Kupang – Pekerja seks anak marak beroperasi di Lembata baik yang menjajakan diri menggunakan grup media sosial, melalui mucikari, atau dijual oleh pacar mereka sendiri.
Anak dari usia 15 sampai 18 tahun yang menjadi pekerja seks ini disebut mencapai jumlah 218 orang. Ada yang diketahui memulainya saat masih duduk di bangku SD.
“Ada yang dari SD kelas 5 sudah menjadi pekerja seks,” tukas Nefri Eken, Pemerhati HIV/AIDS di Kabupaten Lembata saat dihubungi Kamis 7 Desember 2023.
Baca juga : Ratusan Anak NTT Alami Kekerasan Seksual, UU TPKS Dinilai Tak Efektif
Ada dua grup media sosial yang kerap digunakan anak-anak hingga remaja ini yaitu Lonte Online Lembata atau disebut juga Satu Lobang Rame-rame (Salome) dan Seks Kalah Ganti yang melibatkan beberapa pasangan atau party sex.
Menyedihkannya, dua komunitas ini juga sama-sama bisa menjual kembali pasangannya untuk dipakai orang lain.
“Jadi mereka punya cowok yang cowoknya bisa jual mereka kembali,” tandas dia.
Seorang anak di bangku kelas dua SMP, ungkap Nefri, sudah pernah melayani 15 laki-laki sejamnya. Siswi SMP lainnya pun mengaku pernah 32 kali berhubungan badan dengan pria berbeda termasuk siswa SMA. Ada pula siswi SMA yang telah putus sekolah dan mengaku pernah melayani 24 pria berbeda dalam sehari.
Baca juga : Kerentanan Berlapis Perempuan Difabel Hadapi Kekerasan Seksual
“Itu ada yang temannya jual ke ojek dan tetap masuk dalam data WPS (Wanita Pekerja Seks) karena dia perilaku seks aktif,” ungkap inisiator Klinik VCT di Lewoleba ini.
Mereka pun bisa memasang tarif di bawah Rp 50 ribu kepada yang tertarik menggunakan jasa seksual mereka.
“Mereka terbuka juga dipakai dengan harga rata-rata paling rendah Rp 50 ribu. Ada yang Rp 20 ribu. Sudah bisa dibilang fantastis itu Rp 500 ribu yang pelanggannya bisa lebih dari 3 orang,” sebut dia.
Ia menyebut anak-anak ini dikategorikan pekerja seks karena telah melayani lebih dari dua pelanggan dan juga tinggi potensi mereka terpapar HIV-AIDS.
Baca juga : Pria di Matim Paksa Anaknya Jadi Budak Seks Selama 3 Tahun
“Ada yang masih sekolah. Ada yang putus sekolah. 15 tahun, 17 tahun dan 21 tahun itu mereka yang paling dominan. Ada yang usia 30 sampai 45 tahun itu yang kerjanya open BO (Booking Out),” ungkap psikolog seks ini.
Ada pula mucikari di Lembata yang memperjualbelikan anak-anak menjadi pekerja seks komersial dan ada yang tetap bersekolah seperti biasa.
Dalam tes kesehatan beberapa hari lalu pun diketahui 34 anak yang putus sekolah positif sifilis. Sementara sisanya menunggu hasil pemeriksaannya nanti.
“Sudah 34 anak yang kita lakukan pemeriksaan mobile VCT dan rata-rata positif sifilis baik pria dan wanita,” ungkap transpuan yang terlibat dalam PKK Kabupaten Lembata bagian Pokja I terkait remaja ini.
Baca juga : Anak Pekerja Migran Berisiko Besar Jadi Korban Kekerasan Seksual
Nefri menyebut ada anak berusia 19 tahun juga yang terpapar sifilis dan tengah hamil sedangkan tak memiliki BPJS Kesehatan.
Sejak 2011 hingga 2016 pemetaannya dilakukan di berbagai tempat seperti pub. Pada 2017 hingga 2023 pemetaan menjadi lebih luas ke tempat aktivitas seksual yang juga dilakukan anak-anak di bawah umur.
Usia pekerja seks jalanan yang ditemukan ialah dari usia anak hingga 45 tahun. Namun dominasinya adalah pekerja seks usia 15 sampai 21 tahun.
“Meningkatnya aktivitas ini lebih tinggi di tahun 2021 sampai 2023 ini,” ungkapnya.
Baca juga : Transformasi Irene Kanalasari dari Penyintas Kekerasan Seksual Menjadi Pengacara Anak
Dalam pemetaannya diketahui pula populasi kunci yaitu WPS yang mencapai total 507 orang dan 77 orang lainnya telah keluar Lembata. 430 orang sisanya tersebar di 9 kecamatan di kabupaten itu.
Ia menyebut mereka keluar Lembata karena merantau termasuk ke Kota Kupang. Sayangnya, mereka meninggalkan Lembata tanpa sempat diperiksa kesehatannya.
“77 orang yang sudah keluar itu pun saya buat grup (WhatsApp) dan saya adminnya. Untuk 22 orang di Kota Kupang itu saya sudah dapat siapa yang koordinator,” tambah dia.
Baca juga : Kekerasan Seksual di NTT Naik Sejak 2018, Terbanyak di TTS
Ia sebagai pemerhati juga berupaya untuk melakukan pemeriksaan kesehatan melalui dinas terkait terhadap 430 orang yang masih terpencar di Lembata.
Selanjutnya ia rutin memberikan edukasi seks yang sehat, menyadarkan untuk memeriksakan kesehatan sehingga tak terpapar HIV/AIDS.
Dorongan mereka untuk menjadi pekerja seks sendiri, kata dia, berbeda-beda sesuai kategori umurnya. Menurutnya untuk usia 15 – 21 tahun didorong fantasi seks yang didukung dengan berkembangnya teknologi digital saat ini.
Baca juga : Ironi Kekerasan Seksual Anak Marak di NTT, Orang Terdekat Jadi Pelaku, Berdamai Jadi Solusi
Untuk kategori 21 tahun ke atas faktor pendorongnya ialah gaya hidup yang hedon atau ingin fashionable dan akhirnya memilih open BO.
Kelompok usia ini juga memiliki grup khusus yang aktif pertama kali pada 2011 lalu dengan tarif antara Rp 150 ribu hingga Rp 500 ribu.
Sementara ini diketahui juga 321 orang berperilaku Lelaki Seks Lelaki (LSL) di Lembata yang juga terdiri dari kalangan anak usia sekolah. Kemudian 9 orang lainnya berperilaku Perempuan Seks Perempuan (PSP). ***