Kupang – Meskipun dengan trauma dan stigma yang masih melekat dalam dirinya sebagai seorang penyintas kekerasan seksual di masa anak-anak, kini dia dengan berani dan lantang mengatakan, “Saya Irene Kanalasari Ina, saya adalah seorang penyintas kekerasan seksual, namun saya juga adalah seorang advokat dan pekerja kemanusiaan,”.
Namun, untuk bisa tiba pada titik ini, ada kisah panjang penuh luka yang ia alami.
***
Irene adalah penyintas kekerasan seksual usia anak asal Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT). Dia juga merupakan anak pekerja migran non prosedural yang sejak usia 4 tahun diasuh oleh kakek dan neneknya hingga berusia 8 tahun.
Perempuan asal desa Benihading II ini kala itu masih duduk di kelas 4 Sekolah Dasar saat mendapat perlakuan keji itu.
“Dia membekap saya, melakukan pelecehan terhadap saya. Ketika itu saya berumur sembilan tahun. Saya tidak tahu membahasakannya bagaimana. Saya bingung apa yang saya alami. Tapi saya merasa sangat hancur. Meskipun tidak punya bahasa bahwa ini adalah sesuatu yang sangat menyakitkan. Tapi saya merasa sangat sakit di dalam hati. Merasa hancur, merasa malu..” cerita Irene.
Saat itu pukul 3 sore di penghujung tahun 2006, ia ditugaskan orang tuanya untuk menjaga kios mereka. Ibunya pergi ke pasar, sedang ayahnya menjaga adiknya yang baru berapa bulan lahir, di rumah mereka yang jaraknya tidak jauh dari kios.
Pelaku datang ke kios mereka, kira-kira pukul 2 siang. Pelaku adalah gurunya Irene di Sekolah Dasar (SD). Karena Irene suka membaca buku, guru tersebut adalah orang yang paling sering memberikan buku-buku kepada Irene. Irene sangat menghormati guru tersebut, karena dikenal baik di lingkungan masyarakat.
Baca Juga: Perempuan NTT Dalam Bayang-bayang Bencana Ekologis
Tidak ada kecurigaan apapun saat pelaku datang ke kios. Namun, ia kemudian melakukakan tindakan bejatnya itu.
Irene berusaha melupakan kejadian itu, namun ingatannya masih jelas merekam apa yang diperbuat gurunya.
“Sebagai anak-anak pada umumnya, saya tentu merasa bingung apa yang saya alami. Bagaimana membahasakan itu? Dicubit tidak, dianiaya tidak, kalau misalnya bahasa memukul atau menendang itu kita familiar. Tapi ketika orang membuka pakaian mu, memasukkan tangan ke area vitalmu, menunjukkan alat kelaminnya, kita tidak punya bahasa untuk itu,” cerita perempuan 26 tahun ini.
Irene mengakui tidak punya bahasa yang tepat untuk itu karena yang ia tahu, bagian-bagian tubuh yang tertutupi pakaian masih tabu untuk dibicarakan.
Baca Juga: Martha Kewuan, Pejuang Hak Perempuan dari Noelbaki NTT
Setelah mendapatkan perlakukan itu, Irene kecil sangat ketakutan, bingung, dan juga malu. Badannya yang ringkih, gemetar dan kesakitan.
Hingga malam tiba, ia memberanikan diri memberitahukan pada ibunya dengan terbata.
“Jadi saya bilang ‘Mama, kayaknya saya ini mengalami sesuatu yang saya tidak tahu apa, tapi Pak Guru ini dia tadi membuka pakaian saya, dia masukkan jarinya ke dalam alat vital saya, dia meremas payudara saya’ padahal waktu itu saya punya payudara bahkan belum tumbuh,” cerita Irene.
Mendengar itu, ibu Irene pucat pasi. Ia tahu benar anak perempuan pertamanya itu baru saja dilecehkan. Cerita ini kemudian disampaikan kepada ayah dan kakek nenek Irene.
Ayah Irene sangat marah dan berniat melakukan kekerasan pada pelaku tersebut. Namun kemudian ditahan oleh keluarganya yang lain.
