Maumere – Silang sengketa lahan Hak Guna Usaha yang dikuasai Keuskupan Maumere, Kabupaten Sikka, NTT dengan puluhan warga yang bermukim di lahan itu sejak tahun 2014 belum menunjukkan titik temu. Mengapa silang sengketa yang diklaim warga sebagai konflik terbuka, namun Keuskupan Maumere menepis sebutan konflik, tak membuahkan penyelesaian? Bagaimana sengkarut ini diurai untuk memahami akar masalah? Redaksi KatongNTT memutuskan untuk meliput langsung ke lokasi dan menemui dan mewawancarai sejumlah sumber kunci untuk memberikan informasi, data dan kesaksian mereka. Selama dua pekan, 4-17 Februari 2025, jurnalis kami, Yohanes Fandi mengumpulkan informasi dan data, memverifikasi, mengkonfirmasinya, dan mewawancarai pihak-pihak yang terlibat langsung maupun pihak yang kami nilai penting. Berikut laporannya.
*****
Puncak sengketa antara warga dan pengelola lahan Hak Guna Usaha (HGU) milik Keuskupan Maumere, PT Krisrama Maumere terjadi pada 22 Januari 2025. Ketika pengelola melakukan penggusuran rumah-rumah warga yang menempati lahan tersebut.
Setiba di lokasi jurnalis KatongNTT disambut warga yang digusur di lokasi HGU Nangahale, Kecamatan Talibura, Kabupaten Sikka, lalu menuju pondok darurat yang dibangun menggunakan terpaL dan dipertemukan dengan Ignasius Nasi. Ignasius mengaku sebagai kepala suku Soge Natarmage. Dia bersama sekitar 120 warga lainnya menempati lahan HGU yang dikelola PT Krisrama.
Baca juga: Cerita Perampasan Tanah Ulayat Demi Berburu Mangan di Pulau Timor
Ignasius kemudian menceritakan kronologi tentang keberadaan mereka di lahan HGU PT Krisrama dan bertahan meski mereka diusir berulang kali dari lokasi tersebut. Dia juga menunjukkan lokasi ritus adat dan makam nenek moyang mereka di lahan HGU PT Krisrama.
Suku Soge berasal dari Desa Natarmage, Kecamatan Waiblama, Kabupaten Sikka mengklaim sebagai pemilik tanah ulayat di HGU Nangahale yang dikelola PT Krisrama. Setelah kontrak HGU dari PT DIAG berakhir tahun 2013 dan beralih pengelolaan ke PT Krisrama, warga yang tinggal di Natarmage mulai menempati lahan HGU itu.
Menurut Ignasius, sebanyak 700-an orang bersama-sama berangkat dari Desa Natarmage ke lokasi HGU Nangahale untuk menempati lahan HGU. Tepatnya tanggal 9 Agustus 2014 jam 23.00 Wita.
“Saya bersama 700-an kepala keluarga turun ke lahan HGU Nangahale di Pedan dan Hitohalok,” cerita Ignasius.
Mereka mendirikan 6 tenda di awal kedatangan di lahan HGU itu. Keesokan hari sekitar jam 10 pagi Wita, Polisi Pamong Praja Pemerintah Kabupaten Sikka memerintahkan warga keluar dari lokasi lahan HGU itu. Namun warga menolaknya dan bertahan di lahan tersebut.
Baca juga: Longsor, Debit Air Turun, Hingga Pertikaian Keluarga Akibat Mangan
Kemudian, warga yang menempati lahan HGU PT Krisrama diundang ke kantor Sekretaris Daerah Sikka untuk menyelesaikan sengketa lahan. Menurut Ignasius, dalam pertemuan itu warga meminta bukti surat tentang status lahan tersebut. Namun, tidak diberikan.
Setahun kemudian, tujuh perwakilan suku Soge terbang ke Jakarta untuk bertemu pihak Kementerian Agrarira dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).
Menurut Ignasius, Kementerian ATR /BPN berjanji akan mengutus tim untuk duduk bersama ketiga pihak antara Pemkab Sikka, Gereja dan Masyarakat Adat.
