6 June 2023
Usaha Rehab Sepatu untuk Dibalut Tenun NTT, Widia Ullu Untung Rp 6 Juta Per Bulan
Dekranasda Provinsi NTT

Usaha Rehab Sepatu untuk Dibalut Tenun NTT, Widia Ullu Untung Rp 6 Juta Per Bulan

Feb 25, 2023

Oesao – “Semua perempuan itu harus duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. artinya kita semua perempuan sama. Tidak boleh dibiarkan perempuan dengan ekonomi rendah tertindas di keluarga maupun rumah tangga.” Kalimat ini dilontarkan oleh Widia Ullu, pemilik UMKM Fua Funi di Oesao, Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Widia yang juga  pemilik Bengkel Tas dan Sepatu menuturkan, kalimat itu sebagai upayanya untuk menyadarkan para ibu rumah tangga di sekitar rumahnya. Bahwa mereka mampu mendapat penghasilan sendiri engan tanpa harus menanggalkan kewajiban mereka sebagai ibu maupun istri.

Kekurangan penghasilan,  menurut Widia, dapat menjadi cikal bakal penindasan pada perempuan dalam keluarga.

Berangkat dari pengalamannya,  lulusan STM Kupang  menjadi kontraktor yang tugasnya selalu turun ke lapangan. Suaminya juga bekerja di lapangan. Tuntutan kerja ini membuat pasangan ini sering meninggalkan anak mereka di rumah, dan di asuh orang tua mereka.

Baca juga: Marak Pencurian, Dekranasda Daftarkan 773 Motif Tenun NTT di Indikasi Geografis

Kemudian, 30 hari pasca melahirkan anak kedua, Widia kembali bekerja. Belakangan dia menerima informasi bahwa anak keduanya terlahir autis. Pukulan telak buat Widia yang kemudian memutuskan untuk melepaskan pekerjaannya di tahun 1999. Dia sepenuhnya  menjadi ibu di rumah.

Widia kemudian mulai berjualan ubi dan pisang goreng di SD Inpres Babau yang kebetulan berada di depan rumahnya. Namun karena tak terlalu mendapat banyak keuntungan, Widia mulai mengembangkan bakatnya sebagai penjahit.  Dia menuturkan, walau bersekolah di jurusan teknik, namun minatnya pada merenda dan menjahit tak terelakkan.

“Setiap pulang sekolah, saya pergi latihan jahit. Kebetulan ipar saya punya mesin jahit, jadi saya pinjam untuk belajar,” cerita perempuan 54 tahun itu.

Bakatnya kemudian dia pakai untuk membangun usaha baru dengan membuat berbagai macam tas dan topi dengan sentuhan motif tenun NTT.

Produknya yang berkualitas, nampak dari jahitannya yang rapi, kain yang tebal, serta bahan pendukung juga kokoh tak gampang rusak. Kualitas yang bagus membuat produknya dipesan banyak orang lewat akun media sosialnya.

“Lalu pernah dari Dekranasda NTT pesan 365 tote bag kerjanya tiga minggu. Terlalu banyak, dan yang kerja hanya saya dan anak nona saya. Jadi kami panggil orang untuk bantu jahit,” kata Widia sambil menggambar pola topi buket di meja kerjanya.

Di 2002, ibu-ibu rumah tangga yang dipanggilnya kemudian terus dibimbing, diberi pelatihan untuk bisa membuka usaha sendiri secara gratis. Mereka bekerja di bawah naungan UMKM Fua Funi yang produknya adalah makanan dan produk turunan dari tenun.

Dalam melaksanakan kegiatan di UMKM ini, para ibu rumah tangga hanya datang mengambil bahan di rumahnya. Untuk proses pengerjaan produk turunan tenun tetap dilakukan di rumah masing-masing.

WidiaUllu menggunting pola topi yang akan ia modifikasi dengan tenun NTT di ruang kerjanya di Oesao, Kabupaten Kupang, NTT pada Februari 2023. (Ruth - KatongNTT.com)
Widia Ullu menggunting pola topi yang akan ia modifikasi dengan tenun NTT di ruang kerjanya di Oesao, Kabupaten Kupang, NTT pada Februari 2023. (Ruth – KatongNTT.com)

Kata Widia, “Supaya mereka tidak meninggalkan rumah tangga. Mereka bisa sambil urus keluarga, anak-anak,”

Sedangkan untuk produk makanan, Widia membentuk kelompok usaha di desa-desa.  Lalu dia memberikan pendidikan keterampilan mengolah makanan kering. Penyimpanannya dapat bertahan lebih lama sehingga dapat dititipkan ke toko atau kios.

“Tujuannya supaya ibu-ibu punya keterampilan dan bisa punya penghasilan,” jelasnya.

Baca juga: Permudah Izin dan Modal, UMK NTT Disarankan Daftar Perseroan Perorangan

Usahanya sendiri makin maju. Keberadaannya yang juga merupakan ketua di Jaringan Perempuan Usaha Kreatif (Jarpuk) Ina Fo’a, pun membuatnya menjadi pembina pelatihan di berbagai tempat di  NTT. Bahkan hingga ke Timor Leste. Meski demikian, Widia terus belajar untuk semakin memantapkan usahanya.

“Jadi saya kasih pelatihan tapi itu saya juga belajar,” katanya.

Harga produk disesuaikan dengan tingkat kesulitan pembuatan dan banyakanya kain tenun yang digunakan. Sepatu, topi, dan tas Widia jual dengan harga mulai dari Rp80 ribu – Rp150 ribu.


