Kupang – Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah (Polda) Nusa Tenggara Timur (NTT) mencatat, anak-anak di NTT paling banyak jadi korban kekerasan seksual.
Per November 2023, ada 464 anak yang terdata mengalami kekerasan seksual.
Dengan rincian 121 anak mengalami pencabulan. 343 anak mendapat persetubuhan.
Sedangkan kekerasan seksual pada dewasa tercatat sebanyak 39 percabulan dan 35 kasus pemerkosaan.
Baca Juga: Ustaz di TTS Tutupi Kasus Anak 14 Tahun Yang Dihamilinya
Polres Timor Tengah Selatan (TTS) mendapat laporan kekerasan seksual pada anak paling tinggi. Yaitu 46 kasus persetubuhan dan 10 kasus percabulan.
Diikuti Timor Tengah Utara (TTU) dengan 30 kasus persetubuhan, 11 kasus percabulan.
Kota Kupang mencatat angka yang juga tinggi. Ada sebanyak 28 kasus anak disetubuhi dan 9 kasus lainnya ialah percabulan.
Daerah lain yang juga tinggi laporan kasus kekerasan seksual pada anak ialah Ende dengan 35 kasus terlapor. Diikuti Alor 33 kasus, dan Sikka dengan 31 kasus.
Kabupaten dengan laporan terendah ialah Nagekeo dengan tujuh kasus.
Baca Juga: Pria di Manggarai Aniaya Anak dan Bakar Istrinya
Kanit PPA Polda NTT, Iptu Fridinari Kameo memaparkan ini dalam Workshop Implementasi UU RI No. 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), Peluang dan Tantangan yang diadakan Rumah Harapan GMIT pada Jumat, 8/12/2023.

Ia menambahkan, mirisnya lagi pelakunya ialah orang-orang terdekat atau keluarga.
“Pelakunya kebanyakan keluarga dekat. Di Rote bahkan ada bapak yang menghamili anak kandungnya sendiri sampai hamil. Tapi tidak mau mengaku. Bahkan sudah tes DNA dan 99% cocok, dia masih juga tidak mau mengaku,” ujarnya.
Masih tingginya angka kekerasan pada perempuan dan anak di NTT ini menunjukkan UU TPKS belum efektif dalam menangani masalah ini.
Baca Juga: Komentar di Media Sosial Picu Anak Bunuh Diri
Hadirnya UU TPKS yang disahkan pada 12 April 2022 lalu itu diharapkan dapat menekan angka kekerasan seksual pada perempuan dan anak oleh karena sudah ada hukum yang jelas pada pelaku.
Dikuatkan lagi dengan Surat Telegram Kapolri No. ST / 1292 /VI / Res.1.24 / 2022, 28 Juni 2022 tentang Proses Penyidikan TPKS bahwa setiap kekerasan seksual tidak bisa diselesaikan di luar peradilan.
Nyatanya, tingkat kekerasan terus bertambah dengan korban yang lebih memilih bungkam.
Baca Juga: Aparat Desa Bantu Kabur Pemerkosa Anak di Amarasi Timur
Ester Mantaon, pendamping di Rumah Harapan GMIT yang biasa mendampingi para korban kekerasan seksual menyebut, ada beberapa alasan yang menghambat UU TPKS ini diimplementasik dalam mengatasi kekerasan seksual di NTT.
1. Aspek Personal. Seperti anak korban prostitusi yang tidak bersedia kasusnya diproses hukum. Dikarenakan sudah nyaman berada di komunitas itu.
Atau tekanan dari keluarga pelaku untuk tidak proses hukum karena dianghap membuka aib keluarga jika pelaku orang dekat.
Beberapa kasus ia temui pun ialah di mana korban memilih menghentikan proses hukum karena mendapat tekanan psikis/bully dari lingkungan sekitarnya.
Baca Juga: Anak Pekerja Migran Berisiko Besar Jadi Korban Kekerasan Seksual
2. Aspek sosial. Yang mana informasi yang masih terbatas bagi masyarakat pedesaan. Sehingga kasus kekerasan seksual diselesaikan melalui jalur damai atau mediasi.
Pelaku hanya perlu membayar denda dan permasalahan selesai sampai di situ.
Cenderung korban pun yang disalahkan jika telah terjadi kekerasan seksual.
“Perempuan dianggap sebagai simbol kesucian dan kehormatan. Ia kemudian dipandang menjadi aib ketika mengalami kekerasan seksual. Misalnya perkosaan,” kata Ester.
Baca Juga: Transformasi Irene Kanalasari dari Penyintas Kekerasan Seksual Menjadi Pengacara Anak
“Korban juga sering disalahkan sebagai penyebab terjadinya kekerasan seksual. Ini membuat perempuan korban seringkali bungkam,” tandasnya.*****