Kupang – Fasilitas publik bagi kelompok rentan di Nusa Tenggara Timur (NTT) masih belum terpenuhi. Di samping itu akses akan hak-hak dasar pun masih diwarnai dengan diskriminasi.
Direktur LBH APIK NTT, Ansy Damaris Rihi Dara, menyampaikan ini dalam diskusi publik mengenai kontribusi parpol dalam proyeksi Kota Kupang sebagai Kota Peduli HAM. Diskusi ini berlangsung di Aula Hotel Sasando, Selasa 1 Agustus 2023.
Baca juga : Komnas HAM Bahas Standar Pemilu Bagi Kelompok Rentan di Kota Kupang
Menurut dia ada kelompok rentan yang diatur dalam perundang-undangan tetapi tidak diakui sebagai kelompok rentan. Kelompok rentan ini yaitu perempuan, masyarakat adat, minoritas etnis dan ras, Orang dengan HIV/AIDS (ODHA), pekerja migran, pekerja rumah tangga (PRT) dan pengungsi.
Sementara yang belum diakui dan bahkan belum diatur dalam Undang-undang adalah kelompok minoritas gender dan seksual juga kelompok minoritas kepercayaan.
“Kelompok ini rentan diskriminasi karena belum diakui dan diatur dalam perundang-undangan kita. NTT adalah kantong human trafficking, juga ada banyak persoalan yang dialami kelompok ini dan ada batasan HAM mereka,” ujarnya.
Baca juga : Kota Kupang Peduli HAM, Jauh Panggang dari Api
Bila melihat fasilitas publik saat ini pun belum menjawab regulasi atau perintah Undang-undang, kata Ansy, misalnya bagi lansia maupun kelompok disabilitas.
“Ini yang menjadi kekurangan literasi kita sehingga belum menjadi kota yang ramah terhadap hak-hak disabilitas,” ungkap dia.
Meskipun sudah ada PP 70 Tahun 2019 mengenai pemenuhan hak penyandang disabilitas. Ada pula PP 13 tahun 2020 mengenai akomodasi bagi peserta didik yang disabilitas. Tetap saja ada problem implementasi HAM di NTT khususnya Kota Kupang yang bisa dilihat dari fasilitas publik bagi kelompok minoritas.
Baca juga : Quo Vadis Organisasi Mahasiswa di NTT?
“Tetapi sampai saat ini masih saja tidak dipedulikan. Contoh ada trotoar khusus kaum disabilitas tapi dipakai parkir kendaraan,” kata dia.
Selain itu ODHA pun kerap mendapat diskriminasi saat mengakses hak dasar mereka. Diskriminasi ini datang dari lingkungan sekitar, bahkan sampai pelanggaran privasi baik dari nakes maupun masyarakat mengenai data pribadi mereka.
“Perspektif HAM dan kurangnya literasi masyarakat terhadap hak dari ODHA ini berdampak pada konteks pencegahan hingga persoalan medis,” lanjut Ansy lagi.
Baca juga : Korban Penjualan Ginjal ke Kamboja Capai 122 Orang, Ada Asal NTT?
LBH APIK sendiri sebagai lembaga non pemerintah yang 11 tahun di NTT fokus pada akses keadilan bagi perempuan dan anak di Indonesia khususnya NTT.
“Perempuan dan anak belum sepenuhnya mendapatkan keadilan dan kesetaraan sebagaimana ada pada Undang-undang. Sudah lebih dari 1000 kasus kami tangani,” sebutnya. ****