Kupang – Seperti jamur di musim hujan, ratusan orang datang untuk mencari tahu tentang mangan di Pulau Timor, Provinsi Nusa Tenggara Timur sekitar tahun 2000an. Bahkan di antaranya datang dari Cina dan Korea Selatan untuk menemui bupati dan perangkat desa.
Tergiur dengan harga mangan yang meroket dan permintaan atas mangan terutama dari Cina dalam jumlah besar, mereka berburu mangan di NTT. Mereka menggandeng tokoh adat, ahli geologi, aparat kepolisian dan TNI untuk memuluskan pencarian lokasi mangan dan mengantongi izin tambang di Pulau Timor.
Masyarakat di Pulau Timor tidak tahu bahwa batu berwarna hitam yang mereka temui di tepi sungai dan sekitar rumah memiliki nilai ekonomi. Mereka menyaksikan orang-orang tidak dikenal keluar masuk kampung.
“Dulu kami belum tahu batu ini bisa jadi uang. Orang di sini pakai batu seperti kue cucur dan guli untuk ketapel,” ujar beberapa warga saat ditemui KatongNTT di Desa Supul, Kabupaten TTS. Hal sama disuarakan sejumlah warga di Desa Eketa, Kabupaten Kupang .
Baca juga: Perempuan Oenbit Tolak Tambang
Euforia warga pun tak terbendung di tengah kemiskinan lama dan tingginya angka pengangguran di Pulau Timor. Gayung bersambut meski berujung pahit nantinya. Mereka ramai-ramai memungut batu hitam di tepi sungai hingga menggali tanah dan tebing sungai untuk menjualnya.
Beberapa tuan tanah tergoda uang tunai untuk diganti dengan menyewakan lahan selama bertahun-tahun kepada pengusaha-pengusaha itu. Para tuan tanah dan anggota keluarganya menjadi pekerja untuk perusahaan tambang yang menyewa lahan mereka. Setiap bulan mereka menerima gaji berkisar Rp 1-2 juta untuk pekerjaan sebagai mandor atau penggali batu mangan.

Bupati menerbitkan puluhan izin usaha tambang mangan. Kewenangan ini diberikan Undang-Undang Otonomi dan Undang-Undang nomor 11 tahun 1967 tentang pertambangan dan direvisi dengan UU nomor 4 tahun 2009.
Sengkarut masalah akibat penerbitan izin oleh sejumlah bupati, kewenangan menerbitkan izinpun dialihkan ke gubernur pada 2017 -2020. Setelah UU Nomor 3 tahun 2020 tentang tambang berlaku, penerbitan izin tambang dialihkan ke Pusat. Secuil kewenangan menerbitkan izin diberikan Pusat ke daerah yakni untuk galian batu dan pasir (material nonlogam).
Saat berkuasa, sejumlah bupati di NTT menerbitkan sekitar 300 izin tambang mangan, terbanyak di Kabupaten TTU. Penerbitan izin kurang diikuti dengan kesiapan pemerintah daerah , baik dalam kerangka sosialisasi masyarakat, penyediaan dan penataan lahan, perangkat aturan, maupun infrastruktur.
Persyaratan pemberian izin tidak jelas. Inspektur Tambang NTT yang ditemui KatongNTT 19 Juli 2024 mengatakan, sebagian besar para pemegang izin tambang dari bupati tidak didukung dokumen studi kelayakan atau rencana reklamasi. Para pengusaha ini juga minim sosialisasi kepada warga seperti terjadi di Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, dan Timor Tengah Utara.
Satu per satu pemegang izin usaha tambang yang padat modal dan risiko tinggi hengkang dari Pulau Timor. Mereka meninggalkan jejak kerusakan permukaan tanah, bencana longsor, dan trauma warga hingga saat ini.
Rumor tentang tingginya biaya “bermain” mangan di Pulau Timor terkuak. Ini satu alasan yang memberatkan pengusaha dan investor. Direktur CV Kasih Mulia, Inggrid Wijaya mengungkapkan, biaya siluman mencapai ratusan hingga miliaran rupiah dalam pengurusan izin tambang di Kabupaten TTU.
“Untuk biaya satu izin saya bayar hampir satu miliar,” kata Inggrid kepada KatongNTT di Kupang, Juli lalu.
Harga yang hampir sama dia keluarkan untuk mengurus Amdal dan keamanan perjalanan mangan hingga ke Pelabuhan Wini di Kabupaten TTU.
