Ferdelina Bessi, 76 tahun, duduk di kursi plastik membelakangi pintu warung miliknya. Kedua bola mata menatap tajam dari balik kacamatanya. Oma Lina Bessi, begitu dia disapa mengaku waspada untuk setiap orang yang datang menemui dirinya.
“Saya masih takut sebenarnya,” kata Oma Lina menatap ke arah Yohanes Lolak, 81 tahun, tetangganya yang duduk menemaninya.
Oma Lina beberapa menit berdiskusi dengan Opa Lolak. Mereka menggunakan bahasa Dawan. Oma kemudian membuka pembicaraan dengan menyatakan dirinya lelah karena dia tidak menyangka keberaniannya bersuara tentang masa lalunya yang pahit dan traumatis mendapat banyak respons.
Orang-orang berdatangan ke rumahnya untuk berdiskusi atau wawancara jurnalistik setelah peresmian Monumen Peristiwa Pelanggaran HAM Berat 1965 di Tempat Pemakaman Umum Oesao, Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang pada 7 Desember 2024.
“Saya diwawancarai banyak orang dari kemarin,” kata Oma Lina
Sesaat kemudian Oma Lina berdiri dan menyuguhkan air mineral kemasan kepada KatongNTT.
“Saya berani berbicara karena saya didampingi JPIT (Jaringan Perempuan Indonesia Timur,” kata Oma Lina membuka pembicaraan.
Saat Tragedi 65 meluas hingga ke Oesao, Oma Lina saat itu berusia 20 tahun. Rumah tempat sekarang dia tinggal menjadi saksi bisu kekejaman massa menyiksa dan membantai orang-orang yang dituduh PKI. Rumah itu bersebelahan dengan Tempat Pemakaman Umum (TPU) Oesao.
“Saya menyaksikan papan ditaruh di leher Bapak. Panjangnya hingga ke kaki. Papan itu bertuliskan “PKI”. Bapak disuruh lari sambil papan digantung di leher. Sakit sekali,” kata Oma Lina.
Baca juga: Ribuan Kasus Kekerasan Menimpa Perempuan di NTT, Mengapa?
Baca juga: Perempuan NTT dalam Lingkaran Kemiskinan Panjang dan Tradisi yang Membebani
Baca juga: Perempuan Oenbit Tolak Tambang
Oma Lina emosi menahan marah dan bertanya kepada massa tentang apa yang terjadi sebenarnya saat itu. Namun dia tidak mendapatkan informasi yang jelas dari massa yang berkerumun.
Oma Lina menyaksikan orang-orang dikalungi papan bertuliskan “PKI” dipaksa berlari sejauh satu kilometer dengan kaki terluka karena kulit dan tulang kaki mereka bergesekan dengan papan.
Hingga pada 8 Februari 1966 sekitar jam 12 malam, suara tembakan terdengar dari arah lahan kosong yang bersebelahan dengan rumah orangtua Oma Lina. Tidak ada yang berani keluar apalagi bertanya tentang apa yang terjadi. Semua warga ketakutan dan memilih diam.
Mereka tahu ada orang dieksekusi mati tapi tak seorangpun berani mendekati lubang besar itu. Lokasi kuburan massal sekitar 4-5 meter dari pertigaan jalan menuju Oekabiti dan Kupang. Belakangan dijadikan tempat pemakaman umum (TPU) Oesao.
Oma Lina masih ingat beberapa wajah massa yang berteriak-teriak dan menyiksa orang-orang yang dituduh PKI.
“Dong masih saudara dengan korban,” ujarnya menarik nafas.
“Mereka tinggal di sekitar sini,” ungkap Oma Lina dan dibenarkan oleh Opa Lolak. “Satu pelaku ada rumah di bawah,” katanya seraya menjelaskan, tanah miliknya juga dirampas massa saat itu.
Tak hanya trauma dan stigma yang dialami Oma Lina dan anggota keluarganya. Mereka juga kehilangan hak untuk berkumpul atau berorganisasi. Setiap gerak mereka dipantau. Kemerdekaan bersuara dicabut. Mereka membisu selama lebih dari setengah abad.

