Kupang – Di masa kini hampir semua aktivitas bisnis manusia terhubung dengan teknologi komunikasi digital. Tapi masih ada orang yang setia berbisnis tanpa tergantung pada teknologi itu. Satu di antaranya adalah Titus Rihi Ga, pengojek pangkalan di Kota Kupang.
Pria berusia 57 tahun ini, setiap hari mangkal di depan ruko di persimpangan jalan Siliwangi, terminal Kupang. Ini kawasan “kota tua” di Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Berkisar 15 meter dari tempat Titus mangkal adalah kawasan wisata pantai yang ramai dikunjungi warga sekitar atau turis saat sunrise maupun sunset. Para pedagang kuliner membuka lapak untuk menyajikan makanan maupun minuman.
Kawasan yang kurang tertata apik ini dipenuhi bus angkutan kota yang ngetem menunggu penumpang. Jadi tempat mangkal ojek pangkalan sudah 25 tahun lamanya.
Hilir mudik truk-truk berukuran besar maupun sedang dari arah pelabuhan Tenau maupun sebaliknya. Semrawutnya kawasan terminal Kupang itu mengancam keselamatan para pejalan kaki maupun pengendara motor.
Baca juga: Dirjen Perhubungan Darat Pastikan Pembangunan Terminal Bimoku Rampung Agustus 2023
Titus tampaknya sudah terbiasa dengan situasi semrawut itu. Sejak akhir tahun 1998, dia sudah mangkal di kawasan terminal Kupang itu untuk mendapatkan penumpang.
Dia tidak punya pilihan saat itu, selain melakoni profesinya sebagai pengojek pangkalan. Dia harus menghidupi istri dan lima anaknya.
Di tengah gempuran ojek online yang semakin ramai di Kupang, Titus tetap saja mendapatkan penumpang sekalipun jumlah pengojek pangkalan berkurang karena beralih profesi atau jadi pengojek online.
“Masih ada orang yang tidak punya atau tidak bisa menggunakan aplikasi ojek online,” kata Titus, perintis ojek pangkalan ini menuturkan kepada KatongNTT.com, Senin sore, 1 Mei 2023.
Selain itu, ujar Titus, ada saja orang yang butuh segera bertemu orang atau ke lokasi tertentu sehingga lebih cepat memilih pengojek pangkalan ketimbang pengojek online.
Dia percaya, baik pengojek pangkalan maupun pengojek online sudah punya pangsa pasar sendiri.
Pria kelahiran Sabu Raijua ini pun mengenang awal dirinya terjun di profesi pengojek pangkalan di Kota Kupang.
“Pertamanya saya dagang cari ayam dari Rote,” ujar Titus.
Ketika itu dia baru turun dari perahu di Namosain, bertemu dengan temannya Yonathan Lena Jila yang sedang mengantar penumpang ke Pelabuhan Tenau.
Titus kemudian ditawarkan untuk menjadi pengojek setelah temannya tahu penghasilan Titus tidak menentu dalam berdagang.
“Jadi dia bilang ‘Kamu ojek saja. Kamu urus SIM, cari motor, sewa. Setiap hari saya bisa pegang di atas Rp300 ribu.’ Jadi saya tergiur,” cerita Titus.
Ia kemudian menyewa motor milik keluarga dengan harga Rp25 ribu per hari. Di November 1998, Titus resmi jadi pengojek di Kota Kupang.
Pangkalan ojek pertama berlokasi di seberang pangkalan mereka sekarang. Pangkalan ojek pertama tersebut kini menjadi pusat perbelanjaan handphone SPC (Sahabat Pasarraya Center).
Di tempat itu 25 tahun lalu, lebih dari 100 pengojek mangkal di sana. Mereka menjadi pengojek pangkalan pertama yang ada di Kupang.
“Saat itu hanya ada dua pangkalan ojek, di terminal bis Oebobo lalu terminal Kupang. Jadi hanya dua ini saja,” kata Titus.
Mereka kemudian tergabung dalam satu organisasi yang bernama OJAS atau Organisasi Jasa Angkutan Ojek.
Dalam organisasi ini, mereka dibekali dengan kartu identitas dan rompi ojek yang di belakangnya bertuliskan nomor anggota dan nama organisasi.
Tujuannya, jika ada kendala atau pun anggota pengojek membuat masalah, masyarakat sudah tahu ke mana mereka melapor.
Baca juga: Bukan Khayalan, Pembangunan Kereta Api di NTT Sudah Masuk RPJM 2018-2023
“Waktu itu juga tidak sembarang terima orang untuk masuk ojek. Yang pertama mereka (harus) punya SIM. Setelah dia punya SIM baru dia bisa terbitkan ini (kartu). Yang utamakan SIM supaya di jalan tidak ada kendala,” jelas Titus.

Dengan kehadiran pengojek di kota Kupang membuat Titus dan rekan-rekannya meraup penghasilan yang tinggi.
Di hari pertama bekerja dari pukul 08.00 pagi sampai 12.00 malam, Titu mendapat lebih dari Rp200 ribu.
