Kupang – Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran mendapat penolakan masif akibat pasal-pasal anti demokrasi seperti Pasal 50 ayat B soal larangan investigasi jurnalistik.
Gelombang penolakan ini pun muncul di Nusa Tenggara Timur (NTT). Pers NTT menentang keras RUU Penyiaran yang berpotensi membangkitkan sejarah pembungkaman media semasa Orde Baru (Orba).
Massa aksi dari tujuh organisasi pers di NTT yaitu AJI Kupang, PWI, IJTI, JOIN, AMSI, SMSI dan JMSI NTT berdemonstrasi menolak RUU anyar ini di Kantor DPRD NTT Kota Kupang, Jumat 7 Juni 2024.
Baca juga: NTT Marak Kekerasan Seksual, UU TPKS Hanya Hiasan
Pers NTT menyoroti Pasal 8A huruf q, Pasal 508 huruf c dan Pasal 42 ayat 2 dalam draft RUU Penyiaran yang dapat mengulang sejarah pembungkaman, penyensoran atau pembatasan laporan jurnalistik.
Bukan saja batasan bagi ruang gerak media dan kriminalisasi jurnalis namun RUU ini turut menekan independensi media.
Pekerja kreatif seperti tim konten YouTube, podcast, pegiat media sosial dan lain sebagainya pun terancam dalam pengawasan konten. Kebebasan berekspresi masyarakat lewat sosial media bisa dibatasi.
DPRD NTT melalui Komisi I yang telah menerima tuntunan dari organisasi pers NTT ini berjanji meneruskannya ke fraksi-fraksi di tingkat DPR RI.
“Kami pastikan untuk mengawal hal ini,” tukas Ana Waha Kolin selaku Wakil Ketua Komisi I DPRD NTT dalam dialog dengan insan pers.
Baca juga : AJI Sentil Jurnalis Nyaleg Tapi Masih Produksi Berita
Tujuh organisasi pers yang tergabung dalam Forum Jurnalis Pengawal Reformasi NTT ini ingin agar pembahasan RUU tersebut tidak dilanjutkan lagi.
Pakar Hukum Fredrik J. Pinakunary berpendapat RUU ini bisa mereinkarnasi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) jadi seperti Departemen Penerangan (Deppen) semasa rezim Orde Baru. Zaman Soeharto memimpin marak terjadi pembunuhan kelangsungan hidup pers di Indonesia.
Media yang diberangus seperti Sinar Harapan, Editor, Indonesia Raya, Abadi, Nusantara, Kami, Prioritas, tabloid Detik dan media lainnya. Pemberangusan ini dengan pencabutan Surat Izin Terbit (SIT) dan atau Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).
Sebagaimana mengutip HukumOnline.com, Fredrik menyebut ini sejarah kelam bagi dunia pers di Indonesia.
Baca juga : Dewan Pers dan Polri Sepakat Tolak Kriminalisasi Karya Jurnalistik
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran ini sebenarnya untuk menggantikan UU Nomor 24 Tahun 1997. Latar belakangnya ialah kemunculan televisi dan radio lokal di Indonesia.
UU Penyiaran yang berlaku semasa Presiden Megawati menjabat ini rupanya mengandung pasal diskriminatif sejak lahir. Pasal 36 ayat 2 misalnya yang mengurangi hak masyarakat mendapatkan informasi luas. Ada pula hak masyarakat pers atas kebebasan dan kemerdekaan untuk melakukan kegiatan usaha (Pasal 18 ayat 1, Pasal 20, Pasal 55 ayat 1) yang bertentangan dengan Pasal 28 D ayat 1 UUD’45 Hasil Amandemen.
Kemudian munculnya draft RUU Penyiaran di 2024 ini pun bertentangan lagi dengan UU yang sudah ada sebelumnya.
Pasal 8A huruf (q) misalnya yang menyebut KPI berwenang menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus penyiaran. Tentunya ini bertentangan dengan UU Pers soal sengketa pers yang seharusnya diselesaikan oleh Dewan Pers saja.
Baca juga : Riset Anti Korupsi BUMD NTT Dapati Fakta Buruk
Begitu juga Pasal 51 huruf E yang tumpang tindih dengan UU Pers terkait penyelesaian sengketa jurnalistik di pengadilan.
Indonesian Corruption Watch (ICW) juga menyebut RUU Penyiaran ini jadi bentuk ancaman mundurnya demokrasi dan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Menurut ICW, larangan penyajian laporan jurnalistik investigatif maka pers menjadi tidak profesional dan tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai pengontrol kekuasaan (watchdog). ***