Sekembali dari Jakarta, perwakilan warga Soge diundang ke Lepo Bispu (tempat pertemuan Keuskupan Maumere) Untuk kembali berdiskusi mencari solusi. Mereka sempat mempresentasikan peta pembatas dan pembagian lahan HGU versi warga. Namun Keuskupan Maumere menolaknya.
Di tahun 2018, PT Krisrama memasang pilar pembatas lahan HGU yang dikelolanya. Namun warga mencabutnya.
Tindakan tegas PT Krisrama diikuti dengan tetap membuka dialog dengan warga. Namun kembali lagi tidak ada titik temu. Hingga PT Krisrama melakukan pengosongan lahan dengan peralatan berat untuk merubuhan rumah-rumah warga.
PT Krisrama sebelum melakukan pengosongan lahan telah meminta PT PLN untuk mematikan aliran listrik yang selama ini dialirkan ke rumah-rumah warga.
Baca juga: Kisah Masyarakat Adat NTT Atasi Perubahan Iklim, Di Mana Pemerintah?
Warisan Leluhur Sugi Sao
Suku Soge berdasarkan cerita turun temurun merupakan warisan leluhur mereka dari Sugi Sao. Saat kapal leluhur mereka merapat di Teluk Pedan (lokasi pantai di sebelah timur HGU Nangahale-Red), sang leluhur naik ke darat lalu menancapkan pedang dan memberikan nama Pedan untuk lokasi yang dia temukan.
Tanah tersebut yang kini berstatus HGU Nangahale dirampas tahun 1912 oleh Amsterdam Soenda Company yang berkedudukan di Amsterdam. Seiring berjalannya waktu, tanah beralih ke tangan Vikaris Apostolik Keuskupan Agung Ende dengan status HGU.
Tanah tersebut dikelola PT DIAG Keuskupan Agung Ende yang kemudian setelah masa berlaku HGU berakhir, pengelolaan lahan dialihkan ke PT Krisrama Keuskupan Maumere.
Legalistas lahan HGU itu berdasarkan dokumen Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4/ HGU/89 tanggal 5 Januari 1989 tentang pemberian HGU Hak Guna Usaha kepada perkebunan kelapa PT Diag. HGU itu berlaku dalam jangka waktu 25 tahun atau berakhir pada 31 Desember 2013.
Ritus Suku Soge
Dua warga yang menempati lahan HGU PT Krisrama, Ignasius Nasi dan Antonius Tony menjelaskan, ada empat tempat ritus yang masih di laksanakan oleh Masyarakat Adat Suku Soge yakni Nuba Pedan Nuba Sao Wair , Nuba Geta Hale da Nuba Ihin Dolo, Nuba Koting Buluk, dan Nuba Koja ean.
Di lahan HGU Nangahale juga terletak kampung tua Nangahale yang telah dijadikan kuburan umum. Beberapa kuburan tua berada di area kuburan umum.
Baca jugaL Nelayan Minta Pemerintah Ungkap Limbah Hitam di Pantai Tablolong
Nomor 3 dari isi surat Kementerian ATR/BPN yang dipertanyakan warga dalam sengketa lahan HGU Keuskupan Maumere yang dikelola PT Krisrama (Yohanes Fandi/KatongNTT.com)
Kronologi versi PT Krisrama Maumere
Perkebunan Kelapa DIAG dengan Akta No.32 tanggal 09 Maret 1979, dan pembetulan dengan Akta No.143 tanggal 23 Oktober 1979 , berkedudukan di Maumere menguasai lahan seluas 8.687.305.m2 . mencakup wilayah Desa Runut, Kecamatan Waigete dan Desa Nangahale, Kecamatan Talibura. Masa berlaku HGU ini selama 25 tahun atau berakhir pada tahun 2013.
Menjelang masa berlaku HGU yang dikelola PT DIAG berakhir, PT. Krisrama mengajukan permohonan perpanjangan HGU berdasarkan surat nomor No.10/PT.KRM/XI/2013 tertanggal 04 November 2013. Pastor Yulius Kuway, SVD selaku direktur PT. Krisrama Maumere yang mengajukan permohonan perpanjangan HGU kepada kepala kantor wilayah BPN Provinsi NTT.
