Pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak akan terjadi sebentar lagi. Selepas pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg) kemarin, suhu politik di daerah-daerah kembali meningkat. Dalam waktu 60 hari kampanye ini, tiap kontestan sibuk merancang narasi, membangun efek politiknya. Ruang publik yang bising semakin menggema. Bahkan sejak putusan Mahkamah Konstitusi yang melonggarkan aturan pencalonan kepala daerah, jumlah kandidat baru di kontestasi pilkada melambung.
Figur-figur yang muncul itu, beberapa kali dikatakan sebagai “kandidat alternatif”, mengingat bahwa separuh calon lain bukanlah tokoh yang asing. Tetapi perlu disadari, suasana tersebut turut memicu perhelatan politik semakin kompetitif. Merujuk pada konteks NTT, pertarungan atribut kampanye ikut mempertontonkan betapa sengitnya adu kekuatan para calon dengan rivalnya yang kurang lebih apple to apple (sepadan).
Baca juga: Dekonstruksi “Unu”dalam Mengawasi Pemerintah Daerah TTU
Kemudian, demokrasi sebagai modus operandi (sistem operasional) bangsa ini, mengandaikan hidupnya ruang publik dan pertarungan argumen. Kemajemukan adalah keniscayaan. Kebebasan berbicara dan dialektika rasional dijamin dan dilindungi oleh negara (contohnya pada Pasal 28E ayat 3 UUD 1945). Pelibatan publik penting dan didorong untuk mengontrol kebijakan yang adil. Demikian sistem demokrasi pada prinsipnya membatalkan kepentingan parsial dalam perjuangan mencapai political goals yaitu kebaikan bersama. Bentuk konkret dari prosedur demokrasi tersebut adalah perayaan pilkada yang tinggal sebentar lagi.
Sebelum sampai pada hari pencoblosan, salah satu tema penting untuk didiskusikan adalah demagogi. Istilah ini telah lazim dalam politik dan menandai kemunduran demokrasi. Di era kemajuan digital dan arus beragam media sosial, kebebasan berbicara mengalami ambivalensi makna. Ruang publik telah disusupi oleh beragam informasi yang kurang substansial dan gencar menarasikan sentimen, hoax, hate speech dan informasi lain yang sarat logika pasar. Di sisi lain, sosok demagog politik terlibat dengan menunggangi demokrasi demi tujuan titipan ambisi segelintir feodal.
Masa kampanye ini dipakai para demagog dengan memainkan manuver politiknya, yakni untuk mengantongi simpati pemilih yang rentan emosional dan transaksional. Mengingat Haryatmoko dalam paper-nya; tidak jarang pihak pengkritik mudah terpeleset jatuh dari suara kritis sebagai “devil’s advocate”, berubah menjadi seorang demagog (Kompas, 10/8/2023). Itulah realitas demokrasi saat ini yang disabotase praktik demagog politik.
Baca juga: Pilkada, Kebebasan dan Otonomi Masyarakat
Selanjutnya, kabut selubung antara sosok pelayan rakyat dan demagog politik tergolong tipis. Masyarakat pemilih akan mudah terkecoh jika saja tidak berpandangan kritis dalam mengidentifikasi para calon. Lantas, paper ini hendak menyuguhkan pertanyaan-pertanyaan stimulus: Apa itu demagogi? Seperti apa rupa pelayan rakyat? Siapa yang dicari atau yang esensial dari sebuah perayaan pemilu (pilkada). Pelayan rakyat atau demagog politik?
Demagogi Politik
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), demagogi dimaknai sebagai penghasutan terhadap orang banyak dengan kata-kata yang dusta untuk membangkitkan emosi rakyat. Merunut asal katanya, istilah demagog berasal dari bahasa Yunani, dari kata demos yang berarti rakyat dan agógos yang berarti pemimpin (penghasut). Wikipedia secara gamblang mengartikan demagog sebagai pemimpin politik yang popular, yang meraih simpati rakyat untuk melawan kaum elit lewat pidato yang manipulatif dan sarat emosional.
Manuver yang dipakai identik dengan politik kambing hitam, membesar-besarkan bahaya untuk memicu ketakutan, berbohong untuk efek emosional, atau retorika kosong yang menenggelamkan pertimbangan akal sehat dan narasi fanatisme (Wikipedia.org, diakses pada 17 November 2024). Demagog mengacu pada figur, dan demagogi adalah perbuatannya.
Baca juga: Desa di Lembata Pelajari Dampak Politik Identitas
Menurut Haryatmoko, demagogi selalu hadir dalam tiga teknik yang mencolok (Haryatmoko, 2003). Pertama, narasi kambing hitam. Bahwa pokok persoalan politik terletak pada kelompok luar, dibandingkan kelompok dalam (klaim kebenaran kelompok sendiri). Kedua, Argumen ad hominem. Pidato seorang demagog lebih cenderung menyerang, menyudutkan saingan politik secara emosional dibandingkan berpikir rasional-obyektif. Ketiga, skematisasi problem atau penyederhanaan yang berlebihan.