Mereka kemudian memutuskan untuk melakukan visum pada Irene malam itu juga, dan melapor pada pihak kepolisian.
Pelaku kemudian ditangkap. Disidang, dan dijatuhi hukuman 3 tahun penjara.
Kasus ini berakhir sampai di situ. Namun trauma dan stigma pada Irene, mengiringi terus langkah hidupnya, hingga kini.
Korban Kekerasan Seksual dalam Budaya Patriarki
Pasca peristiwa itu, Irene kembali melanjutkan hidupnya sebagai bocah kelas 4 SD seperti biasa. Kembali belajar dan bermain sebagaimana mestinya.
Di sekolah, teman-teman sebayanya pun tak punya pengetahuan lebih akan apa yang terjadi pada Irene. Sehingga mereka pun bingung jika ingin membicarakan hal itu padanya.
Baca Juga: Mahasiswa NTT Bunuh Diri, Layanan Psikologi Kampus Hanya ‘Hiasan’ Akreditasi
Namun suara-suara pengasihan maupun penyalahan dari orang dewasa yang ia temui tak bisa ia redam. Ini pun memberi sedikit informasi bagi anak-anak seusia Irene saat itu sehingga menjadikan ini sebagai bahan bullyan padanya.
“Anak-anak yang punya orang tua yang menganggap saya punya situasi ini memalukan, kotor, mereka sampai bilang ‘makanya jangan jaga kios sendiri, jangan biasa pakai pakaian yang pendek-pendek, nanti kayak Irene begitu,’ ini membuat saya cukup dibully saat itu” ujarnya.
Lahir dan tumbuh besar dalam lingkungan yang kental dengan budaya patriarki, membuat apa yang terjadi pada Irene menjadikannya sebagai manusia yang dianggap kotor.
Dalam budayanya di Lembata, khususnya bagi Suku Kedang, ketika menikah, perempuan akan dibelis atau diberi mahar dengan Gong maupun Gading.
Gong dan Gading ini tak diproduksi oleh masyarakat Lembata dan disebut sudah ada sejak zaman dulu. Sehingga keberadaan benda-benda ini menjadi langka dan jadi persembahan yang bernilai bagi perempuan.
Hal ini membuat perempuan secara tak tertulis diharuskan untuk menjadi baik sehingga kelak ia jadi persembahan yang layak bagi laki-lakinya.
Keberadaan Irene yang sudah mendapatkan pelecehan diumpamakan selayaknya telur yang sudah retak. Sudah tak utuh dan dipandang kotor. Sudah tak layak disebut perempuan yang suci.
Baca Juga: Tekan Angka Bunuh Diri di NTT, Psikolog di Tiap Puskesmas Jadi Kebutuhan
“Yang paling berat yang pernah saya dengar itu adalah ketika mereka mengatakan bahwa kamu itu bahkan tidak bisa besok lusa minta gading besar-besar. Kan kamu kotor. Kan kamu pernah dibuat seperti itu oleh laki-laki,” ujarnya.
“Sebenarnya yang paling berat saya alami itu adalah bukan di saat saya mendapatkan pelecehannya. Tapi ketika kemudian hari saya bertambah besar dan saya adalah korban pelecehan dan ketika menyadari bahwa hidup di masyarakat yang seperti itu, itu yang lebih berat buat saya,” lanjut Irene.
Pandangan-pandangan seperti ini terus melekat pada dirinya. Peristiwa kelam itu bahkan masih tertanam juga dalam pikiran masyarakat di kampungnya. Sehingga sebutan ‘Irene yang pernah dipegang pak guru’ itu masih ada hingga sekarang sekalipun ia adalah korban.
Bentuk Pemulihan dan Irene Yang Sekarang
Irene lalu memilih untuk lanjut SMA di luar kabupatennya.
Ia tahu pasti jika dirinya tak mungkin membungkam dan menghapus segala pikiran masyarakat akan dirinya. Sehingga ia yang memilih menjauh dari kampung halamannya. Bertemu dengan lingkungan baru, dengan teman-teman yang baru, dan membangun citra yang baru.