Juru bicara Keuskupan Maumere, Paulus Papo menjelaskan, dipicu konflik antara warga Desa Natarmage yang menempati lahan HGU dengan pengelola lahan, PT Krisrama tahun 2020, Bupati Sikka membentuk tim terpadu Permasalahan tanah HGU. Tim terpadu yang beranggotakan 52 orang menyimpulkan bahwa tidak ada masyarakat adat di Sikka dan tidak ada tanah ulayat. Tim menyatakan tanah ini milik PT Krisrama Maumere melalui HGU.
“Namun kemudian atas perintah Uskup Maumere, PT. Krisrama melepaskan 542 hektare yang sebagian telah diduduki oleh masyarakat kepada Pemerintah Kabupaten Sikka. Lahan itu untuk program Tanah Objek Reformasi Agraria (TORA). Kini sedang disosialisasikan kepada masyarakat untuk dibagikan kepada masyarakat,” kata Paulus.
Atas dasar aturan itu, menurut Paulus, PT Krisrama tidak menganggap ada masalah atau konflik. Proses permohonan perpanjangan HGU mengalami keterlambatan karena adanya klaim warga yang menempati lahan tersebut. Setelah klaim itu diselidiki, Pemkab Sikka menyatakan klaim itu tidak memiliki dasar hukum yang kuat sehingga diabaikan. Pemkab Sikka kemudian meminta kantor ATR/BPN Sikka memproses perpanjangan HGU Nangahale.
“Tanggal 28 Agustus, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sikka menerbitkan sertifikat HGU untuk 10 persil. Maka klaim masyarakat dianggap tidak ada, final,” ujar Paulus.
Kepala Pertanahan Kabupaten Sikka, Herman A. Oematan menjelaskan pihaknya telah menerbitkan 10 sertifikat HGU. Penerbitan sertifikat ini berdasarkan surat dari Kanwil ATR/BPN Provinsi NTT.
Baca juga: Perempuan NTT dalam Lingkaran Kemiskinan Panjang dan Tradisi yang Membebani
“Kami sudah menerbitkan 10 sertifkat berdasarkan surat dari kanwil Badan Pertanahan Provinsi NTT,” kata Herman yang ditemui di ruang kerjanya pada Selasa, 11 Februari 2025.
Surat Kepatusan Kanwil Badan Pertanahan Nasional Provinsi NTT bernomor 01/HGU/BPN.53/VII/2023 tanggal 20 Juli 2023 tentang pemberian Hak Guna Usaha Kepada PT.KRISRAMA seluas 3.258.620 M². Lahan seluas itu mencakup dua wilayah yakni pertama mencakup desa Nangahale Kecamatan Talibura. Dan kedua, Desa Runut Kecamatan Waigete.
Paulus merinci lagi tentang lahan yang diserahkan Keuskupan Maumere seluas 530 hektar sebagai objek tanah reformasi agraria. Lahan inilah yang akan dibagikan ke masyarakat oleh Pemkab Sikka.
Sedangkan 10 sertifikat HGU yang diterbitkan Kanwil ATR BPR Provinsi NTT untuk lahan 325 hektar dengan nomor sertifikat HGU nomor 4 hingga 13.
Paulus Popa, juru bicara Keuskupan Maumere (Yohanes Fandi/KatongNTT.com)
AMAN dan Warga Menolak Redistribusi Lahan
AMAN yang mendampingi warga yang bersengketa dengan PT Krisrama menyatakan, pihaknya menolak usulan Pemkab Sikka untuk redistribusi lahan. Usulan itu dinilai sebagai solusi pemerintah yang diambil secara gegabah dan bukan penyelesaian masalah.
“Yang kami butuhkan adalah pengakuan terhadap masyarakat adat terhadap ritus-ritus mereka di lokasi HGU. Bukan solusi untuk memberikan tanah,” kata Antoniu Tony, Ketua AMAN wilayah Flores Timur.
AMAN menyatakan, solusi harus berdasarkan diskusi bersama masyarakat. Bukan secara sepihak memberikan solusi yang tidak masuk di akal.