Dalam orasinya, demagog memakai framing politis untuk menyederhanakan persoalan dengan cara yang mudah, namun tidak realistis dan rapuh dalam implementasi. Tujuannya adalah memenangkan simpati dan public trust. Ujungnya jelas, demagog politik pasti pandai dengan rumus-rumus pencitraan politis. Contoh historisnya ialah Adolf Hitler (pemeran diktator, fasisme, sekaligus demagog politik).
Setelah demagog menang dalam kompetisi, ironi pun terjadi. Samesto Nitisastro dalam naskahnya ingatkan; demagog demokrasi banyak menebarkan janji. Namun, setelah politisi itu terpilih, ia tidak berbuat apa-apa, bahkan melakukan pengkhianatan terhadap rakyat (Kompas, 18/9/2023). Situasi berujung tirani dan disrupsi politik tanpa henti, dengan tidak lagi memihak pada rakyat. Untuk itu, Otto Gusti Madung sudah mendeteksi dengan cerdas dan tegas katakan; rezim anti-debat yang substansial adalah awal kehancuran bagi demokrasi dan karena itu harus dilawan (Kompas, 4/1/2024).
Gambaran Pelayan Rakyat
Dalam edisi Jurnal Ledalero (Desember 2008), Leo Kleden pernah mengurai dengan cermat tentang figur pemimpin yang merujuk pada pelayan rakyat. Ia terangkan bahwa pemimpin sejati adalah orang yang mempunyai otoritas atau kewibawaan, dan karena itu diikuti dengan sadar, bebas dan senang hati oleh orang-orang yang dipimpinnya. Pengakuan akan otoritas merupakan pengakuan rasional bahwa orang yang disebut pemimpin itu mempunyai pengetahuan yang lebih mendalam tentang suatu masalah, kemampuan yang lebih tinggi atau pengalaman yang lebih luas, sehingga sanggup memberi penilaian yang tepat dan mampu mengambil keputusan yang bijaksana demi kepentingan bersama.
Bukan itu saja! Pemimpin itu diterima karena ia telah menunjukkan integritas pribadi melalui teladan hidupnya. Apa yang dikatakannya, dihayati dalam perbuatan. Dengan demikian, pelayan rakyat ibaratnya seperti “spirit utama” yang dibutuhkan dari seorang pemimpin sejati.
Selanjutnya, Leo Kleden menambahkan bahwa pemimpin sejati adalah sekaligus “pelayan” yang mengabdikan diri untuk kepentingan umum. Dengan begitu, secara ideal konsep pemimpin sesungguhnya berkelindan dengan figur seorang pelayan rakyat. Memilih pemimpin dalam ajang pilkada nanti sudah sepatutnya memilih gambaran seorang pelayan rakyat, seorang nahkoda menuju bonum commune.
Baca juga: Deret Anak-anak Politisi Besar Rebutan Suara di NTT
Timbul pertanyaan, deskripsi pelayan rakyat itu seperti apa? Paling tidak beberapa keutamaannya meliputi; aspek dedikasi, integritas, komunikatif dan responsif terhadap aduan masyarakat. Pemimpin (pelayan rakyat) bukanlah sekedar roda penggerak distribusi keadilan semata. Apalagi seorang oportunis dan manipulatif. Pemimpin semestinya mengabdi mati-matian untuk rakyatnya, mengejawantahkan amanah rakyat “vox populi vox Dei” (suara rakyat adalah suara Tuhan).
Berikutnya yang perlu diperhatikan adalah kesadaran edukasi politik; pendidikan politik jelang pilkada (masa kampanye). Rakyat pemilih sudah semestinya cerdas, peduli untuk merampungkan informasi kritis terhadap ketokohan (keteladanan) para kandidat. Literasi politik itu didasari semangat untuk menyelamatkan suara rakyat dari tangan para demagog politik (godaan emosional-transaksional). Di samping itu, penting juga terkait orientasi para pemilih.
Ironinya ialah minat rakyat pemilih yang rentan transaksional dan pragmatis (lebih butuh uang politik). Kenyataan ini menjadi “patologi sosial” menjelang pilkada yang semestinya menjadi keprihatinan bersama untuk diselesaikan. Alasannya jelas, peta politik dan nasi rakyat sangat ditentukan pada pilihan bersama di pilkada mendatang (27 November 2024).
Akhirnya, refleksi ringan ini kembali menitipkan pertanyaan; qou vadis pilkada: Pilih pelayan rakyat atau demagog politik? [*]