannya UU TPKS ini karena kepolisian masih menunggu petunjuk lebih lanjut dalam penerapan pasalnya. Selain itu, hukum acara yang diatur dalam UU TPKS belum sepenuhnya dipergunakan oleh aparat penegak hukum (APH) karena deliknya diatur pada UU yang lain.
Sebenarnya jika merujuk pada pasal 2 ayat (2) maka UU TPKS ini berlaku secara lex specialis sistematis atau secara sistematis semua kasus kekerasan mekanisme acaranya akan merujuk pada hukum acara dalam UU TPKS.
“Jadi, apakah UU TPKS masih dibutuhkan? Pasti. Problemanya bukan pada UU TPKS ini, tetapi kemauan baik dan kapasitas APH dalam menggunakan UU TPKS ini,” tukas Direktris LBH APIK NTT Ansy Rihi Dara.
Baca juga : Dinkes Ungkap Usia Termuda Pengidap HIV di Lembata
LBH APIK NTT dalam Catatan Akhir Tahun (Catahu) mereka juga memotret kasus kekerasan berbasis gender melalui analisis media dan pengaduan kasus. Acuannya pada media Pos Kupang dan Victory News. Pada 2022 ada 10 kasus yang disoroti media kemudian naik 44 kasus menjadi 54 kasus pada 2023.
“Ada kenaikan jumlah kasus 500 persen,” ungkapnya Senin 22 Januari 20224.
Media juga mencatat 77,8 persen korbannya adalah anak-anak dan 22,2 persen korbannya adalah perempuan dewasa. Data ini memperlihatkan anak-anak masih saja rentan terhadap kasus kekerasan seksual.
Baca juga : Anak Kota Kupang Rentan Jadi Korban Kekerasan Online
Selama 2023 LBH APIK NTT juga menangani 73 kasus dengan jenis kasus kekerasan seksual yang mencapai 27 persen. Sementara 15 persennya kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), 7 persen Kekerasan Gender Berbasis Online (KGBO), 6 persen kasus ingkar janji menikah dan 20 persen kasus perceraian. Kasus perkosaan dan percabulan itu yang paling mendominasi.
Korban kekerasan seksual ini pun paling banyak adalah anak-anak yaitu 16 orang dari total 19 kasus yang ditangani LBH APIK NTT.
Memang ada penurunan kasus yang ditangani LBH APIK NTT yaitu 73 kasus di tahun 2023 dibanding 2022 lalu dengan 118 kasus.
Baca juga : Sumba Dirundung Kasus Bunuh Diri
Demikian kondisi ini patut dipertanyakan terlebih setelah adanya UU TPKS dan juga UU Perlindungan Anak yang secara spesifik memberikan perlindungan kepada anak.
LBH APIK sendiri berkeinginan memperkuat sistem paralegal yang juga untuk menganalisis isu hukum yang berkaitan dengan gender dan minoritas untuk merekomendasikan kebijakan yang lebih inklusif. ***