Maubesi – Kansius Kaoni (51) baru pulang dari kebun bersama istrinya di satu sore di tahun 2016. Di rumah mereka di Desa Maubesi, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) tinggal ibunya yang sudah renta dan Septiana Bona yang saat itu baru berumur enam bulan. Bayi ini cucu Kansius.
Saat tiba di rumah dia tidak menemukan ibu si bayi. Dia diberitahu ibu bayi tersebut ke tempat fotocopy bersama suaminya, menyalin beberapa berkas yang tak diketahui Kansius untuk apa.
Hingga malam menjelang, pasangan suami istri ini tak kunjung pulang. Kansius mencoba mencari mereka hingga ke Kefa, ibukota TTU, namun tak menemukan keberadaan mereka.
Kansius pun menduga mereka sudah pergi merantau jadi pekerja migran dan meninggalkan bayi mereka.
Modus seperti ini sudah tak asing bagi warga desa Maubesi yang berangkat ke luar negeri maupun provinsi untuk menjadi pekerja migran.
Baca Juga: Kisah Tiga Pria Warga Desa Maubesi Jadi Korban Perdagangan Saudara Sendiri
Hari berganti, hingga akhirnya tersiar kabar jika ada yang melihat pasangan ini di Malaysia.
Tanpa meninggalkan pesan, mereka meninggalkan Septiana yang sejatinya masih membutuhkan ASI dan perhatian dari orang tuanya.
Sejak saat itu, Kansius menjadi ayah atas Septiana.
Gadis berambut keriting yang sudah berusia tujuh tahun itu tumbuh dengan mengenal Kansius sebagai ayah kandungnya, bukan sebagai Ba’i (kakek).
“Ini Bapa. Bapa Kansius,” Septiana menunjuk Kansius memperkenalkannya kepada KatongNTT saat ditemui di sekolahnya pada Selasa, 11/09/2023.
Enam tahun berlalu, Septiana sudah kelas 1 Sekolah Dasar (SD). Kehidupannya ditanggung oleh Kansius dan istrinya, dibantu dua anak Kansius lainnya yang juga merantau.
“Mereka (ayah & ibu Septiana) sampai sekarang tidak kasih kabar. Sekarang katanya mereka ada di Bali, sudah ada anak lagi laki-laki. Persetan sudah, Septiana biar saya yang jaga,” tegas Kansius.
Baca Juga: Paspor Gratis Bagi PMI, APJATI NTT Minta Imigrasi Percepat Pengurusan
Matanya berkaca saat menceritakan tentang Septiana. Menurut Kansius, Septiana sebenarnya sudah tahu jika dia bukanlah ayah kandungnya. Septiana mendapat cerita itu dari orang lain. Namun cucunya itu tak berani membicarakan hal itu padanya. Ia marah pada mereka yang menceritakannya.
Kansius sendiri berkeras tak akan memberi tahu keberadaan orang tua kandung Septiana pada cucunya itu.
Menurut Kansius, ia yang akan merawat Septiana sampai seterusnya.
Kedua orang tua Septiana yang tega meninggalkan cucu kecilnya itu tak pantas disebut sebagai orang tua.
***
Sabina Sa’u (59) merawat empat cucunya sejak masih kecil. Cucunya, Yuliana Saunoah ia rawat sejak berumur enam bulan.

Anaknya yang bekerja di Malaysia setelah melahirkan, kemudian menyeberang ke Pontianak agar Sabina bisa pergi menjemput cucunya itu.
“Saya ke Ponti rawat dia sampai delapan bulan. Baru saya dengan dia datang kampung, dia punya mama kembali Malaysia,” tutur Sabina.
Cucunya kini duduk di kelas delapan Sekolah Menengah Pertama (SMP).
“Tapi dia tahu dia punya bapa mama. Mereka juga sampai sekarang masih kirim uang. Satu bulan mereka telpon satu dua kali,” cerita Sabina.
Baca Juga: NTT Terima 100 Jenazah PMI Dalam 8 Bulan
Martha Lete Keban (49) di Solor, Flores Timur pun melakukan hal yang sama. Pergi menjadi PMI di Malaysia dan harus meninggalkan tiga anaknya pada orang tuanya di kampung.
Dia terpaksa melakukan hal itu untuk membantu perekonomian keluarga.
Martha menjadi pekerja di Malaysia sejak 2006 mengikuti suaminya yang sudah lebih dulu bekerja di sana sejak 2004. Meninggalkan dua anaknya yang saat itu berusia delapan dan enam tahun.
“Di Solor kan kering. Di sana hanya musim mente. Kalau ada kebun mente, kalau tidak ya ada orang minta kita kerja kebun baru kita pergi dapat duit. Atau musim asam baru ada uang, jadi saya pergi merantau kasih tinggal mereka dengan nenek mereka,” jelas Martha.
Rindu pada orang tua dan anak sudah pasti. Masa itu, mereka belum ada telepon seluler. Namun dia berusaha untuk menghubungi anaknya dengan meminjam telepon majikan.
Dua tahun kemudian ia pulang kampung, dan melahirkan anak ketiganya.
Martha kemudian kembali merantau pada 2014. Kembali meninggalkan anak-anaknya.
“Hari-hari telepon. Tidak ada satu hari lewat kami harus telepon dengar suara dorang. Kita jauh kan, tanya kabar dorang, “ ujar Martha.
