Kupang – Media KatongNTT.com menggelar diskusi publik mengenai liputan tambang mangan di Pulau Timor, tepatnya di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Timor Tengah Utara (TTU), dan Kabupaten Kupang.
Diskusi publik ini berlangsung di Universitas Widya Mandira (UNWIRA) Kota Kupang, 26 Juli 2024.
Pemimpin Redaksi KatongNTT Maria Rita Hasugian dalam sambutannya mengungkap liputan ini berlangsung 4 bulan. Berbagai masalah lingkungan, sosial, kesehatan, perampasan lahan dan kemanusiaan ditemukan pasca dua windu tambang mangan di Pulau Timor.
Maria yang juga penanggung jawab liputan ini mengatakan sengkarut persoalan tambang mangan terjadi karena pemerintah, masyarakat dan perangkat hukum di NTT sama sekali belum siap.
“NTT belum memiliki perangkat aturan yang bisa menjalankan industri ekstraktif yang aman, ramah lingkungan dan berpihak pada kesejahteraan masyarakat,” ungkap dia.
Baca juga : Sengkarut Tambang Mangan di Timor: Pemerintah Tak Siap, Warga Menunggu Godot, Pebisnis Cari Celah
Liputan ini, jelas Maria, mendapat dukungan dari Kurawal Foundation dan melalui proses legal review dari Dewan Pers. Nantinya liputan ini bakal berlanjut sebab masih banyak data dan informasi seputar tambang mangan di Timor yang perlu dipublikasikan.
Maria menerangkan KatongNTT yang baru berusia 2 tahun menyajikan liputan ini sebagai bukti keseriusan dan profesionalisme dalam kerja jurnalistik.
Diskusi publik ini diawali dengan testimoni dari Nikolas Ataupah dan Medi Kol Kapitan. Keduanya adalah 2 warga TTU yang menentang aktivitas tambang mangan dari PT Elgary Resources Indonesia (ERI). PT ERI pada 2014 lalu tiba-tiba masuk ke sana berbekal Izin Usaha Pertambangan (IUP). Perusahaan ini datang tanpa sosialisasi lalu mencaplok wilayah Dusun 6 atau Neten Banam di Desa Oenbit, Kecamatan Insana, TTU.
Menurut Nikolas, wilayah yang dicaplok PT ERI meliputi pemukiman, sekolah, gereja, ladang dan tempat ternak merumput. PT ERI membangun portal serta pagar dan melarang warga setempat masuk. Warga terpaksa melalui hutan. Anak-anak sekolah pun terlambat ke sekolah karena harus menunggu pagar perusahan dibuka. Ternak juga mati karena terganggu dengan aktivitas PT ERI. Kebun mereka tidak bisa diakses. Sumber air mereka tercemar hingga warga batuk dan menderita disentri.
Baca juga : Cerita Perampasan Tanah Ulayat Demi Berburu Mangan di Pulau Timor
Masyarakat di sana, sebut Nikolas, mencurigai pihak kehutanan, pertanahan hingga perangkat desa diam-diam bersekutu dengan PT ERI sehingga dengan mudahnya perusahaan ini masuk ke tempat mereka.
“Kita berteriak, mari-mari ada orang asing merambah di sini, kita yang jadi hamba, kita mengadu ke mereka tapi tidak ada jawaban,” cerita Nikolas dengan suara bergetar.
Nikolas yang jadi bagian Aliansi Rakyat Peduli Lingkungan (Arapel) pun memulai demontrasi. Demo pertama pada Februari 2015 hingga berlangsung setahun lamanya.
“Karena mereka gusur, semua rusak, ternak mati. Keuntungan untuk perusahaan, izin mungkin dari pemerintah supaya mereka yang gemuk tapi masyarakat kurus karena tidak bisa kerja apa-apa,” lanjutnya.
Nikolas mengatakan 80 kepala keluarga mempunyai hak atas tanah ulayat ini. Untuk itu mereka menuntut Bupati TTU dan DPRD TTU saat itu tetapi belum ada respon hingga hari ini.
Baca juga: Tambang Mangan di Nian: Antara Petaka dan Tuntutan Perut
Medi pun jadi salah satu perempuan yang mendemo perusahaan ini. Ia membuka testimoninya dengan membacakan daftar nama warga desa yang dirugikan PT ERI.
Medi lalu menceritakan bagaimana mereka memblokade kantor PT ERI dan menanam kembali pohon di kawasan tambang. Mereka menghijaukan kembali area itu karena ada sumber air di sana.
Ia saat itu berharap pemerintah membuat sertifikat ulang atas nama masyarakat di Netem Banam. Mereka sebelumnya telah mengantongi Surat Keputusan Agraria sejak 1965. Surat itu masih ada hingga saat ini.
Medi menegaskan ia dan masyarakat di sana tak akan menyerahkan tanah itu karena nilai sejarah, kerugian yang kini mereka alami, terlebih karena ada kuburan leluhur mereka di sana.
