Maumere – Pengusaha UMKM di Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki beragam pengalaman dalam mengelola keuangan mereka. Tujuannya supaya dana digunakan sesuai kebutuhan dan usaha dapat berkembang.
Lhutfiani Windy, pelaku UMKM di bidang cemilan dan makanan beku di Maumere, Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara menggunakan tabungan sebagai modal awal.
Bermodalkan hasil tabungan senilai Rp 10 juta tahun 2020, Windy membeli cemilan dan makanan beku ke distributor. Dia mengemas kembali produk makanan itu lalu dijual ke warga sekitar maupun secara online.
“Modal awal itu saya ambil sepuluh juta dari tabungan. Saya beli snack dalam bentuk bal. Satu bal itu sekitar dua sampai empat kilo, lalu saya kemas lagi,” kata Windy kepada KatongNTT pada Selasa, 13 Agustus 2024.
Windy memilih berjualan makanan beku karena usaha ini belum ada di Maumere. Ini peluang bagi dia untuk mantap membuka usahanya.
Baca juga: Lima Masalah Utama Dihadapi UMKM NTT
Awalnya Windy hanya memperkenalkan nama produk usahanya. Untuk menarik minat masyarakat, Windy memberikan diskon. Sehingga dalam dua bulan memperkenalkan usahanya dia hanya mendapat keuntungan Rp 500 ribu per bulan.
“Saya selalu memberikan diskon sebagai penarik masyarakat. Ngak harus beli. Jadi dulu modal 10 juta keuntungan cuma 500 ribu karena tujuan awal hanya untuk pengenalan. Pengenalan nama dulu. Setelah sudah tau baru up harga,” ujar Windy.
Dia pun gencar mempromosikan usaha makan bekunya melalui media sosial Facebook. Tidak sia-sia, usahanya jadi semakin dikenal luas oleh masyarakat.
Dalam 3 bulan, tepatnya Maret 2020, Windy balik modal. Itu artinya uang tabungan sebagai modal usaha terselamatkan. Dia mulai menikmati keuntungan dari jualan makanan beku.
Lhutfiani Windy, pengusaha UMKM makanan beku di Maumere, Kabupaten Sikka, Provinsi NTT, (Winsensius/KatongNTT.com)
Tak tergoda untuk loncat pagar ke usaha lain, Windy fokus membesarkan usaha makanan bekunya pada 2021. Dia menjual beragam makanan beku termasuk ayam beku. Omsetnya ini sudah mencapai 150 juta per bulan.
Dalam empat tahun menjalankan usahanya, Windy mengantongi laba bersih mencapai Rp 40 juta per bulan.
Windy menjalankan usahanya itu sendiri tanpa dukungan pemerintah. Berdasarkan informasi yang diperoleh KatongNTT dari Dinas Perdagangan dan Koperasi UMKM Sikka, UMKM milik Windy tidak masuk dalam binaan pemerintah Sikka.
Baca juga: Tiga Tips Pasarkan Produk UMKM NTT Lewat Media Digital
Menyadari pengelolaan keuangan penting dalam menjalankan usahanya yang semakin besar omzetnya, Windy memutuskan menggunakan aplikasi Griyo Pos. Dia menjelaskan, Griyo Pos merupakan aplikasi yang bisa digunakan untuk mencatat semua transaksi keuangan dalam semua jenis usaha , termasuk UMKM. Aplikasi ini juga tidak menggunakan kuota internet saat digunakan alias gratis.
“Untuk mengatur keuangan, saya menggunakan aplikasi Griyo Pos. Aplikasi ini memudahkan kita UMKM untuk melihat keuangan. Aplikasi ini semacam aplikasi kasir. Ada pemasukan, ada pengeluaran, untung, laba. Semuanya sudah ada di aplikasi. Sepertinya aplikasi ini dirancang untuk UMKm,” ujar Windy.
Windy mengajak agar pengusaha UMKM di Sikka untuk menggunakan aplikasi Griyo Pos untuk membantu mengelola keuangan usaha.