Inggrid menghabiskan hampir Rp 4 miliar untuk mengurus semua keperluan bisnisnya. Belum termasuk dana yang menguap dipicu permainan para pengepul mangan.
Izin tambang diperoleh Inggrid diteken Bupati TTU Gabriel Manek. Namun Gabriel yang ditemui di ruang Komisi 2 DPRD NTT pada Jumat malam, 19 Juli 2024 menolak menanggapi pernyataan Inggrid.
“Saya tidak mau menanggapi,” ujar Gabriel sambil bergegas ke toilet.
Gabriel ditemui setelah beberapa hari sebelumnya dikirimi surat permohonan wawancara melalui nomor Whatsapp miliknya. Termasuk mengirim surat serupa ke Fraksi Golkar NTT dan Komisi 2 DPRD NTT.
Baca juga: Tambang Mangan di Nian: Antara Petaka dan Tuntutan Perut
Di masa Gabriel, jumlah penerbitan izin tambang mangan lumayan banyak. Data yang diperoleh dari Dinas ESDM NTT, jumlahnya mencapai 70.
Data terbaru Kementerian ESDM menyebutkan, jumlah izin tambang mangan di NTT menciut tinggal 15. Dari jumlah itu, 7 perusahaan berlokasi di TTU, yakni CV Kasih Mulia, PT Anugerah Nusantara Sejahtera, PT Elang Perkasa Mining, PT Putra Timor Mining, PT Royal Bumi Utama, PT Sumber Bara Persada, dan PT Putra Indonesia Jaya.
Raymundus Sau Fernandes yang menggantikan Gabriel Manek ditemui di rumahnya di pinggiran kota Kefamenanu, TTU awal Juli lalu menjelaskan, dia hanya meneruskan kebijakan Gabriel. Dia pun menampik menerima dana haram itu.
Malah menurutnya dia mengkoreksi kebijakan bupati sebelumnya yang lahan konsesi mangan masuk ke pemukiman warga TTU. Raymundus mengajukan gugatan ke pengadilan untuk membatalkan izin. Namun gugatannya kandas di Mahkamah Agung.
“Saya kalah padahal jelas izin tambang itu masuk ke pemukiman,” ujarnya .
Dikawal Dua Perwira TNI
Saat menjabat bupati Kupang tahun 2009, Ayub Titu Eki juga mengkoreksi kebijakan penerbitan izin tambang oleh bupati sebelumnya, Ibrahim Agustinus Medah (almarhum).
“Saya menghentikan semua aktivitas tambang mangan untuk izinnya diproses kembali,” ujar Ayub saat ditemui di rumahnya.
Tidak sampai seminggu menjabat sebagai bupati, Ayub membuat gebrakan itu. Ada 50 perusahaan mengantongi izin tambang mangan dalam tahap eksplorasi dan 4 perusahaan sudah di tahap operasi yang dihentikan aktivitasnya.
Kebijakan lebih keras Ayub keluarkan dua minggu kemudian dengan memerintahkan camat dan kepala desa se Kabupaten Kupang untuk menangkap dan menahan setiap orang yang menggali dan mengangkut mangan keluar dari desa. Batu mangan yang disita ditumpuk di halaman kantor bupati.
Baca juga: Perempuan Supul Melawan “Goliat” Tambang
“Mungkin batu mangannya masih ada di halaman kantor bupati,” ujar Ayub tersenyum.
Dia mendapat perlawanan dari para pengusaha tambang, anggota DPRD Kupang, dan warga yang saat itu merasa mendapat durian runtuh karena batu hitam itu bisa dijual jadi uang.
Bahkan, ungkapnya, seorang pengusaha tambang dikawal dua perwira TNI datang ke rumahnya malam hari. Dalam pertemuan itu, pengusaha itu menyampaikan keluhannya atas kebijakan penghentian sementara semua aktivitas tambang. Mantan Rektor Universitas Terbuka NTT ini, berkukuh dengan kebijakannya.
Menurut Ayub, tindakan tegas itu dia keluarkan untuk mencegah meluasnya kerusakan lingkungan. Izin yang dikeluarkan secara serampangan ini telah memunculkan ketegangan antara warga dan pemegang izin tambang mangan.