Membuat Sepatu dan Sandal Tenun

Selain itu, ia pernah mengikuti pelatihan yang diadakan Kementerian Desa untuk daerah tertinggal. Yaitu membuat sepatu tenun dari tahap awal. Namun oleh karena di NTT tak ada produksi sol sepatu, ia kemudian belajar merehab sepatu maupun sandal untuk diberi kain tenun.

“Setelah kita belajar itu mubazir. Jadi terpikirkan kalau itu sulit, sebaiknya buat ini saja,” ujarnya.

Bersama mendiang suaminya, mereka berdua kemudian mencoba usaha ini yang kemudian diberi nama “Bengkel Tas dan Sepatu”. Usaha inijarang ada di Kabupaten Kupang dan sekitarnya. Sehingga usaha mereka mendapat respon positif dari teman-teman di dunia maya.

Hingga kini, minimal orderan 150 sepatu maupun sandal per bulan. Harga jasa rehab dibandrol Rp 65 ribu per sepatu. Sepatu yang ingin dimodifikasi dengan kain tenun disediakan sendiri oleh pembeli berikut kain tenunannya.

“Modelnya sesuai mau pelanggan. Tapi sesuaikan juga dengan kemampuan kami,” jelas ibu lima anak ini.

Ia pun pernah berkesempatan berkunjung ke Bandung dan Jogyakarta untuk melihat secara langsung proses pembuatan sepatu, tas, maupun topi, dengan sentuhan tenun pula. Harganya dijual lebih murah.

Bagi perempuan berdarah Rote itu, keberadaan produk industri tak menjadi satu penghambat bagi usahanya. Karena bagi dia, produk yang ditawarkan meskipun sekilas sama, namun tetap berbeda. Pangsa pasarnya pun tetap ada walau dengan harga yang lebih mahal.

“Kalau industri kan itu hasil cetak. Sedangkan kalau begini, keunggulannya nilai tenunnya. Dan buatan tangan bukan buatan mesin. Saya tidak melihatnya sebagai pesaing. Justru itu sebagai nilai tambah pengetahuan,” jelas Widia.

Dia juga tidak pelit berbagi ilmu dengan memberikan pelatihan. Sayangnya, masyarakat NTT kurang berhasrat untuk menjadikan ini sebagai sebuah usaha.

Baca juga: Tenun NTT Hadapi Dilema: Patuhi Adat dan Ikut Tuntutan Pasar

Tak terhitung sudah berapa pelatihan yang diikuti Widia sebagai pembina. Ini adalah bentuk perhatiannya pada masyarakat khususnya ibu rumah tangga, yang kebanyakan tak punya penghasilan sendiri. Mereka tak memberdayakan potensi diri serta potensi alam yang ada.

“Yang buat jadi bisnis sampai sekarang hanya ibu-ibu yang awalnya bantu saya jahit. Itu saja. Yang lain tidak terlalu serius menekuni,” cerita Widia.

Usaha rehab sepatu dan sandal untuk dibalut tenun NTT, Widia Ullu raup untung bersih Rp 6 juta sebulan. (Dok. Widia Ullu)
Usaha rehab sepatu dan sandal untuk dibalut tenun NTT, Widia Ullu raup untung bersih Rp 6 juta sebulan. (Dok. Widia Ullu)

Banyak orang menganggap usaha ini tak terlalu menguntungkan dan tak kelihatan ‘bekerja’ karena dilakukan dari rumah. Padahal, berdasarkan perhitungannya, untung bersih dalam sebulan lewat dua bisnisnya ini minimal Rp 6 juta sebulan.

Ia hanya memanfaatkan media sosial sebagai tokonya. Pun, alat-alat yang digunakan tak sekali pakai.

“Palingan kain ini yang kita beli terus. Untuk tas dan topi. Lalu lem untuk sepatu. Satu botol itu harganya Rp 85 ribu itu pakai untuk enam sampai tujuh pasang sepatu,” jelasnya.

Ia mengatakan, kebanyakan orang mampu untuk melakukan ini. Kurang tekun dan kerja keras jadi alasan utama banyak peserta pelatihan tak mengembangkan ilmu yang didapat sebagai usaha.

“Buat ini memang susah-susah gampang. Tapi kalau kita sudah mengerti polanya, caranya, ya sudah bisa. Hanya orang-orang kurang tidak tahu tekniknya untuk bertahan dalam usaha itu ya tekun,” ucap Widia sambil menjahit topi buket tenun.

Ia pun menemukan, jika kebanyakan mereka lebih memilih menjadi penjual ulang (reseller), dibanding sebagai produsen.

“Karena sudah jadi toh. Tidak repot-repot buat. Mereka ambil Rp150 ribu. Trus jual Rp200 ribu. Untung Rp50 ribu. Itu belum uang bensin untuk antar. Sekarang bensin sudah naik,” kata Widia.

Namun begitu, meski ilmu yang selalu ia bagikan belum banyak yang memanfaatkannya secara benar, Widia tak pernah kapok untuk memberi pelatihan.

“Sebenarnya ini didapatkan dengan gampang. Dimudahkan dari hikmat dari Tuhan. Jadi bagaimana hal ini tidak menjadi milik sendiri sehingga membuat kita jadi serakah. Tapi harus dibagikan agar berkat kita juga bertambah-tambah,” pungkasnya. **

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *