Kupang – DPD dan MPR sebagai lembaga negara dinilai tak dibutuhkan lagi mengingat kinerja dan peran kedua lembaga ini tak efektif.
Akademisi Hukum Tata Negara Universitas Nusa Cendana, John Tuba Helan berpendapat demikian ketika diwawancarai di Kantor DPRD NTT, Selasa, 3 Oktober 2023.
“DPD dan MPR itu perlu dibubarkan. DPD dan MPR secara aturan tidak produktif, punya kewenangan secara terbatas,” tukasnya.
Baca juga : Sudah Cukup, Jabatan DPR dan DPRD Hanya Perlu 2 Periode
Kewenangan DPD sendiri terbatas secara aturan dan produk hukum yang dihasilkan masih jauh dari target.
“Kita lihat DPD yang dibentuk sejak pemilu 2004, sampai sekarang sudah 19 tahun, apa produk dia? Tidak ada. Ini karena dari UUD maupun UU tidak memberikan kewenangan maksimal kepada DPD untuk menghasilkan sebuah produk hukum,” tambah John.
Dalam hal pembentukan UU pun, kata dia, DPD hanya boleh membuat rancangannya dan diserahkan ke DPR untuk berlanjut sampai tingkat pembahasan.
Baca juga : 90 Persen Bacaleg DPRD dan DPD di NTT Tak Lolos Administrasi
Hingga sekarang belum atau minim rancangan undang-undang (RUU) dari usulan DPD yang berhasil menjadi undang-undang. Begitu juga dalam menindaklanjuti hasil pengawasan harus dilaporkan kepada DPR.
“Pembahasan undang-undang pun kalau dia diundang oleh DPR, kalau tidak diundang dia tidak ikut membahas,” tukas John lagi.
MPR pun menjadi lembaga yang dinilai tidak efektif . Salah satu kewenangan MPR yaitu melantik presiden dan wakil presiden dan ini terjadi hanya sekali dalam 5 tahun.
Selain itu bila tak ada kebutuhan amandemen, maka MPR tidak akan bekerja atau tidak menjalankan kewenangannya.
Baca juga: Melanggar Konstitusi, Forum Pusat Koperasi Kredit NTT Tolak RUU PPSK
“Kewenangan lain, memberhentikan presiden. Kalau tidak ada kasus yang memungkinkan memberhentikan presiden, maka dia tidak bekerja. Dia bekerja selama satu kali dalam lima tahun,” jelas dia lagi.
Menurut John, anggota DPD atau MPR dengan dasar itu tidak akan bekerja maksimal termasuk tidak krusial perannya.
“Kita membentuk lembaga negara yang memiliki wibawa, statusnya sangat bergengsi, tetapi kerjanya sangat minim. Bukan orang-orang tidak bekerja tapi secara aturan tidak memungkinkan mereka tidak bekerja maksimal. Menurut saya lebih baik dibubarkan supaya ada penghematan uang negara,” lanjut dia.
Baca juga : Indonesia Masuk 20 Negara Pengirim Pekerja Migran Terbanyak
Ia menambahkan, DPD dari daerah NTT pun demikian perannya dan secara umum di provinsi lainnya tak efektif.
“DPD sebagai penghubung ya, mereka membawa aspirasi daerah ke pusat supaya diputuskan di tingkat nasional tapi selama ini yang kita pantau, apa yang mereka bawa? Saya pikir selama ini tidak ada,” ungkap dia.
Pada 2022 lalu Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) mencatat target kerja yang tidak begitu optimal selama ini.
Baca juga : 29 Pengungsi di Kota Kupang Pindah ke Negara Ketiga
Dalam lamannya PSHK menyebut capaian program legislasi nasional (prolegnas), RUU yang menjadi usulan DPD pun kerap terabaikan tanpa pembahasan.
Pada prolegnas jangka menengah, Prolegnas 2015-2019 dan 2020-2024, RUU yang menjadi usulan DPD belum satu pun yang disahkan menjadi undang-undang.
Baca juga : KPU NTT Analisa Kegandaan Daftar Bacaleg Pasca Masa Perbaikan
Bila dirinci dalam prolegnas prioritas tahunan, RUU usulan DPD prosesnya hanya sampai tahap pembahasan, tanpa sekalipun pernah disahkan menjadi undang-undang.
Dalam lima tahun terakhir, yakni pada 2017-2022, misalnya, DPD hanya mengusulkan lima RUU. Namun tidak satu pun yang berhasil disahkan menjadi undang-undang. ****