“Warga hanya mempertahankan tanah yang menjadi tanah leluhur mereka. Tanah tersebut berdekatan dengan peninggalan sejarah leluhur mereka. Seperti ritus-ritus adat yang ada di lokasi tersebut,” papar Antonius.
Menurut Paulus, keberadaan ritus adat tidak dirusak. Warga diberi akses untuk berkunjung melalukan ritual adat. Hanya saja, ujarnya, Keuskupan mengimbau agar ritual itu terintegrasi dengan iman Katolik.
Selain itu, AMAN sudah meminta Kanwil ATR/BPN menunjukan batas wilayah lahan yang dilepaskan oleh Keuskupan Maumere kepada Pemkab Sikka dan kepada masyarakat sebagai objek tanah reformasi agraria.
John Bala, Dewan AMAN Nasional wilayah Bali Nusra menjelaskan, pihaknya sedang menjalankan amanat AMAN dalam sengketa lahan HGU Nangahale. Amanat itu adalah pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat.
“Kami mempunyai visi dan misi yang dirumuskan bersama dengan dua suku yang ada di Sikka yaitu, suku Soge Natarmage dan suku Goban Runut,” kata John kepada KatongNTT.
Baca juga: Warga Desa Kairane di NTT Rawat 9 Jenis Bibit Jagung Lokal dari Kepunahan
Dia kemudian menjelaskan bahwa AMAN dan warga telah bertemu Menteri ATR/BPN di Jakarta pada 5 November 2015. Pertemuan ini untuk melaporkan tentang lahan eks HGU PT DIAG.
Setahun kemudian, 6 Mei 2016 Keuskupan Maumere mengundang AMAN. Dalam pertemuan itu AMAN meminta Uskup mengembalikan permohonan HGU dan berdialog dengan warga yang menempati lahan HGU.
Setelah itu, AMAN bersama tujuh wakil masyarakat yang bersengketa bertemu Dirjen Penepatan Hak dan Penataan Tanah di Jakarta. Hasil pertemuan itu menyatakan, usulan HGU yang diajukan oleh PT. Krisrama ditunda sejak tahun 2016.
“Pada tahun 2016, dialog dilakukan bersama Bupati Sikka dan kemudian keluar SK Bupati untuk mengidentifikasi, memverifikasi Masyarakat Adat Tana Ai di lokasi HGU, namun SK itu tidak dijalankan. Setelah itu PT. Krisrama tidak lagi mau berdialog,” kata John.
AMAN, ujarnya, telah meminta Kanwil ATR/BPN Provinsi NTT untuk turun dan menunjukan lokasi yang dimaksud di dalam surat balasan pengaduan kasus HGU pada 4 September 2024 pada poin ketiga yang menyampaikan pemerintah telah melepaskan bagian yang telah ditempati warga. Namun pada 22 Januari 2025 PT Krisrama menggusur rumah warga yang sudah ditempati sejak 2014.
Ketua DPRD Stefanus Sumandi meminta agar semua pihak yang bersengketa di lahan HGU PT Krisrama untuk menaati hukum.
“Saya minta agar semua orang taat terhadap hukum yang berlaku di NKRI,” kata Stefanus kepada KatongNTT saat ditemui di Gereja Katedral Maumere pada Jumat, 7 Februari 2025.
Stefanus mengatakan, Dewan tidak menyangkal tentang ritus sejarah dan adat yang dipersoalkan masyarakat yang bersengketa di lahan HGU yang dikelola PT Krisrama. Namun, menurut dia, Dewan belum sampai pada tahap mengeluarkan Perda Hak Ulayat.
“Itu bukan sesuatu masalah yang urgent hari ini,” ujarnya singkat.
Memang, Stefanus mengungkapkan sudah banyak aspirasi tentang Perda masyarakat adat yang disampaikan ke DPRD. Dewan akan mengkajinya secara seksama.
“Tentunya perda ini secara substansi harus berlaku adil untuk semua pihak bukan hanya komunitas masyarakat adat,” kata Stefanus.