***
Keluarga Kansius, Sabina, dan Martha, hanya tiga dari sekian banyak keluarga yang karena tuntutan ekonomi dan merasa tak ada yang bisa digarap di kampung halaman, membuat mereka memilih bekerja di luar provinsi maupun negeri. Alhasil, mereka harus meninggalkan anak dan menitipkannya pada kakek/nenek mereka.
Berdasarkan data penempatan PMI per Maret 2023 yang dikeluarkan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), menunjukkan ada 23.941 penempatan PMI di beberapa negara. Dengan mayoritas PMI yang sudah menikah sebanyak 11.430 orang.
Sayangnya tak ada data lebih lanjut yang menunjukkan jumlah anak pekerja migran di Indonesia.
Baca Juga: TJPS Gagal Cegah Warga NTT Jadi PMI Ilegal
Jumlah di atas pun adalah yang terdata bagi mereka yang berangkat secara prosedural.
Tentunya ada lebih banyak PMI non prosedural yang keberadaan mereka tidak terdata.
Ini berarti ada ribuan anak yang ditinggalkan orang tuanya untuk bekerja jadi PMI.
Ketidakhadiran orang tua di tengah tumbuh kembang anak jadi satu masalah besar yang kerap tak dihiraukan para PMI.
Para ahli mengatakan, masa usia dari 0-5 tahun adalah masa emas seseorang (golden age period).
Pada masa-masa ini, peran orang tua jadi begitu penting karena menjadi pihak pertama dan terutama dalam pembentukan fisik, otak, sosial-emosional, moral, akhlak, maupun karakter anak lewat pola asuh yang diberikan.
Masalah pada anak akibat ketiadaan peran orang tua secara langsung tentu begitu kompleks.
Septin dan Yuliana, yang hanya mendapat ASI eksklusif sampai pada usia enam dan delapan bulan kemudian ditinggalkan orang tuanya jadi salah satu fakta menyedihkan yang terjadi pada anak pekerja migran.
Baca Juga: Cuma 6 PMI Resmi dari Ratusan Yang Meninggal di Luar Negeri
Dalam laman Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, memaparkan jika anak direkomendasikan mendapat ASI sampai usia dua tahun bahkan lebih.
Hal ini karena 65% kebutuhan energi seorang bayi pada umur 6-8 bulan masih terpenuhi dari ASI.
Pada umur 9-12 bulan sekitar 50% kebutuhannya dari ASI, dan umur 1-2 tahun sekitar 20% dari ASI.

Selain itu, dalam penelitian yang dilakukan Puspitawati & Setioningsih di 2011 lalu pada anak-anak pekerja migran, menunjukkan bahwa anak-anak yang ditinggalkan orang tua untuk menjadi PMI banyak mengalami masalah psikososial.
Seperti gangguan emosi, masalah perilaku maladaptif, hiperaktif, dan cenderung lebih pasif dalam mengatasi masalah yang muncul. Baik itu masalah keluarga maupun dengan lingkungan pendidikannya. Proporsi terbesar stres anak juga ditemukan tergolong dalam kategori tinggi.
Baca Juga: Remitansi PMI NTT via Kantor Pos Capai Rp 107 Miliar Tahun 2022
Fauziah, dkk pada 2018 lalu pada penelitian mereka terkait Praktik Pengasuhan Pada Anak menjelaskan, kasih sayang yang didapat anak bisa mereka rasakan dari kakek atau nenek, namun pengasuhan yang diberikan oleh kakek dan nenek cenderung memanjakan dan melayani.
Hal ini disebut Widyarto dan Rifauddin (2020) dalam penelitian mereka tentang Problematika Anak Pekerja Migran dapat membuat anak menjadi ‘raja kecil’ yang egosentris dan cenderung tak patuh.
Lebih lanjut mereka menyatakan, anak pekerja migran disebut tak hanya membutuhkan materi berupa uang. Namun orang tua yang jauh, ditambah ketiadaan komunikasi yang intens antara orang tua dan anak dapat berdampak pada psikologis anak.
Salah satunya ialah renggangnya hubungan antara orangtua dan anak, yang mana jika terus dibiarkan, anak pekerja migran dapat mengalami depresi dan kurang mendapat pengetahuan dan pengawasan dari orang tua. Ini bisa berdampak pada kehidupannya di kemudian hari.
Secara ekonomi, keluarga PMI dikatakan cukup terpenuhi. Namun kebutuhan psikis anak jadi dipertanyakan.
Baca Juga: 11 Pemkab Teken MoU dengan BP3MI NTT, Padma : PMI Mau Dilatih Dimana?
Akan tetapi, fakta lain yang menunjukkan keberadaan pekerja migran NTT yang kebanyakan berangkat dengan tidak mengikuti prosedur yang berlaku pun ternyata tak bisa memastikan dapat memenuhi kebutuhan ekonomi anak secara utuh.
Hal ini karena jaminan kesehatan, pekerjaan, dan keselamatan para PMI sendiri bergantung seutuhnya pada majikan. Tak ada garansi kehidupan layak akan mereka terima di tempat kerja.
Kompleksnya masalah pekerja migran di Indonesia terkhususnya di NTT jadi catatan merah sejak lama yang tak kunjung usai.
Diharapkan adanya sinergitas bersama semua pihak di segala lini untuk menuntaskan masalah kemanusiaan ini.
Orang tua pun perlu menimbang dampak dari menjadi PMI bagi keberlangsungan hidup anak mereka. ***