Labuan Bajo – Dewan Pers menyebut penangkapan dan penganiayaan Pemimpin Redaksi Floresa.co oleh aparat polisi saat meliput unjuk rasa penolakan Proyek Geothermal di Poco Leok merupakan pelanggaran pidana serius.
Eric Tanjung, Satgas Anti Kekerasan Dewan Pers mengatakan sesuai hasil assessment dan klarifikasi terhadap kasus tersebut, setidaknya ada tiga poin kekerasan yang dilakukan polisi terhadap Herry Kabut, yakni kekerasan fisik, perampasan alat kerja, dan intimidasi.
Baca juga: Pemimpin Redaksi Floresa.co Ditangkap Polisi Saat Meliput Aksi Tolak Proyek Geothermal Poco Leok
Kasus yang dialami Herry Kabut, kata dia, sudah memenuhi unsur pidana seperti diatur dalam Pasal 18 ayat 1 Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dengan ancaman pidana penjara dua tahun dan denda Rp500 juta.
Menurut Satgas Anti Kekerasan Dewan Pers, tindakan polisi terhadap Pemimpin Redaksi Floresa.co dalam bentrok demo warga Poco Leok mengancam kemerdekaan pers. Satgas meminta kasus ini diusut tuntas.
“Kasus ini harus diusut tuntas. Termasuk yang memberikan perintah dalam hal ini adalah Kapolres Manggarai juga harus diperiksa, dievaluasi, serta semua anggota yang terlibat di sana itu harus diperiksa dan dievaluasi,” kata Eric dalam konferensi pers di Labuan Bajo pada Senin, 7 Oktober 2024.
Herry dilaporkan ditangkap dan dianiaya polisi saat sedang meliput aksi warga Poco Leok, Kecamatan Satar Mese, Kabupaten Manggarai, menentang proyek geothermal pada Rabu, 2 Oktober 2024.
Dalam kronologi yang ditulisnya, Herry mengatakan polisi menganiaya dan menyekapnya di dalam mobil selama beberapa jam, sebelum kemudian dibebaskan pada Rabu sore sekitar pukul 18.00 Wita.
Polisi juga, kata Herry, merampas handphone dan laptop, lalu memeriksa isi alat kerjanya itu.
Polisi membantah terkait penangkapan Herry, menyebutnya hanya “diamankan” karena tidak bisa menunjukan kartu pers.
Baca juga: Ibu-Ibu Poco Leok Tolak Proyek Geotermal: Kami Berjuang Sampai Tuntas
“Kami tidak mengatakan yang bersangkutan seorang awak media walaupun faktanya dia seorang awak media, kenapa kami tidak mengatakan atau menggiring yang bersangkutan ini selaku jurnalis karena disaat kita minta pembuktian kalau dia merupakan seorang jurnalis dia harus bisa menunjukkan kartu identitas jurnalis,” kata Kapolres Manggarai, AKBP Edwin Saleh, dalam konferensi pers pada Sabtu, 5 Oktober.
Di sini, katanya, “saya ingatkan kepada awak media bahwa saya juga punya hak untuk membuat laporan ke Dewan Pers terkait rekan-rekan media yang mengabaikan SOP dan kode etik jurnalistik dalam melaksanakan tugas atau liputan kegiatan apalagi sekelas Pemred sebuah media.”
Eric yang juga Ketua Komite Keselamatan Jurnalis Indonesia menjelaskan Herry sebagai jurnalis dan Pemimpin Redaksi Floresa.co telah menjalankan Kode Etik Jurnalistik saat melakukan liputan di Poco Leok
“Kami sudah memverifikasi, Herry menjalankan Kode Etik Jurnalistik dengan menunjukkan surat tugasnya kepada aparat yang meminta surat tugas untuk ditunjukkan oleh Hery. Mestinya dengan apa yang sudah dilakukan Hery sebagai jurnalis oleh aparat dalam hal ini polisi harus dihormati sebagai identitas jurnalis,” katanya.
Dewan Pers, kata Eric, akan menyurati Kapolri dan Panglima TNI untuk memberikan atensi kepada semua anggotanya yang terlibat dalam penganiayaan terhadap jurnalis.
Tuntut Copot Kapolres Manggarai
Kelompok diaspora Manggarai di Jakarta yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Peduli Poco Leok menggelar aksi demonstrasi di Mabes Polri pada Senin, 7 Oktober, menuntut pencopotan Kapolres dan Wakapolres Manggarai atas aksi kekerasan dalam pengamanan proyek geothermal Poco Leok.
Kristianus Jaret, Koordinator Umum Koalisi Masyarakat Peduli Poco Leok mengatakan, aksi penolakan proyek geothermal oleh masyarakat Poco Leok sudah berlangsung bertahun-tahun.
Baca juga: Perempuan NTT Dalam Bayang-bayang Bencana Ekologis
“Mereka hendak melindungi kampung atau ruang hidup mereka sendiri dari rencana proyek industri ekstraktif tambang panas bumi,” katanya.
Kristianus mengatakan masyarakat Poco Leok mendapatkan kekerasan fisik saat melakukan aksi protes pada 2 Oktober, mengakibatkan beberapa warga mengalami luka di bagian tubuh, “bahkan ada juga yang sampai dilarikan ke rumah sakit di Ruteng.”
Selain kepada warga, kekerasan fisik dan intimidasi juga menyasar pada seorang jurnalis yang merupakan Pemimpin Redaksi Floresa.co. Menurut Kristianus kekerasan tersebut merupakan tindakan yang tidak dibenarkan.
Selain menuntut pencopotan Kapolres dan Wakapolres Manggarai, koalisi juga menuntut untuk “Hentikan segala tindakan biadab yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap masyarakat Poco Leok.”
Dewan Pers dan Polri Sepakat Tolak Kriminalisasi Karya Jurnalistik
“Audit sumber dan penggunaan anggaran Polres Manggarai,” tuntut koalisi itu.
Mereka juga menuntut Polres Manggarai untuk “Mengakui kepada publik bahwa aparat kepolisian telah melakukan aksi kekerasan terhadap masyarakat Poco Leok dan jurnalis. [*]