Soe – Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (Pemprov NTT) menuding warga Besipae yang digusur merupakan warga yang tinggal secara ilegal. Kepala Badan Pendapatan dan Aset daerah Provinisi NTT, Alex Lumba menyampaikan hal itu di lokasi penggusuran yang berada di Desa Linamnutu, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Jumat (21/10/2022).
Alex mengatakan, dalam kesepakatan tahun 2020 lalu, Pemprov bersedia memberikan tanah seluas 800 m2 lengkap dengan sertifikat per kepala keluarga . Tanah tersebut akan diberikan kepada 37 Kepala Keluarga.
Namun dari jumlah tersebut, kata Alex, hanya 19 KK yang bersedia menerima. Ia tidak mengetahui kemana perginya 18 KK lainnya.
Di tahun yang sama, Pemprov NTT membangun 12 unit rumah dan merelokasi 2 unit rumah lainnya ke lokasi yang digusur sekarang. Menurutnya, warga tidak menempati rumah tersebut, malah mendemo kembali Pemerintah.
Karena penolakan tersebut, kemudian pengurusan sertifikat belum dilaksanakan. Kunci rumah tersebut diserahkan kepada Camat dan Kapolsek Amanuban Selatan.
Dalam perjalanan, warga justru masuk dan menempati rumah-rumah yang sudah dibangun tanpa izin. Bahkan warga juga membangun lagi rumah diatas tanah yang masih termasuk dalam kawasan yang dikuasai oleh Pemprov NTT.
Alex mengatakan, penggusuran yang sekarang terjadi merupakan buntut dari aksi penghadangan yang dilakukan oleh warga Besipae.
“Warga menghalangi proses pekerjaan yang sudah dianggaran dalam APBD tahun 2022,” kata Alex.
Baca juga: Warga Besipae Kehujanan dan Tidur di Bawah Pohon
Pekerjaan yang saat ini dilakukan adalah pembangunan jalan, paddock dan pagar di kawasan Besipae. Kawasan tersebut dimiliki Pemprov NTT dengan status hak pakai berdasarkan sertifikat nomor 0001 tahun 2013 dengan luas 3.780 hektare.
Niko Manao, warga Besipae mengatakan, Pemerintah melanggar rekomendasi yang dikeluarkan oleh Komnas HAM. Menurutnya, Komnas HAM pada 2020 merekomendasikan kepada Pemprov untuk menahan diri dan tidak melakukan pembangunan atau pekerjaan sebelum masalah tersebut diselesaikan.
“Alasan kami menolak karena Pemprov tidak jalankan kesepakatan mengidentifikasi kembali batas-batas, jika tanah masyarakat masuk di dalam sertifikat 3.780 hektare itu maka dikeluarkan,” jelas Niko.
Masyarakat, kata Niko, menempati rumah-rumah tersebut atas rekomendasi dari Komnas HAM. Hal itu dilakukan sambil menunggu proses penyelesaian masalah tersebut.
Pemprov NTT pada Agustus 2020 menyanggupi untuk mengidentifikasi kembali batas-batas kawasan tersebut. Kesanggupan itu tertuang dalam surat kesepakatan bersama usif Nabuasa.
Baca juga: Besipae Kembali Memanas, Pemprov NTT Gusur Rumah Warga
Alex menyebut identifikasi sudah dilakukan. Namun ia tidak menyebut siapa yang dilibatkan dalam identifikasi tersebut dan berapa luas tanah yang dikeluarkan dari kawasan tersebut.
Sudah diidentifikasi. Itu BPN sudah identifikasi,” kata Alex saat ditanya oleh Ketua Pospera TTS, Yerim Fallo.*****