Di hari berikutnya dia bahkan bisa mengantongi uang lebih dari Rp 300 ribu per hari.
Menyadari tingginya penghasilan sebagai pengojek, Titus semakin yakin di profesi barunya itu.
Tak hanya Titus, menjadi pengojek kala itu jadi satu pekerjaan yang menarik minat banyak pihak. Dari guru, polisi, hingga tentara pernah menyambi menjadi pengojek.
“Waktu tahun berapa itu ada disoroti, guru datang terlambat sekolah karena ojek. Jadi mereka mulai berhenti,” cerita Titus sambil tertawa.
Berbagai penumpang dengan berbagai macam tujuan sudah dia layani. Dengan bermodalkan janjian atau didatangi langsung penumpang, para pengojek menjalani rutinitas mereka.
Suatu hari di tahun 2003, Titus meraih penghasilan tertinggi sepanjang bekerja sebagai pengojek.
Seorang mahasiswa di malam yang sudah larut butuh segera ke Atambua, Kabupaten Belu. Dia dinyatakan lolos tes kepegawaian sehingga wajib mendaftar dan keesokan hari adalah batas pendaftaran.
“Waktu itu bis malam sudah keluar semua. Jadi dia datang cari motor di terminal Kupang. Dia lihat saya punya motor. Jadi saya antar sudah,” ujar Titus.
Mereka berangkat dari Terminal Kupang sekitar jam 10 malam dan tiba di Atambua keesokan hari jam 6 pagi.
Mereka tidak sempat rehat di jalan karena harus mengejar waktu tiba di Atambua sebelum jam 7 pagi untuk mendaftar kembali.
Menariknya, Titus dan penumpang tersebut bergantian menyetir motor untuk mengatasi lelah karena perjalanan jauh yang mereka tempuh.
“Untung juga penumpang itu bisa bawa motor jadi kita baku (saling) ganti,” cerita Titus.
Baca juga: Minim Peminat Motor Listrik di Kota Kupang, Himbara Tawarkan Skema Pembiayaan Menarik
Dia menerima bayaran bersih Rp 750 ribu untuk jasanya mengantar penumpang sejauh sekitar 200 kilometer itu. Penumpang tersebut membayar BBM, makan minum di jalan, serta rokok.
“Sekembalinya dari sana saya masih dikasih amplop dari bapak penumpang Rp350 ribu. Saya tidak minta. Tapi rasa terima kasih dari orang tuanya saya sudah antar anaknya dengan selamat,” ujar Titus sumringah.
“Ini penghasilan tertinggi saya, antar penumpang ke Atambua,” ucapnya tertawa.
Kenangan pahit juga ada, ujar Titus lagi. Dia pernah dikelabui penumpang yang tidak membayar uang ojeknya.
Titus menyakini banyak berkat yang diterima dari pekerjaannya ini. Dia tetap mengenang kebaikan para penumpangnya yang kerap memberikan tip setiap kali pengantaran. Makanya dia memutuskan untuk fokus sebagai pengojek pangkalan.
“Mulai dari itu saya rasa Tuhan kasih berkat di situ sudah. Jadi saya tekuni sampai sekarang. Jadi biar cape, syukuri saja,” ujar Titus.

Saat Ojol Beroperasi di Kota Kupang
Kota Kupang diramaikan dengan pemotor berjaket biru, hijau, dan kuning pada tahun 2018. Mereka pengojek online alias ojol.
Beberapa pengojek pangkalan mulai menanggalkan rompi kuning OJAS dan memakai atribut ojol yang baru.
Banyak penumpang pula sudah beralih memesan ojek lewat aplikasi, pun dengan pembayaran nontunai.
Teman-teman Titus sepangkalan dengannya banyak pula yang sudah beralih profesi dan diganti dengan kerabat lainnya. Pendapatan mereka pun turun drastis dibandingkan sebelum ojol melantai di Kupang.
“Sekarang satu hari bisa Rp80-90 ribu. Itu masih bisa,” kata Titus.
Titus tahu benar konsekuensi dari persaingan antara pengojek pangkalan dan pengojek online. Sehingga dia pun kini menyambi jadi buruh bangunan.
Namun Titus tetap setia sebagai pengojek pangkalan. Dia percaya tidak semua orang melek teknologi. Sehingga keberadaan mereka pun masih jadi berkat bagi mereka yang membutuhkan.
Sekalipun Titus memiliki telepon seluler berbasis android, namun dia tak tergoda beralih menjadi pengojek online.
“Bukan kita tidak punya hp android. Kita punya semua. Cuma karena kita tidak mau. Karena ada juga orang tua yang tidak bisa main ini (android). Biasanya malam-malam begitu dari pelabuhan itu banyak,” cerita Titus.
Titus percaya berkat masing-masing orang tak ada yang tertukar.
“Kalau pendapatan memang beda jauh dengan yang ojek online. Tapi kita tidak pernah mau menyerah. Tetap ada berkat dan ada orang yang mau pakai kita,” pungkas Titus. (Ruth/Rita)