Kupang – Kasus-kasus asusila atau kekerasan seksual di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) belakangan justru terjadi di lingkungan pendidikan dan keagamaan.
Seorang guru agama di satu SD di Ende misalnya diketahui mencabuli 7 siswanya. Belum lama ini di Kota Kupang seorang pengajar sekolah minggu diketahui mencabuli 3 anak didiknya. Kasus yang sempat menghebohkan juga adalah seorang vikaris di Alor yang mencabuli belasan anak di lingkungan gereja.
LBH APIK NTT menyatakan kasus kekerasan seksual terutama percabulan terhadap anak memang tinggi secara statistik. Kategori kasus ini juga masuk dalam rangking ketiga dalam catatan akhir tahun yang dirilis LBH APIK 2022 lalu. Kekerasan seksual ada di urutan 3 setelah kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kasus pemerkosaan.
“Terbukti bahwa meningkat dan terus naik bahkan fenomenanya sampai seperti ini menunjukkan bahwa memang korbannya kelompok rentan atau dalam hal ini anak-anak,” jawab Direktris LBH APIK NTT, Ansy Damaris Rihi Dara.
Baca juga :Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di Sekolah Naik 3 Tahun Terakhir
Para pelakunya memang adalah orang-orang tidak terduga seperti guru baik di sekolah maupun guru di gereja maupun seorang vikaris.
Adanya kasus dengan lokus seperti ini sudah tentu membuat keberadaan anak-anak baik itu di lingkungan sekolah maupun lingkungan keagamaan perlu terus diawasi.
“Karena ternyata di sana pun bisa menjadi sarang pedofil atau tempat terjadinya tindak pidana kekerasan seksual,” lanjut dia saat dihubungi Jumat 28 April 2023.
Pada data SIMFONI PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak) per 11 April 2023 juga menunjukkan naiknya kasus kekerasan seksual di NTT.
Pada 2018 kasus kekerasan seksual di NTT sebanyak 149 kasus. 2019 lalu terjadi 166 kasus dan pada 2020 terdapat 216 kasus. Kasus ini meningkat di 2021 yaitu 309 kasus.
Sementara di 2022 kekerasan seksual yang terjadi di NTT sebesar 429 kasus. Untuk di tahun 2023 sendiri hingga dengan 17 April 2023 tercatat sebanyak 63 kasus.
Baca juga : Kekerasan Seksual di NTT Naik Sejak 2018, Terbanyak di TTS
Menurutnya fenomena ini butuh disikapi kendati sudah ada banyak regulasi seperti Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Namun turunan hukumnya seperti dari UU TPKS ini perlu juga diseriusi. Begitu pula lembaga pendidikan dan keagamaan harus mempunyai regulasi terkait ini.
“Jadi tidak cukup dengan adanya Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Undang-undang Perlindungan Anak, tetapi juga setiap kelembagaan baik itu pendidikan dan keagamaan perlu diikuti dengan regulasi atau aturan yang bisa memberikan perlindungan atau child safeguarding,” tegas Ansy.
Selain itu diperlukan tatanan atau sistem dengan standar yang jelas baik itu dalam penanganan dan pencegahannya.
Baca juga : Direktur LBH Apik NTT Minta Negara Penuhi Hak 9 Anak Korban Kekerasan Seksual di Alor
Setiap orang bisa menjadi korban maupun pelaku, dimana saja, kapan pun, terutama anak-anak baik itu laki-laki dan perempuan. Kelompok rentan ini pun termasuk disabilitas.
“Kita tidak bisa melihat dari jubah seorang tokoh agama atau seragam seorang guru dan lainnya. Itu semua tidak bisa menjamin, di rumah, di mana pun kita bisa mengalami tindak kekerasan tersebut,” sebutnya.
Kurikulum pendidikan pun, kata Ansy, sudah seharusnya memberikan ruang bagi anak untuk mendapatkan edukasi tentang kekerasan seksual dan bagaimana mengantisipasinya.
Sedangkan di tempat-tempat ibadah atau lembaga keagamaan sendiri perlu mempunyai regulasi dan mekanisme dalam pencegahan dan penanganan kasus seperti itu.
“Jangan lalu berpikir semua tempat itu akan aman. Tidak seperti itu. Rumah saja bisa menjadi tempat yang tidak aman apalagi di luar rumah,” sambungnya lagi.
Tidak saja regulasi, tegas Ansy, infrastruktur yang bisa diakses agar bagi anak-anak guna mendapatkan edukasi, mengetahui cara pencegahan, hingga penanganannya pun perlu dipersiapkan.
Baca juga : Pelaku Kekerasan Seksual di NTT dari Anak Usia 5 Tahun Hingga Lansia
Satgas, lembaga, atau unit tertentu di sekolah maupun tempat ibadah memang juga perlu dibentuk untuk memberikan perlindungan.
“Perlu dibangun budaya ramah anak di tempat ibadah maupun sekolah, misalnya gereja ramah atau sekolah ramah anak terus didorong, tidak tunggu ada kasus dulu baru digerakkan,” tambah dia lagi.
Secara lebih luas, semua pihak perlu saling memperhatikan dan menjaga kaum rentan karena kasus ini dapat terjadi dimana saja termasuk di taman kota dan infrastruktur yang diterangi lampu sekalipun.
“Kalau mau mewujudkan kota atau kabupaten ramah anak maka perlu kerja kolaboratif yang didukung semua pihak bersama-sama dalam konteks pencegahan dan penanganan,” ujarnya.
Edukasi dari dalam rumah terlebih dahulu perlu diberikan kepada anak-anak sehingga anak aman saat berada di dalam ataupun di luar rumah.
Baca juga : Ini Tantangan Mewujudkan Kelurahan Ramah Perempuan dan Peduli Anak di Kupang
Anak perlu tahu mengenai tubuhnya sendiri, bagaimana menjaganya dan mencegah dari tindakan yang tidak diinginkan. Edukasi ini perlu berjalan sejak PAUD hingga seluruh jenjang pendidikan.
“Pengetahuan mengenai seksualitas, dia tahu bagaimana memperlakukan tubuhnya sendiri, bagaimana terjadi pelecehan dan apa yang harus dia buat, itu semua perlu diketahui,” jelas Ansy.
Ia menegaskan bahwa kasus-kasus yang diketahui ini pun karena dilaporkan atau terekspos. Tetapi ini masih seperti fenomena gunung es dimana setiap harinya kasus-kasus ini terjadi tetapi masih ada yang tidak terlaporkan.
Seharusnya, kasus-kasus seperti ini perlu diselesaikan secara hukum bukannya diselesaikan di luar proses pengadilan.
“Memang undang-undang kita makin komplit tetap fakta di lapangan seperti ini terutama di NTT. Pada beberapa kasus orang tua proaktif melapor tetapi di beberapa lainnya tampak impunitas karena masyarakat belum paham kalau ini adalah pidana dan dilakukan upaya kekeluargaan,” ungkap dia.
Di luar proses hukum pun perlu diikuti dengan pencegahan, penguatan dari nilai keagamaan, pemeriksaan psikologi, sebab ada banyak pemicu kekerasan ini dapat terjadi.
Orang tua, anak-anak, sekolah, tokoh agama dan masyarakat maupun semua stakeholder terkait perlu menyikapinya. Ia sendiri mengapresiasi penegak hukum dan media yang telah menindaklanjuti dengan baik kasus-kasus ini. ****