“Mau ditembak atau dibunuh pun saya tidak rela. Saya menolak PT Elgary! Saya tidak mau menerima seribu rupiah pun, tidak seenaknya pun kita harus membiarkan mereka masuk, tanah ulayat itu tanah perjuangan!” pekiknya di Auditorium Paulus saat itu.
Medi sendiri menderita kerugian besar. 40 ekor sapi dan ribuan pohon mahoni hingga jati digusur begitu saja tanpa pemberitahuan kepadanya. Warga lainnya mengalami hal serupa.
Baca juga: Perempuan Oenbit Tolak Tambang
Mantan Bupati Kupang, Ayub Titu Eki, pada sesi kedua menyampaikan bagaimana penolakannya pada pertambangan mangan. Ia mencabut 9 Hak Guna Usaha (HGU) seminggu setelah menjadi bupati.
Ayub juga mendapati ada 30 izin eksplorasi yang telah ditandatangani Ibrahim Medah, Bupati Kupang sebelumnya. Namun Ayub menyebut masyarakat tetap miskin bila sistem tambang tak berubah sehingga ia menertibkannya.
Di tengah penolakannya, pihak perusahaan kerap menawarinya uang ratusan juta dan menggodanya dengan sejumlah perempuan. Hal itu dilakukan agar ia tak berkeras dan memuluskan penambangan mangan di Kabupaten Kupang. Ayub dalam forum itu mengaku menolak semua tawaran tersebut.
Baca juga: Longsor, Debit Air Turun, Hingga Pertikaian Keluarga Akibat Mangan
Sementara Deputi WALHI NTT, Yuvensius Stefanus Nonga, memaparkan parahnya aktivitas industri ekstraktif di NTT. Sektor pertambangan ini, bukan hanya mangan, telah menjadi ancaman terhadap bencana ekologis di NTT.
Luas tambang mangan di NTT, ungkap Yuven, mencapai 269.923 hektare yang juga berasal dari alih fungsi kawasan hutan. Misalnya di Kabupaten Kupang ada 1.761 hektare hutan lindung masuk dalam IUP mangan. Sementara di TTU ada 789,71 hektare dan di TTS seluas 2.345,61 hektare wilayah hutan lindung yang masuk kawasan tambang mangan. WALHI NTT mengolah data ini dari laporan Kementerian ESDM pada 2018 lalu.
Menurut WALHI NTT, konflik seperti di TTU bakal terus berulang karena hukum adat akan tanah ulayat belum diakui negara termasuk oleh pemerintah daerah sendiri.
“Pintu masuk pengakuan terhadap hak masyarakat adat harus lewat perda. Kita bisa cek berapa banyak perda masyarakat hukum adat yang sudah diinisiasi 22 pemda di NTT. Terakhir hanya 3, kalau tidak salah itu ya, ada Manggarai Timur, Ende dan Sabu Raijua,” tukasnya.
Baca juga: Perempuan Supul Melawan “Goliat” Tambang
Persoalan legitimasi lanjutan di lapangan pun tetap pelik sebab negara menuntut dokumen resmi sedangkan masyarakat melestarikan budaya tutur termasuk perkara hukum adat.
Perspektif hukum di Indonesia memang demikian, kata Yuven, karena negara akan memberi perlindungan bila ada pengakuan secara hukum. Perspektif ini yang diwariskan sejak zaman kolonial Belanda dulu.
Peta kawasan hutan lindung milik negara sekarang ini pun, sambung Yuven, banyak berbenturan dengan tapal batas adat yang diwarisi masyarakat adat.
Masyarakat adat secara de facto ada di semua kabupaten tetapi secara de jure pengakuan atas hak mereka pun kerap menjadi konflik dan pelanggaran HAM.
Menurutnya, mau tidak mau perlu didorong pengakuan secara hukum atas hukum adat. Hal ini dikarenakan konflik agraria yang meningkat dengan digusurnya masyarakat adat.
“Masyarakat adat jika mau mengakomodir haknya atas hutan adat atau wilayah kelola rakyat maka dia harus memastikan dia terdata sebagai secara hukum di perda,” jelas Yuven.
Persoalan pasca tambang pun kini masih ada. Perusahaan meninggalkan lingkungan dengan bekas lubang galian. Sementara dana jaminan reklamasi yang harusnya diserahkan di awal operasi sesuai Permen ESDM kerap menguap.
Baca juga : Pemda NTT Tak Punya Data Potensi Cadangan Mangan
Saat ini mangan jadi salah satu dari 47 mineral kritis dan disoroti Presiden Jokowi guna mendukung energi baru terbarukan. Yuven mengingatkan NTT patut mewaspadai ini karena peluang penambangan mangan bisa lebih besar lagi ke depannya.
Sesi diskusi ini ditutup dengan materi dari Pater Gregorius Neonbasu mengenai masyarakat Pulau Timor dan mangan secara antropologi.
Pater Gregor sendiri adalah akademisi UNWIRA dan pendiri Gregor Antropological Group (GAG). Ia lebih banyak menjelaskan kawasan tambang meliputi hutan yang adalah warisan leluhur yang mana memiliki berbagai kearifan lokal. ***