Baca juga: Kedaulatan Pangan Lokal NTT, Tantangan dan Peluang
Perjuangan Hari Ini Keluar dari Agenda Awal
Muhammad Yusuf Goban masih mengingat dengan jelas tentang sengketa lahan HGU eks PT DIAG Keuskupan Ende dengan masyarakat sejak dicetuskan hampir seperempat abad lalu. Dia kemudian memutuskan keluar.
“Perjuangan hari ini keluar dari agenda awal perjuangan sejak tahun 1996,” kata Yusuf kepada KatongNTT, 17 Februari 2025.
Awalnya, kata Yusuf, warga termasuk dirinya berjuang untuk menyentuh hati pemerintah dan Gereja untuk memperhatikan umat dan masyarakat suku Tana Ai. Caranya dengan memberikan sebagian lahan kosong eks HGU PT DIAG kepada suku Tana Ai.
Belakanga perjuangan warga di bawah pendampingan Jhon Bala , menurut Yusuf, berbelok menjadi ingin menguasai seluruh lahan eks HGU PT DIAG.
Suku Tana Ai meliputi tiga kecamatan Waigete, Talipura, dan Waiblama di Kabupaten Sikka. Suku Soge Natarmage berada di wilayah Waiblama dan suku Goban di wilayah Waigete.
“Mengapa saya mengangkat masalah itu karena ada dua hal penting yang pertama, pada tahun 1956 Vicariat Apostolik Ende kembalikan tanah seluas 783 hektare kepada Pemerintah Kabupaten Sikka. Dari situ pemerintah Kabupaten Sikka membagikan tanah itu bukan untuk orang asli Tana Ai, tapi bagi untuk orang luar Tana Ai (pendatang-Red),” ujar Yusuf tegas.
Alasan penting kedua, ujar Yusuf, adalah gempa bumi yang disertai tsunami pada 1992 yang meluluhlantakkan lahan masyarakat. Namun PT. DIAG memberikan lahannya kepada Pemerintah Kabupaten Sikka sebanyak 29 hektare kepada masyarakat di luar Tana Ai.
John Bala, Dewan AMAN wilayah Bali dan Nusra (Yohanes Fandi/KatongNTT.com)
Baca juga: Edisi Perempuan NTT: Walau Rajin Berladang, Tapi Pembangunan Meninggalkan Perempuan
Dalam memperjuangkan lahan eks HGU tersebut, Yusuf mengakui bahwa warga membuat peraturan yang memperbolehkan membangun rumah di lahan HGU tapi tidak permanen. Misalnya pondok atau rumah sederhana. Warga juga boleh membuka ladang untuk menanam tanaman yang hanya berumur pendek.
Fakta yang ditemukan KatongNTT di lokasi, hampir semua warga yang berada di lahan HGU PT Krisrama memiliki KTP sebagai warga Soge Natarmage. Selain itu, sekalipun lahan sengketa, listrik mengalir ke rumah warga. Pertanyaannya, bukankah untuk mengajukan permohonan aliran listrik ke PLN membutuhkan syarat denah lokasi dan KTP?
Menurut Paulus, pihaknya pernah mempertanyakan hal itu ke PT PLN. Menurut PLN, ujar Paulus, pihaknya wajib melayani masyarakat yang membutuhkan penerangan listrik. Jika nanti ada permintaan untuk memutuskan aliran dengan alasan jelas, mereka segera melakukannya.
“Saat pembersihan rumah warga pada 22 Januari lalu, kami meminta PLN untuk memutus aliran listrik demi keamanan dan keselamatan semua pihak,” ujar Paulus.
Mengenai KTP yang dimiliki warga, Paulus menjelaskan, masing-masing warga yang membangun rumah di lahan HGU PT Krisrama memiliki rumah di desa Natarmage. Anak-anak mereka pun tinggal dan bersekolah di sana. Bahkan, ada warga yang memiliki beberapa rumah. Sehingga Paulus mempertanyakan motivasi di balik perjuangan mereka di lahan HGU PT Krisrama.
“Mereka tidak menghendaki konflik ini berakhir. Masyarakat yang sudah sadar mempertanyakan kenapa sudah lebih 20 tahun tidak selesai?” kata Paulus. [Fandi|Rita]