Kupang – Terlalu cepat menghakimi, kurang mendengar, membanding-bandingkan kehidupan orang lain, enggan memahami, menilai semua orang punya ketahanan mental yang sama, hal-hal itu sering dilakukan masyarakat terhadap orang yang mentalnya tengah rentan maupun berpotensi bunuh diri.
Dosen Psikolog Universitas Nusa Cendana (Undana), Indra Yohanes Kiling, menyatakan sikap seperti ini juga yang dimiliki masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) yang bahkan sangat menonjol saat muncul kasus bunuh diri.
Baca juga : Warga Minta Aktivitas TPA Alak Berhenti Sampai Kebakaran Teratasi
Ia menilai ini dari kasus bunuh diri 2 mahasiswa di Kota Kupang yang terjadi dalam bulan yang sama, Oktober 2023.
“Kita kurang budaya ‘kasih telinga’ untuk orang lain dan masyarakat kita umumnya lebih cepat menggurui orang yang mempunyai pengeluhan padahal kadang mereka hanya butuh seseorang untuk mendengar saja,” kata dia di ruang kerjanya, 3 November 2023.
Indra menyebut mental sama halnya dengan tubuh. Tubuh bisa sakit, mental pun bisa sakit akibat sesuatu, itu hal yang manusiawi. Ada orang yang secara fisik mampu menerima pukulan tapi mentalnya mungkin tidak demikian ketika terjadi sesuatu masalah. Ada yang fisiknya rentan tapi mentalnya mampu menadah tekanan yang kuat.
Baca juga : Riwayat Kebakaran di TPA Alak Yang Memuakkan
Masyarakat NTT umumnya tidak mau melihat lebih dalam kondisi mental seseorang berdasarkan serangkaian peristiwa, emosi atau pengaruh lingkungan terhadapnya.
Masyarakat cenderung menghadapi orang yang bermasalah dalam hubungan asmara, kehilangan orang tua atau kerabat, masalah ekonomi, maupun berbagai perkara lainnya dengan membandingkan dengan dirinya terlebih dahulu.
“Mungkin maksudnya memang positif ya kasih motivasi tapi sebenarnya orang butuh didengar, biarkan dia mengeluarkan kesedihan itu. Istilahnya di psikologi itu coping stress, jadi stres itu diregulasi agar akhirnya tidak terjadi hal-hal yang kurang diinginkan,” tukasnya.
Baca juga : Mahasiswa NTT Bunuh Diri, Layanan Psikologi Kampus Hanya ‘Hiasan’ Akreditasi
Masyarakat NTT yang cenderung tabu membahas kesehatan mental malah mudah sekali menggurui atau menghakimi orang lain. Keadaan itu secara tidak langsung akan menyulut bom waktu dalam diri seseorang. Parahnya bila tuntutan besar itu muncul dalam keluarga sendiri.
“Sikap seperti ini sudah muncul saat dalam keluarga (parenting) yang fatalnya lagi bila ini tak diikuti dengan penyokong atau hubungan emosi yang kuat dengan orang terdekat,” lanjut Indra.
Generasi yang dulunya dididik dengan keras juga cenderung mewariskan pola asuh serupa ke generasi berikutnya sementara tuntunan zamannya sudah berubah.
Baca juga : Tekan Angka Bunuh Diri di NTT, Psikolog di Tiap Puskesmas Jadi Kebutuhan
Saat ini sikap-sikap negatif itu pun menurut dia turut berpindah ke media sosial. Penilaian buruk terhadap orang lain di media sosial bisa jadi adalah bentuk pelampiasan atas apa yang sudah dialaminya dahulu.
“Akhirnya malah mereka menghujat orang di sosial mereka, menghakimi orang juga, terlebih ke orang yang bunuh diri atau percobaan bunuh diri seperti kemarin itu. Mereka merasa bisa menghadapi masalah orang lain,” tukasnya.
Berdasarkan pengamatannya, hujatan-hujatan yang muncul di media sosial menunjukkan masyarakat yang tidak mau tahu akan kompleksitas mental dan peristiwa hidup masing-masing orang yang jelas berbeda.
Baca juga : Dampak Sekolah Subuh, Siswa Rentan Depresi dan Bunuh Diri
“Mereka itu ada bilang begini ‘saya sudah pernah lewati itu, biasa saja, kenapa dia harus begitu.’ Iya, mungkin masalah yang dihadapi sama tapi sokongan di sekitarnya pasti tidak sama. Ada yang pulang dan didukung orang tuanya, tapi ada yang tidak, misalnya begitu. Secara ekonomi pun sama dan ini yang paling membunuh mental,” jelasnya lagi.
Budaya “kasih telinga” menurutnya akan membantu masyarakat NTT menjadi lebih punya empati terhadap orang lain. Tidak ada jalan lain, pemahaman kesehatan mental memang diperlukan bagi masyarakat NTT.
Sementara perlu ada ruang bagi orang-orang yang mengalami masalah untuk meluapkan persoalan mereka, lanjut Indra, agar mentalnya membaik kembali.
Baca juga : Duka Bertubi PMI NTT, Ibu Meninggal di Malaysia, Anak Bunuh Diri
“Jangan akhirnya mereka memilih untuk memendam masalah mereka, lalu saking sakitnya pilih bunuh diri,” tambahnya.
Di lain sisi, literasi digital juga diperlukan sejak tingkat sekolah menengah agar generasi saat ini lebih bijak dalam bersosial-media dan perlu mulai intens terpapar berbagai informasi positif.
“Sehingga perlu cermat dan bijak menanggapi informasi, memilah mana informasi benar dan bohong, tidak latah dan tidak sopan, tidak juga cepat menghujat atau menghakimi orang lewat sosial media,” lanjut dia. ****