Baca Juga: 3 Kabupaten di NTT Tak Punya Unit Khusus Tangani Perempuan dan Anak
Ia kemudian bersekolah di salah satu SMA Katolik di Maumere dan tinggal di sebuah asrama. Di tempat itu, Irene menyibukkkan diri dengan mengikuti berbagai aktivitas. Ia kemudian dikenal sebagai Irene yang pintar dan Irene yang akif.
Hal ini ia lakukan agar menghapus segala citra buruk yang pernah ia dapati sebelumnya.

Ternyata saat itu, ia pun menemui ada cukup banyak teman yang mengalami pengalaman yang hampir sama dengannya. Di asrama yang ia tempati pun para suster menjadi rumah aman untuk menangani korban kekerasan pada perempuan.
Di titik ini, Irene akhirnya mulai perlahan-lahan menerima masa lalunya. Ia kemudian menyadarkan dirinya sendiri jika ia terlahir berharga dari dulu bahkan sampai kapan pun. Ia tak harus berkecil hati karena kejadian masa lalu yang menimpa dirinya. Ia utuh, dan ia layak tanpa tapi.
Baca Juga: UU KDRT Hampir 2 Dekade, Tapi Kekerasan Terus Menjerat Perempuan dan Anak
Di titik ini juga, Irene akhirnya kemudian memutuskan untuk sekolah hukum. Ia ingin mengadvokasi tiap mereka yang punya pengalaman yang sama dengan dirinya.
Belum lagi ditambah fakta yang menunjukan NTT menjadi salah satu provinsi darurat kekerasan pada perempuan dan anak.
Data Simfoni Pemberdayaan Perempuan dan Anak mencatat kekerasan seksual di NTT mencapai 429 kasus di 2022. Naik dari tahun sebelumnya yang terdata sebanyak 309 kasus.
Di Lembata sendiri, data LSM Permata mencatatat jumlah kasus kekerasan seksual yang dialami anak-anak pada tahun 2019 sebanyak 4 kasus, 2020 naik menjadi 9 kasus, dan 2021 sebanyak 17 kasus. Ini artinya kenaikan hampir 2 kali lipat setiap tahunnya.
Kebanyakan dari kasus yang terjadi di NTT berakhir damai karena kejadian seperti ini dianggap aib keluarga. Sehingga keluarga pelaku memanfaatkan anggapan ini untuk mendorong dilakukannya penyelesaian damai yang tak memberi keadilan sepenuhnya pada korban. Misalnya dengan memberikan ganti rugi atau janji menikahi korban.
Ini yang menggerakkan Irene untuk menjadi seorang pengacara agar bisa mengadvokasi keluarga korban kekerasan seksual.
Baca Juga: Edisi Perempuan NTT: Potret Buram Kemiskinan, Para Perempuan Kehilangan Anaknya
Ia kemudian memberanikan diri menempuh bangku kuliah di Atma Jaya Yogyakarta di Fakultas Hukum. Menjadi manusia terpelajar untuk kemudian dengan ilmu pengetahuan yang ia dapat bisa membantu para korban.
Di masa magangnya, ia kemudian tersadar akan keberadaan dirinya dengan titel yang baru. Sebagai advokat, secara profesional profesi ini menuntut mereka untuk melihat satu permasalahan secara netral. Artinya pelaku maupun korban dilihat sama posisinya dalam hukum.
Namun di satu sisi, trauma di masa lalunya menempatkan dia dalam posisi yang cenderung membela korban. Apalagi korbannya ialah anak-anak.
“Jadi saya pakai ilmu saya untuk membantu di LSM Permata yang bergerak di isu pendampingan korban. Jadi saya membantu untuk menjelaskan langkah-langkah hukum yang harus ditempuh korban dan keluarga,”ungkapnya.
Jalan ini dipilihnya agar tak menodai profesionalitas kerjanya, namun tak juga mengingkari nuraninya. Ia akan berdiri bersama korban kekerasan seksual selama korbannya adalah anak-anak.
Di 2021, ia kemudian disahkan menjadi advokat di Lembata dan menjadi advokat termuda saat itu.
