Kupang – Nusa Tenggara Timur (NTT) perlu menyediakan konseling dan pendampingan psikologis secara online.
Menurut Ketua DPRD NTT, Emelia Julia Nomleni, hotline ini dibutuhkan bagi perempuan khususnya anak agar lebih nyaman menyampaikan hal dialaminya.
Emelia menyampaikan hotline ini bisa berlaku pula sebagai upaya pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Regulasi yang ada juga sudah cukup saat ini meskipun infrastruktur masih terbatas.
Ia menyampaikan fasilitas pencegahan yang memang harus lebih diperbanyak. Hal ini menjadi penting ketimbang saat kasus sudah terjadi, lalu memberikan hukuman kepada pelaku dan penguatan korban.
Baca juga ; NTT Kekurangan Ahli Psikolog Dampingi Anak Korban Pelecehan
Dengan adanya Undang-undang (UU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menjadi dasar untuk itu. Hal ini yang akan dibahasnya dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) NTT.
“Ini terkait dengan apakah kita butuh lagi menerjemahkan regulasi itu ke aturan terkecil baik di provinsi maupun kabupaten dan kota,” jelasnya.
Sebelumnya DPRD NTT sudah mendorong pihak terkait untuk membentuk lembaga pencegahan dan penanganan terhadap kasus ini. Misalnya, tenaga psikolog bisa berperan pula sebagai konsultan dan tidak perlu lagi berada dalam lembaga yang besar.
Baca juga : Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di Sekolah Naik 3 Tahun Terakhir
“Tetapi bisa dalam sistem online yang bisa setiap hari orang bisa menelpon dan bisa mendapatkan bantuan,” ungkap dia lagi.
Hal ini juga bisa menjadi sistem pencegahan bila ada tindakan mencurigakan terhadap perempuan dan anak maka bisa dikonsultasikan secara privat.
“Bila kita punya hal ini saja menurut saya orang bisa menyampaikan keluh kesah mereka ataupun dapat menolong perempuan,” tambahnya.
Baca juga : Miris! Pencabulan Anak Terjadi Lagi Dalam Lingkup Gereja
Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak diakuinya lama baru terbongkar dikarenakan tidak adanya ruang bagi perempuan untuk membuka diri.
“Ada call center atau hotline khusus untuk perempuan dan anak yang mana itu bisa juga dimanfaatkan mereka dan ini kita butuh beberapa orang termasuk psikolog,” sambung dia lagi.
Selain itu, pencegahan ini dimaksudnya adalah soal kepedulian awal masyarakat mulai dari dalam keluarga atau orang-orang terdekat. Pihak-pihak ini pun harus lebih berani melaporkan kejadian ini.
“Upaya pencegahan perlu tetap ada baik itu dari dalam keluarga, gereja dan seluruh komponen harus terlibat di dalamnya termasuk fasilitas dalam pencegahannya bukan ketika sudah kejadian,” ungkap dia. ****