Kupang – Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) khususnya dalam sistem peradilan anak belum terlaksana di Provinsi NTT.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Kupang Clementina R. N. Soengkono menyampaikan ini didampingi Kepala UPTD PPA Kota Kupang, Randy C. A. Rohi Kana.
Baca juga : 187 Kasus Perempuan dan Anak di Kota Kupang, Ada Pelacuran Online
UU TPKS sendiri belum memiliki juknis atau aturan turunannya baik dari peraturan pemerintah, peraturan menteri, ataupun peraturan presiden.
Aparat Penegak Hukum (APH) juga menunggu peraturan turunan dari UU TPKS ini yang rencananya akan ada 5 perpres dan 5 peraturan pemerintah.
Baca juga : Anak Kota Kupang Rentan Jadi Korban Kekerasan Online
“Jadi ada miskomunikasi antara APH ini untuk menetapkannya seperti apa dengan UU TPKS makanya masih menggunakan UU Perlindungan Anak. Untuk perempuan ada UU penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dan sebagainya,” ungkap Randy, Jumat 1 September 2023.
UU TPKS juga lebih banyak berbicara soal restitusi atau pembayaran ganti kerugian. Dalam UU TPKS disebutkan restitusi dibayarkan oleh pemerintah.
Baca juga : UU KDRT Hampir 2 Dekade, Tapi Kekerasan Terus Menjerat Perempuan dan Anak
Sedangkan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang akan menghitung besaran restitusi tidak memiliki perwakilan di NTT. Rencananya akan ada 3 perwakilan LPSK yang dibuka di NTT pada 2024 mendatang.
“Mereka nantinya yang menghitung kerugian,” kata dia lagi.
Sebenarnya dalam amanat UU TPKS ini tidak dibolehkan atau dibuka ruang untuk restorative justice. Penyelesaiannya harus melalui peradilan.
Baca juga : Kekerasan Anak di Kota Kupang Capai 70 Kasus
“Dalam tahun ini kita temui dengan kasus (asusila) yang menimpa 3 anak perempuan, mereka bersaudara, tapi tidak bisa kami intervensi karena pelakunya pamannya mereka,” lanjutnya.
Hal ini sangat disayangkan, kata dia, karena bila kasus ini tidak diteruskan maka tidak akan memberi efek jera pada pelaku yang adalah orang terdekat. ****