Kupang – Hampir sebulan kebakaran terjadi di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Alak. Awalnya kebakaran itu berstatus Siaga kini dinaikkan Pemerintah Kota (Pemkot) Kupang menjadi Tanggap Darurat.
Kebakaran yang terjadi sejak 13 Oktober 2023 itu membawa asap buruk masuk ke perumahan warga, area Pelabuhan Tenau dan Bolok, juga mencapai wilayah Kabupaten Kupang.
Baca juga : Riwayat Kebakaran di TPA Alak Yang Memuakkan
Warga yang geram juga sempat memblokade jalan menuju ke TPA Alak selama 23 sampai 28 Oktober 2023. Mobil-mobil pengangkut sampah tak diizinkan masuk bila kebakaran itu tak diselesaikan Pemkot Kupang.
Sebenarnya warga yang terdampak asap TPA Alak bisa menuntut kompensasi kepada Pemkot Kupang akibat dampak buruk yang mereka alami.
Tuntutan atas kompensasi ini tertuang dalam Undang-undang (UU) Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah.
Baca juga : Pemkot Tutup Mata, 10 Tahun TPA Alak Pakai Sistem Terlarang
Dalam Pasal 25 disebut pemerintah dan pemda bisa secara sendiri-sendiri atau bersama-sama memberikan kompensasi yang dituntut pihak yang terdampak.
Penerima kompensasi ini adalah korban dari dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan penanganan sampah di TPA tersebut.
Kompensasi sebagaimana dimaksud pun dapat berupa relokasi, pemulihan lingkungan, biaya kesehatan dan pengobatan dan atau kompensasi dalam bentuk lain.
Baca juga : Sebulan TPA Alak Terbakar, Pemkot Tak Berdaya, Warga Terancam Idap Kanker
Namun ketentuan lebih lanjut mengenai dampak negatif dan kompensasi sebagaimana dimaksud perlu diatur dengan peraturan pemerintah. Begitu pun dengan pemberian kompensasi oleh pemerintah daerah perlu diatur dengan peraturan pemerintah dan atau peraturan daerah.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam keterangannya, Rabu 8 November 2023, menuntut Pemkot Kupang untuk patuh pada UU tersebut.
Baca juga : TPA Alak Milik Kota Terkotor di Indonesia Terbakar Lagi
Kepala Divisi Pengelolaan SDA dan Kampanye WALHI NTT, Yuvensius Stefanus Nonga, mencatat kebakaran tersebut telah menyebabkan kerugian bagi warga sekitar.
Pantauan WALHI NTT, kebakaran ini sudah menimbulkan dampak serius terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat. Ada 891 orang terdampak termasuk mengidap Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).
“Beberapa fasilitas umum seperti SD, SMP, SMA, Fasilitas Kesehatan, dan fasilitas umum lainnya terdampak oleh kabut asap. Sebagian besar pemulung juga terdampak akses ekonomi dan kesehatannya,” ujarnya.
Baca juga : Warga Minta Aktivitas TPA Alak Berhenti Sampai Kebakaran Teratasi
WALHI NTT juga menyebut kejadian ini bukan yang pertama kalinya. Pada tahun 2022 kebakaran di TPA Alak berlangsung sampai lebih dari empat bulan, sejak akhir Agustus hingga Desember.
Warga juga mengadu ke Polda NTT dan Ombudsman NTT lantaran ada dugaan pidana lingkungan dan maladministrasi karena respon lambat pemerintah atas terjadinya bencana itu.
Peristiwa ini pun sempat dibawa dalam rapat dengar pendapat bersama Pemkot Kupang namun ujung-ujungnya tidak pula membuahkan hasil apa-apa.
Baca juga : Cerita Dari TPA Alak: Sampah B3 Yang Diacuhkan Pemkot Kupang
Penyebab kebakaran yang terus-menerus terjadi ini sebenarnya dikarenakan penggunaan pola lama yakni penimbunan terbuka atau open dumping, sistem yang terlarang sejak 2013 atau sudah 10 tahun. Sistem ini dilarang dalam UU tentang pengelolaan sampah.
“WALHI NTT melihat bahwa pemerintah lalai dalam urusan adaptasi dan mitigasi,” tambahnya. ***