Kupang – “Apa yang dipersatukan Allah, tak boleh diceraikan manusia” menjadi alasan bagi perempuan-perempuan di NTT tidak melaporkan tindak kekerasan yang dilakukan suaminya berulang kali.
Mereka melaporkan suaminya ke polisi setelah mengalami kekerasan yang tak tertahankan lagi. Perintah agama untuk tidak boleh menceraikan suami mereka akhirnya dikesampingkan.
Baca Juga: Pria di Matim Paksa Anaknya Jadi Budak Seks Selama 3 Tahun
Dalam pernikahan Kristen, ungkapan “apa yang sudah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” memiliki arti nikah hanya boleh sekali untuk seumur hidup.
Situasi dilematis ini membuat banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dulu disembunyikan. Namun seiring berjalannya waktu semakin banyak perempuan yang berani melaporkan suaminya.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPA) mencatat, selama lima tahun terakhir, angka KDRT di NTT terus bertambah.
Baca Juga: UU KDRT Hampir 2 Dekade, Tapi Kekerasan Terus Menjerat Perempuan dan Anak
Sebanyak 230 kasus KDRT dilaporkan pada tahun 2018. Setahun kemudian angka KDRT di NTT naik menjadi 246. Memasuki 2020, kasus KDRT mencapai 379 kasus.
Angka KDRT di NTT menembus angka 575 kasus pada 2021 dan naik drastis menjadi 877 kasus setahun kemudian.
Korban KDRT terbanyak istri dan anak perempuan.
Banyak regulasi yang kemudian muncul untuk menekan tingginya angka kekerasan pada perempuan.
Namun perempuan masih saja dijadikan pelampiasan kala suaminya marah.
Anak perempuan masih jadi pemuas nafsu bejat ayahnya, kakaknya, atau pun orang terdekatnya.
Rumah, tak lagi menjadi ‘rumah’ yang nyaman dan aman bagi perempuan.
Baca Juga: Pria di Manggarai Aniaya Anak dan Bakar Istrinya
Hal ini memunculkan dilema di tengah masyarakat.
Kehadiran Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan Surat Telegram Kapolri No. ST / 1292 /VI / Res.1.24 / 2022, 28 Juni 2022 tentang Proses Penyidikan TPKS menekankan setiap kekerasan seksual tidak bisa diselesaikan di luar peradilan.
Namun, selain stigma dan proses panjang yang harus dilalui korban, ada budaya dan agama yang juga turut menahan gerak korban untuk melapor.
Baca Juga: Muncul Ratusan Pekerja Seks Anak di Lembata, Keluarga Jadi Faktor Penyebab
Kanit PPA Polda NTT, Iptu Fridinari Kameo mengatakan, banyak korban memilih tak melaporkan kekerasan yang dialami mereka karena ajaran yang mereka terima.
“Pengalaman yang kami alami, mereka yang mengalami KDRT itu yang sudah pukul 20 kali baru ke kantor polisi,” kata Fridinari dalam Workshop Implementasi UU TPKS, Peluang dan Tantangan yang diadakan Rumah Harapan GMIT pada Jumat, 8/12/2023.
“Ada yang punya prinsip begini ‘apa yang sudah dipersatukan Tuhan, tidak boleh diceraikan manusia’. Itu banyak mama-mama di kampung yang masih pegang prinsip begini. Jadi biasanya, sudah dapat kekerasan yang kesekian puluh kali baru datang lapor polisi,” jelasnya.
Baca Juga: Ratusan Lelaki Seks Lelaki di Lembata Termasuk Usia Anak-anak
Pendeta Lenny Gana-Mansopu mengatakan, pertanyaan akan mengikuti pengajaran agama atau hukum yang berlaku kerap ia dapati dari jemaatnya.
Ini pun jadi tanda tanya besar dalam dirinya akan apa yang harus dipilih jika perempuan kerap mendapat KDRT. Namun ada ajaran yang mengharuskan tetap sehidup semati dengan pasangan yang sudah disahkan di altar gereja.
“Pengetahuan akan UU ini selain perlu untuk diketahui dan diterapkan pada semua masyarakat. Tapi penting juga kesadaran untuk rekonstruksi pemahaman teologis dan budaya di sini,” ujarnya dalam kegiatan yang sama.
Baca Juga: Ustaz di TTS Tutupi Kasus Anak 14 Tahun Yang Dihamilinya
“Menanggapi itu saya bilang cerai saja. Daripada kalian melindungi kejahatan. Cerai saja! Karena lebih penting korban kekerasan,” tegas Lena. ******