Selain itu, terjadi ketegangan antar pemegang izin dipicu tumpang tindih lahan konsesi. Dampaknya, Ayub memperkirakan perusahaan –perusahaan yang bertikai itu akan lepas tangan dalam urusan reklamasi nantinya.
Dia juga mencegah aktivitas menguras mangan secara tak terkendali yang merugikan generasi penerus.
Kemana Dana Reklamasi?
Reklamasi menjadi persoalan tak berujung. Ketika puluhan pemegang izin hengkang dari lokasi tambang. Mereka meninggalkan berpuluh bahkan beratus lubang di permukaan tanah. Sudah 12 tahun lamanya, lubang-lubang menganga dibiarkan begitu saja.
Inspektur Tambang NTT menjelaskan, pemegang izin harus melakukan reklamasi sebelum meninggalkan lokasi konsesinya karena izin berakhir atau tidak lagi melanjutkan usaha tambangnya. Inspektur akan melakukan pengawasan atas reklamasi. Jika dinyatakan selesai, pemerintah kemudian mencairkan dana jaminan reklamasi untuk dikembalikan ke pemegang izin tambang.
Masyarakat juga diimbau untuk melaporkan ke Inspektur Tambang NTT jika ada pemegang izin tambang tidak melakukan reklamasi setelah izin berakhir. Sementara selama ini data tentang pemegang izin belum pernah disosialisasikan kepada warga.
Kesemrawutan ini berdampak pada ketidakjelasan siapa yang bertanggung jawab pada reklamasi. Termasuk ketidakjelasan keberadaan dana jaminan reklamasi di era bupati berlanjut ke gubernur hingga berujung di Pusat.

Baca juga: Cerita Perampasan Tanah Ulayat Demi Berburu Mangan di Pulau Timor
Inspektur Tambang NTT mengatakan, dana jaminan reklamasi di masa bupati tidak disimpan dalam kas APBD. Dana jaminan reklamasi disimpan pada satu rekening bank atas nama bupati dan pemegang izin yang pencairannya diteken secara bersama.
Inggrid menjelaskan, dia telah menyerahkan dana jaminan reklamasi bersamaan dengan pengurusan izin. Seingatnya dana jaminan reklamasi yang dia bayar Rp 17 juta per hektar. Namun Inggrid mengaku tidak ingat persis dana jaminan reklamasi itu disimpan di mana.
Hingga saat ini, menurut data Inspektur Tambang NTT, belum ada pemegang izin tambang yang melapor untuk melakukan reklamasi. Padahal sudah puluhan pemegang izin tambang mangan hengkang atau izinnya sudah berakhir.
Mari berhitung, jika satu pemegang izin memiliki luas lahan konsesi sekitar 100 hektar, bisa dihitung berapa luas permukaan tanah yang hancur bekas galian mangan tanpa direklamasi bertahun-tahun lamanya. Begitu juga tidak ada penghijauan kawasan tambang.
“Warisan” Ketidakbecusan Pemerintah di Desa Benu
Paulus Pitay bergegas menyeberangi sungai yang membelah pemukiman warga Desa Benu di Kecamatan Takari, Kabupaten Kupang. Sungai sekitar 20 meter dengan ketinggian air semata kaki pada musim kering Juli tahun ini.
Tim KatongNTT mengikuti langkah Paulus menyeberangi sungai lalu mendaki bukit tandus yang dipenuhi tanaman berduri. Batu-batu kerikil tersusun rapi menutupi permukaan tanah. Sekitar 50 meter berjalan , kami berhenti di depan tanah yang bekas digali sedalam sekitar 0,5 meter.
“Di sini dulu Bapak Menteri Hatta Rajasa meletakkan batu pertama pembangunan smelter. Bapak Bupati Ayub dan saya sebagai kepala dusun saat itu, hadir menyaksikan peletakan batu pertama,” kata Paulus sambil tangannya menunjuk ke arah tanah galian.
Baca juga: Longsor, Debit Air Turun, Hingga Pertikaian Keluarga Akibat Mangan
Hatta Rajasa pada tahun 2012 menjabat sebagai Menteri Perekonomian Hatta Rajasa. Hatta didampingi Bupati Kupang Ayub Titu Eki saat meletakkan batu pertama pembangunan smelter.