JPIT Memecah Kebisuan Tragedi 65 di NTT
JPIT mendampingi para oma dan opa penyintas Tragedi 65 untuk merekam pengalaman hidup dan kesaksian mereka tentang Tragedi 1965 di NTT melalui kerja penelitian berbasis teologi Kristen.
JPIT memulai penelitian tahun 2010. Para calon pendeta dan pendeta serta relawan mengumpulkan berbagai informasi dan meneliti tentang Peristiwa 65 di enam wilayah yakni Kota Kupang, Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, Pulau Alor, Pulau Sabu, dan Sumba.
Penelitian dengan pendekatan sejarah lisan tentang Tragedi 65 berlangsung dari tahun 2010 hingga 2012. Semua aktivitas dilakukan dalam diam untuk menjaga keamanan dan untuk melindungi para penyintas, para keluarga penyintas dan keluarga pelaku.
Pendeta Mery menuturkan, JPIT berdiri tahun 2009. Pendirinya sejumlah orang lintas agama, lintas profesi. Mereka berkumpul dan berkomitmen membentuk satu perkumpulan diberi nama Jaringan Perempuan Indonesia Timur untuk studi perempuan, agama, dan budaya.
Dalam rapat umum anggota perdana JPIT, kata Mery, mengungkap Peristiwa 1965 di NTT menjadi satu dari beberapa agenda rapat.
Mantan Ketua Sinode GMIT ini menuturkan, penelitian ini tidak mudah, penuh tantangan. Termasuk orang tua yang anaknya saat itu kuliah teologi menolak anaknya dilibatkan dalam penelitian Peristiwa 1965.
Dalam perjalanan penelitian, sebagian besar oma-oma penyintas mau mengakhiri kebisuan panjang . Ini terjadi karena sebagian besar pewawancara adalah pendeta dan calon pendeta.
“Bersyukur, karena yang datang pendeta dan calon pendeta, umumnya para oma yang diwawancarai, yang diambil datanya terbuka. Sebagian besar terbuka, beberapa menyatakan tidak, kita menghargai,” kata Pendeta Mery dalam wawancara dengan KatongNTT di rumahnya pada Minggu, 8 Desember 2024.
Penelitian JPIT menemukan ratusan orang meninggal tanpa proses hukum akibat Peristiwa 1965. Keluarga mereka hidup dalam ketakutan, didiskriminasi dan distigmatisasi selama berpuluh tahun. Mereka tersebar di berbagai tempat di NTT. Sebagian besar mereka masih memilih diam tidak mau bercerita tentang peristiwa yang merengut nyawa lebih satu juta orang di negara ini.
Hasil penelitian JPIT dibukukan pada tahun 2012 yang diberi judul Memori-Memori Terlarang. Buku setebal 468 halaman ini kemudian diterjemahkan Universitas Monash, Australia ke dalam Bahasa Inggris dengan judul Forbidden Memoars.
“Dan buku itu dipakai sebagai bahan ajar di universitas teologi di seluruh dunia. Perempuan Indonesia Timur juga berkiprah dalam ilmu pengetahuan,” ujar Pendeta Mery.

Rekonsiliasi korban dan pelaku
Oma Lina mengenang saat pertama dia diajak JPIT untuk berkunjung secara teratur, sekali dalam dua bulan ke rumah penyintas, rumah pelaku, rumah pengurus dan anggota JPIT.
Mereka bertemu, bercerita dan menjadi ruang rekonsiliasi yang difasilitasi JPIT.
“Saya dijemput lalu kami saling berkunjung sekali dalam dua bulan,” kata Oma Lina tersenyum.
“Kami sebut sahabat doa lansia. Pertemuan berpindah-pindah di rumah saya, rumah anggota JPIT lain, di rumah oma-oma. Mereka sangat merindukan kesempatan itu,” kata Pendeta Mery.
Hasil proses yang panjang dan intensitas pendampingan dalam arti luas melalui edukasi membuat mereka berani membuka diri di hadapan masyarakat. Oma Lina adalah satu penyintas yang sudah siap berbicara terbuka di ruang publik.
Momen terindah dari rangkaian acara peresmian Monumen Peristiwa 65 pada 7 Agustus 2024 adalah saat keluarga korban, penyintas dan pelaku bertemu dalam Gereja. Mereka bersama-sama saling meminta maaf dan mengaku di hadapan Tuhan sebagai orang berdosa.
