Kupang – Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di sekolah menjadi sorotan. Dalam 3 tahun terakhir kasus yang terjadi mengalami peningkatan di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Peningkatan ini terangkum dalam data SIMFONI PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak) per 11 April 2023.
Pada 2020 terdapat 11 kasus di NTT, lalu di 2021 terdapat 13 kasus, dan di 2022 menjadi 18 kasus. Sementara di 2018 terdapat 19 kasus dan di 2019 dengan 18 kasus.
Baca juga ; LPA NTT Minta Sanksi Kebiri Kimia untuk Pelaku Kekerasan Seksual 7 Anak SD di Ende
Jumlah kasus di sekolah ini tidak sesignifikan dengan peningkatan kasus yang terjadi di rumah tangga dan fasilitas umum.
Untuk kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di rumah tangga meningkat dari 2020 dengan 379 kasus menjadi 575 kasus di 2021. Kemudian meningkat di 2022 mencapai 877 kasus.
Sementara yang terjadi di fasilitas umum pada 2020 sebanyak 85 kasus, kemudian naik signifikan hingga 105 kasus di 2021 dan 131 kasus di 2022.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) NTT, Iien Adriany, mengecam kekerasan ini. Ia akan berkoordinasi dengan pihak sekolah untuk mengupayakan adanya CCTV di sekolah terutama dari alokasi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
“Untuk sekolah-sekolah memang ke depannya perlu sistem keamanan, CCTV. Mungkin kita akan bicara dengan kepala dinas pendidikan, kalau daerah-daerah itu perlu CCTV dan murah sekarang kan tidak perlu yang mahal,” tanggap dia beberapa waktu lalu.
Anesta selaku Analis Bidang Kebijakan Kelembagaan Gender dan Kemitraan (KGK) DP3A NTT juga menganalisa ini. Menurutnya, pembekalan mengenai pengarusutamaan gender dengan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) sudah seharusnya diperdalam di dunia pendidikan.
Baca juga : Pelaku Kekerasan Seksual di NTT dari Anak Usia 5 Tahun Hingga Lansia
Hal ini perlu ditekankan dalam kurikulum sekolah sehingga ada sesi khusus yang mengajarkan anak untuk bisa mengantisipasi hal ini sejak awal. Menurutnya, dunia pendidikan perlu mengedepankan pengarusutamaan gender dengan KIE.
“Edukasi langsung memang perlu. Itu yang belum. Bila perlu itu masuk dalam kurikulum. Kalau hanya pembekalan ke orang dewasa saja buat apa kalau anak-anak yang jadi sasaran tidak punya pemahaman awal,” jelas dia.
Peningkatan keamanan dengan CCTV di lingkungan sekolah pun memang perlu diperkuat dengan peningkatan pemahaman kepada masyarakat.
“Supaya masyarakat tahu ada hal-hal diskriminatif yang sudah masuk kekerasan seperti psikis, mental, dan dari kekerasan seksual banyak berdampak ke kekerasan lainnya,” kata dia.
Baca juga : Kekerasan Seksual Anak Marak di NTT, Dua Ahli Ini Soroti Degradasi Nilai Kekerabatan
Edukasi sebenarnya harus dimulai bukan saja kepada orang tua atau orang dewasa tetapi sejak dini atau terhadap anak-anak.
“Apalagi tingkat sekolah harus ada pembekalan,” tambah Anesta.
NTT memiliki Sekolah Perempuan (Skoper) yaitu di Kabupaten Kupang dengan 1 desa dan Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) dengan 3 desa. DP3A NTT melakukan pendampingan di desa-desa ini.
Untuk membentuk Sekolah Perempuan ini Prosesnya bisa sampai 4 tahun hingga peningkatan kapasitas ke perspektif gender. Kelompok perempuan memang banyak akan tetapi sekolah perempuan sudah memiliki kurikulum dengan input dan output khusus.
Assessment dulu dilakukan dan adanya fasilitator Kabupaten dan desa dengan peningkatan kapasitas terhadap keluarga.
“Kelompok perempuan dirangkul yang mau dibentuk dalam sekolah perempuan butuh waktu lama,” jelas Anesta.
Baca juga : Ironi Kekerasan Seksual Anak Marak di NTT, Orang Terdekat Jadi Pelaku, Berdamai Jadi Solusi
Dalam sekolah ini diajarkan mengenai pengarusutamaan gender. Sekolah perempuan tidak saja melibatkan kaum ibu tetapi juga oleh remaja perempuan. Peningkatan kapasitas dan pemberdayaan perempuan juga dilakukan.
“Kita budaya patriarki yang kental di NTT bagaimana ini dibawa keluar agar tidak mengesampingkan hak-hak perempuan,” paparnya. *****