“Saya salah satu anak yang bisa dibilang beruntung ya, karena punya keluarga yang memang cukup kuat memperjuangkan kasus ini. Tidak semua orang (korban) bisa punya cerita kebangkitan seperti saya. Tapi memang tidak mudah untuk sampai begini juga,” ungkap Irene.
Dengan berhasil menamatkan studi dan menjabat sebagai advokat, bukan serta merta trauma di masa kecilnya itu pun hilang seketika.
Baca Juga: UU Kesehatan Untuk Masyarakat dan SDM Kesehatan
Psikolog Rumah Sejiwa Flobamora, Dian Lestari Anakaka menjelaskan semakin muda seseorang mendapat pengalaman traumatis, respon yang diberikan anak terlihat seperti biasa saja. Namun trauma itu akan semakin tajam seiring bertumbuhnya usia dan jadi penyebab seseorang mengalami post-traumatic stress disorder (PTSD).
Lebih lanjut, perempuan yang juga melayani di Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) NTT ini mengatakan, anak-anak yang ditinggal orang tua untuk bekerja dan tanpa ada pengetahuan sedari dini tentang seksualitas serta menjadi bulan-bulanan lingkungan sekitar, jadi momok berlapis terhadap korban.
“Semakin kecil seseorang menghadapi peristiwa traumatis, itu justru gongnya semakin besar. Resikonya semakin tinggi mengalami gangguan psikologis, PTSD atau yang disebut trauma itu,” jelas Dosen prodi Psikologi UNDANA ini.
Baca Juga: Ini Tantangan Mewujudkan Kelurahan Ramah Perempuan dan Peduli Anak di Kupang
Trauma itu masih terus menghantui Irene hingga sekarang. Ia bahkan kini tak bisa menggunakan ojek online di malam hari. Atau dibonceng orang tak dikenal. Berada dalam ruang yang sama dengan banyak pria pun membuat Irene was was.
“Saya tidak tahu, tapi saya merasa tidak akan selamat saja kalau yang bonceng itu saya tidak kenal. Atau berada satu lift dengan bapak-bapak. Saya tidak bisa membayangkan peristiwa itu kembali terjadi pada saya lagi. Cukup berhenti di saat itu saja,” ucapnya dengan suara bergetar.
Irene, jadi satu dari sekian manusia yang jadi korban kebejatan manusia itu sendiri. Dalam ketakutannya, ia memilih bangkit dan menjadi penolong bagi tiap mereka yang punya pengalaman yang sama.
Irene kini juga aktif berkecimpung di Solidaritas Perempuan (SP). Ia mengatakan, di SP ia bisa menggunakan kemampuan dan keilmuan dan juga profesi nya untuk membantu lebih banyak orang.
Baca Juga: Minim Anggaran, Dinas Perempuan dan Anak NTT Andalkan Mitra
Harapnya, anak-anak jangan lagi jadi korban seperti dirinya. Inginnya, anak-anak punya ruang aman untuk bertumbuh.
Namun, kenyataan kini yang terjadi menunjukkan anak-anak bahkan jadi korban justru dari orang-orang terdekat mereka.
“Kita tidak cuman mengatakan bahwa ini adalah tugas pemerintah atau ini adalah tugas gereja atau ini adalah tugas pemuka agama atau ini adalah tugas LSM. Tidak. Tapi semua elemen dari tapak bawah hingga pusat bertanggung jawab,” jelasnya.
Baca Juga: 187 Kasus Perempuan dan Anak di Kota Kupang, Ada Pelacuran Online
“Anak-anak itu punya hak untuk tumbuh dengan baik. Mereka tidak pernah meminta untuk ada di dunia ini. Kitalah yang menjadikan mereka ada. Sehingga perlu akses lingkungan yang aman, nyaman, dan bebas dari segala bentuk kekerasan,” imbuh Irene.
Masyarakat pun perlu edukasi yang lebih dalam melihat dan memperlakukan korban kekerasan seksual. Ia berharap agar masyarakat lebih ramah pada para korban.
“Karena menjadi korban pelecehan itu akan mengikuti kamu walau kamu jadi presiden sekali pun, stigma itu akan tetap ada. Maka semua pihak jadilah tempat penyembuhan bagi korban dan bukan menambah trauma bagi mereka.” pungkasnya.***