Kemudian yang tergerak hatinya, memeluk para penyintas yang duduk di tempat yang telah disediakan pihak Gereja. Mereka menangis bersama sambil saling berangkulan.
Dari rangkaian peristiwa ini, Pendeta Mery mengenang ucapan Uskup Afrika Selatan Desmond Tutu saat mengakhiri konflik rasial melalui mekanisme mengungkap kebenaran untuk rekonsiliasi. “There is no future without forgiveness,” ucapan bersejarah Desmond Tutu.
Menurut Pendeta Mery pernyataan Desmond Tutu perlu ditambahkan: “There is no forgiveness without aknowledge that for has been done. There is no peace without justice. Peace, justice, truth satu paket. Dan dalam iman Kristen itu disebut sebagai nilai-nilai Kerajaan Allah,” ujar Pendeta Mery.
Monumen Peristiwa 1965 di Oesao
Di akhir periode pemerintahannya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Instruksi Presiden tanggal 11 Januari 2023 tentang pengakuan atas pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia. Presiden menginstruksikan kepada 17 kementerian dan lembaga pemerintah non kementerian untuk berkoordinasi dengan lembaga independen di luar eksekutif untuk menyelesaikan seluruh rekomendasi Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat di Masa Lalu.
Presiden Jokowi saat itu menyampaikan pemerintah berusaha untuk memulihkan hak-hak korban secara adil dan bijaksana. Pemerintah juga berupaya sungguh-sungguh agar pelanggaran HAM berat tidak akan terjadi lagi di Indonesia pada masa mendatang.
Tim PPHAM kemudian merekomendasikan pembangunan memorabilia yang berbasis pada sejarah yang memadai serta bersifat peringatan untuk tidak akan terjadi lagi di masa depan.
Menurut Pendeta Mery, kerinduan terbesar para penyintas 65 adalah mendirikan tugu peringatan agar tragedi ini tidak terulang lagi di masa kini dan masa yang akan datang.
Inpres Presiden Jokowi dinilai sebagai momen untuk mendirikan monumen. Meski JPIT harus hati-hati mengingat rasa takut dan stigma yang masih kuat di masyarakat. Sehingga dalam pendirian monumen JPIT mengikutsertakan keluarga korban, penyintas, dan unsur-unsur pelaku.
Dukungan Gereja (GMIT) membuat proses pendirian Monumen 65 berjalan tanpa hambatan berarti. Masyarakat pun melihat bahwa JPIT bekerja bukan terkait ideologi tertentu, melainkan kemanusiaan.
“Gereja berdiri bersama-sama seperti Allah berdiri bersama dengan kaum tertindas, yang terpinggirkan, yang terdiskriminasi dan distigmatisasi,” Pendeta Mery menegaskan.

Alhasil, proses pendirian dan pembangunan Monumen 65 dapat diselesaikan dalam kurun waktu setahun. Dana terkumpul Rp 90 juta hasil saweran tanpa bantuan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
“Ini cara kami menjahit kembali dan menenun kembali simpul-simpul bangsa kita. Dengan begitu kiranya generasi muda bisa belajar agar tidak terulang lagi,” ucap Pendeta Mery.
Saat KatongNTT ditemani Oma Lina dan Opa Lolak berkunjung ke Monumen 65 di TPU Oesao, Oma Lina bersemangat menapaki delapan anak tangga. Di bawah Monumen berukuran sekitar 4×4 meter itu terkubur 18 jasad korban, dua di antaranya perempuan, yang ditembak hingga tewas pada 8 Februari 1966 sekitar jam 12 malam Wita.
Sambil berjalan perlahan berkeliling monument, Oma Lina berpesan: “Tugu ini perlu pagar dan dikunci supaya tidak dirusak orang-orang atau dikotori orang.”
Oma Lina sempat mengingatkan seorang pria dewasa berkunjung ke Monumen karena menyebut PKI.
“Tidak boleh lagi bicara PKI. Katong minta supaya jangan lagi, supaya kami jangan ingat kembali. Kalau bicara PKI, pertanggungjawabkan, ceritakan bagaimana…,” ujar Oma Lina menegaskan. [*]
“Artikel ini merupakan kolaborasi liputan bersama Women’s Media Collabs, didukung oleh IMS-International Media Support dan European Union.”