Kupang – Anak yang ditinggalkan orang tuanya untuk menjadi pekerja migran punya kemungkinan besar jadi korban kekerasan seksual.
Pelaku sangat bisa datang dari orang sekitar atau kerabat dekat sekalipun.
Hal ini jadi peringatan keras bagi para orang tua mengingat di Nusa Tenggara Timur (NTT), menjadi pekerja migran dan meninggalkan anak pada kerabat masih jadi pola berulang yang terus terjadi hingga kini.
Baca Juga: Kehidupan Anak Pekerja Migran Yang Terabaikan
Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) mengeluarkan data penempatan PMI per Maret 2023 menyebut ada 23.941 penempatan PMI di beberapa negara. Dengan mayoritas PMI yang sudah menikah sebanyak 11.430 orang.
Tak ada data lebih lanjut yang menunjukkan jumlah anak pekerja migran di Indonesia. Namun, dapat dikatakan ada ribuan anak yang harus bertumbuh dengan tanpa kehadiran orang tua mereka secara fisik.
Jumlah di atas pun adalah mereka yang berangkat secara prosedural. Tentunya ada lebih banyak PMI non prosedural yang keberadaan mereka tidak terdata oleh negara.
Baca Juga: Hamil 2 Bulan, PMI NTT Ditelantarkan Perusahaan Hingga Tewas
Kata Dian Lestari Anakaka, dosen psikolog Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, ketiadaan orang tua yang mengawasi tumbuh kembang anak secara langsung memberi peluang bagi para pelaku untuk menjalankan tindakan bejat mereka.
“Memang pekerja migran risikonya lebih besar. Anak-anak yang dititipkan ke keluarga meskipun keluarga dekat kita tanpa kita sadari ada predator di situ yang kemudian bisa membuat pelecehan seksual itu bisa terjadi,” kata Dian.
Psikolog di Rumah Sejiwa Flobamora itu mengatakan, ada banyak kasus pula yang ia temui di mana orang tua bekerja di luar daerah, meninggalkan anak mereka yang kebetulan di rumah mereka ada orang lain yang menumpang. Maka kejadian itu pun bisa saja terjadi.
Maka Dian menegaskan akan pengasuhan dan keberadaan orang tua untuk mendampingi anak pada usia dini.
Baca Juga: PMI NTT Terus Terlantar di Kalbar, Ada Pesan Khusus Untuk Mahfud MD
Peran orang tua bukan hanya sekadar memberi uang dan makan, tapi bagaimana memberi perasaan aman bagi anak.
“Orang yang biasa melakukan kekerasan seksual itu orang yang sudah hafal katong (kita). Yang ada di sekitar katong, ada di lingkaran ring satu. Artinya orang yang sudah tahu kita punya keseharian, tahu kita punya titik-titik kelemahan itu di mana saja,” jelasnya
Sehingga orang tua pun perlu melakukan fungsi psikologis. Di mana belum banyak orang tua yang mengajarkan anak sejak kecil bagian tubuh mana yang boleh dan tidak boleh disentuh orang lain.
Baca Juga: Pria di Matim Paksa Anaknya Jadi Budak Seks Selama 3 Tahun
Irene Kanalasari Ina, penyintas kekerasan seksual asal Lembata mengaku jika pengetahuan seperti ini tak didapatnya dulu.
Di awal masa kecilnya yang tinggal bersama kakek neneknya sedang orang tuanya merantau di Malaysia, membuatnya tak punya pengetahuan lebih akan hal-hal demikian.
Hal ini membuatnya akhirnya bingung ketika guru yang lumayan dekat dengan dirinya melecehkannya saat masih duduk di kelas V SD.
“Dia membekap saya, melakukan pelecehan terhadap saya. Ketika itu saya berumur sembilan tahun. Saya tidak tahu membahasakannya bagaimana. Saya bingung apa yang saya alami. Tapi saya merasa sangat hancur,” cerita Irene.
Yang ia tahu saat itu ialah hal-hal privat seperti itu sangat tabu untuk dibicarakan. Sehingga untuk memberi tahu tindakan bejat gurunya itu pun Irene susah payah membahasakannya.
Baca Juga: Transformasi Irene Kanalasari dari Penyintas Kekerasan Seksual Menjadi Pengacara Anak
Sedangkan kini, Dian mendapati ada fenomena lain di mana tubuh-tubuh privat anak dijadikan lelucon oleh orang-orang terdekat.
“Contoh ada omnya yang pukul pantat anak trus bilang ‘ih, pantat satu nih’ pada anak cowok maupun perempuan. Ada fenomena yang bilang ‘ih anak burung satu nih’. Terkadang kita menganggap itu satu kelucuan. Ini tidak lucu! Ini bagian tubuh privat yang tidak boleh dilecehkan bahkan lewat kata-kata,” tegas Dian
Di sini, keberadaan orang tua menjadi penting untuk mengawasi anak-anak mereka.
Akan tetapi, ini pun jadi tanggung jawab bersama semua pihak untuk menjawab hak anak untuk hidup sejahtera dan mendapat perlindungan. Baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan.
Hak atas pemeliharaan dan perlindungan pada anak ini bahkan tertuang Dalam Pasal 52 ayat (1) UU HAM yang menyebut setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara. *****