Lahan untuk smelter diberikan cuma-cuma oleh pemilik ulayat dengan harapan dapat mengikis pengangguran dan kemiskinan panjang. PT Jasindo bersama investor Korea Selatan, paparnya, mempersiapkan infrastruktur berupa pembukaan jalan baru untuk mempermudah akses ke lokasi smelter.
“Warga memberi nama jalan ini ‘Cabang Korea,” ujar Paulus dan dibenarkan beberapa remaja pria warga setempat yang mendampinginya.
“Bahkan mereka sudah merancang untuk membangun jembatan di atas sungai ke lokasi smelter,” papar Paulus menambahkan.
Sehingga dia begitu yakin atas kehadiran smelter di Desa Benu. Apalagi pabrik pencucian dan penggilingan mangan di Desa Tuapanaf, Kecamatan Takari sudah lebih dulu diresmikan.
“Waktu itu saya sudah berharap warga kami tidak lagi mencari kerja keluar, tapi mereka bisa bekerja di sini, tidak menganggur,” ujar Paulus.
Seperti punguk merindukan bulan. Setelah peletakan batu pertama itu Paulus tidak menerima kabar apapun hingga saat ini. Impiannya bahwa smelter akan mengubah wajah Desa Benu yang miskin dan tandus itu pupus sudah.
Dia tidak tahu alasan pembangunan smelter tak berlanjut padahal peletakan batu pertama sudah dilakukan oleh seorang menteri.
“Sampai saat ini saya tidak tahu apa alasan smelter tidak dibangun,” ujarnya dengan suara bergetar menahan emosinya.
Smelter mangkrak ini merupakan satu dari beberapa “warisan” ketidakbecusan Pemerintah dalam merancang pembangunan industri berskala besar di Pulau Timor, NTT.
Ayub yang diwawancarai KatongNTT di rumahnya Juli lalu menjelaskan, penerapan tarif listrik oleh PT PLN jadi satu alasan pembangunan smelter mangkrak.
PLN mengajukan tarif listrik yang dinilai Ayub sangat mahal yakni Rp 1.438/kwh . Sementara tarif listrik untuk Pulau Jawa Rp 823/Kwh. Itu artinya ada selisih Rp 660/kwh.
Mantan Bupati Kupang ini memperkirakan perusahaan yang mengoperasikan smelter akan membayar tarif listrik per bulannya sekitar Rp 14,7 miliar atau sekitar Rp 72 miliar per tahun.
Ayub kecewa karena Pusat dinilainya tidak mempertimbangkan NTT sebagai provinsi miskin dan tertinggal.
“Mengapa harga di Pulau Jawa lebih murah daripada di sini. Ini provinsi miskin, kenapa tidak ada subsidi?” ujar Ayub kesal.
Baca juga: Ayodhia Klarifikasi Lagi Investasi Smelter Mangan di Pulau Timor
Belum jelas tentang keberlanjutan smelter di Desa Benu, Ayub mendengar kabar pembangunan smelter akan dibangun di Bolok, Kabupaten Kupang. PT Gulf Mangan, anak perusahaan Gulf Manganese Corporation (ASX-GMC) asal Australia akan membangun smelter di kawasan industri Bolok di Desa Bolok, Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang.
Dalam penjelasan tertulis menjawab KatongNTT, Kementerian ESDM mengatakan, PT Gulg Manganese Corporation Limited telah meletakkan batu pertama proyek pembangunan smelter pada Juli 2017. Namun belum ada informasi lebih lanjut tentang jaminan pasokan bijih mangan ke smelter.
“Karena laporan sumber daya cadangan sebagian IUP mangan belum diestimasi oleh orang yang berkompeten,” tulis Kementerian ESDM, 19 Juli 2024.
Selain jaminan pasokan bijih mangan, menurut Kementerian ESDM adalah biaya investasi untuk membangun smelter yang sangat besar. Kemudian, belum ada dorongan dari Kementerian Perindustrian untuk mengembangkan kawasan industri smelter mangan di NTT.
Alasan lainnya adalah masalah geografis, ketersediaan energi dan infrastruktur, serta tumpang tindih kebijakan antar daerah yang kontra produktif. Jika segepok masalah tak kunjung terurai, mengapa warga Desa Benu dibiarkan menunggu godot? *****
Catatan:
“Liputan tim jurnalis KatongNTT.com untuk menyorot dua windu sengkarut persoalan penambangan mangan di Pulau Timor, Provinsi Nusa Tenggara Timur didukung Kurawal Foundation.”