*****
Bunda Mayora pemilik salon kecantikan di Maumere, Kabupaten Sikka, NTT. (Winsensius/KatongNTT.com)
Sebagian besar masyarakat di Kabupaten Sikka di Pulau Flores menerima transpuan tanpa diskriminasi atau stigmatisasi. Sehingga transpuan merasa aman mengembangkan kapasitas dirinya, termasuk memilih fokus di UMKM.
Hendrika Mayora Victoria, yang biasa disapa Bunda Mayora adalah transpuan yang memiliki usaha salah salon kecantikan di Sikka. Kemudian dia dipercaya warga Desa Habi, Kecamatan Kangae, Sikka sebagai Ketua Badan Permusyawaratan Desa.
Bunda Mayora mendirikan salon kecantikan tahun 2019 dengan modal uang tabungan Rp 5 juta. Uang itu awalnya mau dia pakai untuk biaya transportasi ke Yogyakarta. Dia ingin menetap di kota gudeg ini.
“Saya memulai usaha ini sejak tahun 2019 dengan modal 5 juta. Itu uang simpanan saya dari Jogja. Saya mau pulang kembali ke Jogja akhirnya tidak jadi. Uang yang ada itu saya memberanikan diri untuk buka usaha,” kata Mayora kepada KatongNTT, Selasa 20 Agustus 2024.
Baca juga: Pelaku UMKM NTT Belum Optimalkan Pemasaran Digital
Bunda Mayora kemudian merinci dari uang simpananya itu sebesar Rp 3 juta untuk sewa rumah dan selebihnya untuk membeli perlengkapan salon. Selain itu, Bunda Mayora juga berjualan sayur dan “nasi kuning” untuk menambah penghasilan.
Pandemi Covid-19 yang menerjang Indonesia tahun 2020-2021 berdampak pada usahanya yang mandeg. Namun Bunda Mayora tak menyerah, dia kembali melanjutkan usahanya pada 2022 hingga sekarang.
“Usaha saya vakum sampai beberapa tahun karena Covid. Kemudian saya memulai lagi di pertengahan tahun 2022, ujarnya.
Meski banyak tantangan yang menghalangi usahanya, terutama saat itu masih banyak stigmatisasi terhadap transupuan, Bunda Mayora tetap sabar menjalani usahanya. Penghasilan kotor rerata per hari Rp 300 ribu dari salon kecantikan.
Uang itu Bunda Mayora pergunakan untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari dan membayar kontrakan rumah. Dia juga menyisihkan uang penghasilannya untuk untuk membiayai keluarganya.
Baca juga: Bank Dunia Sebut UMKM Tulang Punggung Ekonomi Dunia
Menurut Bunda Mayora, UMKM miliknya tidak masuk dalam binaan Dinas Perdagangan dan Koperasi UMKM Sikka. Dia memilih bergabung di organisasi UMKM bernama Aku Sikka yang anggotanya saat ini sebanyak 346 orang. Sebagian besar perempuan.
“Perempuan lebih banyak kira-kira dua per tiga,” kata Sherly Irawati, Ketua UMKM Aku Sikka kepada KatongNTT, Kamis, 22 Agustus 2024.
Selain mengelola usaha salonnya, Bunda Mayora juga mengelola waktu untuk perannya sebagai Ketua BPD Desa Habi. Bunda Mayora merupakan transgender pertama di Indonesia yang menempati jabatan publik. Di lembaga ini dia aktif menyuarakan aspirasi masyarakat yang disingkirkan, termasuk transgender di Sikka.
“Saya seorang transgender. Tentunya tidak mudah. Stigma-stigma untuk saya itu masih ada,” ujar Bunda Mayora. (Winsensius)
“Artikel ini diproduksi sebagai bagian dari proyek Women Media Collabs (https://jurnalisme.id/womenmediacollabs) dan didukung oleh UNDP Indonesia”