Kupang – Selama sembilan tahun lamanya, Naomi Muraemu bekerja sebagai Asisten Rumah Tangga (ART) di Malaysia. Selama itu pula jerih lelahnya tak dibayar sepeserpun oleh majikannya.
Jatah makan sehari pun dibatasi, hanya diberi ketika pagi hari. Naomi menyisihkan makanan itu untuk makan siang dan malam. Bekerja tanpa istirahat, tak boleh keluar rumah, tak boleh punya handphone untuk menghubungi keluarga, dan kerap ditampar ketika salah, jadi keseharian Naomi ketika bekerja di Malaysia.
Dengan bantuan tetangga majikannya, Naomi akhirnya berhasil kabur dan diantar ke Kedutaan Besar RI untuk kemudian dipulangkan ke Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Didampingi seorang petugas dari KBRI di Kuala Lumpur, Naomi tiba di Kupang pada 6 Desember 2023. Selanjutnya dia diterbangkan ke Waingapu, Sumba Timur didampingi dua staf BP3MI NTT untuk diantar di kampungnya. Jarak kota Waingapu dan kampung Naomi sekitar tiga jam perjalanan dengan kendaraan bermotor
Dia sudah sangat rindu untuk bertemu keluarganya yang sudah menganggap Naomi meninggal.
*****
Naomi baru menginjak usia 18 tahun ketika ia diajak temannya untuk bekerja di Malaysia.
Baca Juga: 134 PMI NTT Pulang Tak Bernyawa, Terbanyak Sejak 5 Tahun Terakhir
Dia putus sekolah sejak kelas VI Sekolah Dasar. Sehari-hari berkebun menanam ubi, jagung, dan padi, Naomi mulai merasa bosan dan akhirnya tergiur dengan ajakan temannya.
Dengan iming-iming akan mendapat banyak uang, Naomi nekat berangkat bahkan tanpa memberi tahu orang tuanya.
“Awalnya kasih tahu. Tapi mereka tak mau. Bapa saya cakap ‘saya masih kuat. kalau kamu mau pergi kerja tunggu saya mati dulu’.Tapi saya tidak mau, jadi saya kabur, tidak kasih tahu mereka,” ujar Naomi dengan logat Malaysia yang sudah kental.
Seminggu menginap di Waingapu oleh orang yang membawanya, kemudian dengan kapal mereka menyeberang ke Kupang.
Baca Juga: PMI NTT Terus Terlantar di Kalbar, Ada Pesan Khusus Untuk Mahfud MD
Setibanya di Kupang, ia dan dua teman lainnya langsung dijemput oleh seorang pria menyebut diri sebagai Jhon . Dia mengaku sebagai kepala perusahaan yang akan mengurus keberangkatan mereka.
Di Kupang, KTP dan paspor diurus pria tersebut dengan memalsukan data diri mereka.
“Namanya pak John, tidak tahu John siapa. Satu minggu di Kupang baru pakai pesawat ke Batam. Baru terus ke Malaysia pakai kapal laut,” cerita perempuan 29 tahun itu.
Setibanya di Malaysia, sehari kemudian majikannya datang menjemputnya.
Kehidupannya yang kejam dimulai hari itu juga.
Baca Juga: Kehidupan Anak Pekerja Migran Yang Terabaikan
Ketiadaan kontrak yang adalah kesepakatan antara majikan ART soal jatah kerja dan jumlah gaji membuat Naomi dieksploitasi majikannya.
“Kerja rumah tangga. Tapi mereka punya toko jadi saya kerja di situ juga. Tapi tidak ada istirahat, makan pun hanya kasih di satu tempat kecil untuk makan pagi sampai malam,” ujarnya.
Banyaknya kerja yang harus ia lakukan namun tanpa dibayar selama empat bulan, membuat Naomi nekad kabur dari rumah majikannya.
Di tengah perjalanan tanpa tujuan itu, Naomi bertemu seorang perempuan yang kemudian mengajaknya untuk bekerja di rumah mereka. Dia sempat mempertanyakan kewarganegaraan Naomi.
“Saya Indonesia. Ia cakap, ‘kamu kerja dengan saya saja. Kerja dua tahun baru saya kasih pulangkan kamu ke Indonesia’. Tapi dua tahun kerja, saya minta pulang dia bilang masih sibuk,” ujar Naomi.
Baca Juga: Hamil 2 Bulan, PMI NTT Ditelantarkan Perusahaan Hingga Tewas
Majikan keduanya yang berjualan roti India ini membuat Naomi setiap harinya dari jam 05.00 pagi harus mulai membuat roti.
Pekerja hanya dia sendiri. Membuat roti tujuh jenis berbeda, dan juga di sela-sela itu mengurus tiga anak majikan yang masih kecil. Juga membersihkan rumah.
“Satu hari buat roti banyak. Sekitar tujuh macam. Majikan itu jual Senin hingga Minggu. Tidak ada istirahat. Trus masak lagi untuk makan,” ucap Naomi.
Keperluan pokoknya ditanggung oleh majikan. Namun dia dilarang keluar rumah dan tak diizinkan menggunakan handphone walau hanya sekadar untuk menghubungi keluarganya.
Jika salah, tak tanggung-tanggung ia ditampar oleh majikannya.
Baca Juga: Benny Rhamdani Bicara Lapangan Kerja di Hadapan Jenazah PMI Asal NTT
Sembilan tahun ia menjalani hidup seperti itu hingga satu hari Naomi diizinkan untuk keluar rumah membuang sampah.
Mengetahui keberadaan Naomi yang kemungkinan dipaksa bekerja, tetangga majikannya menghampirinya dan mengajaknya untuk kabur dari rumah tersebut.
“Jadi tetangga itu cakap “you masih mau di sini tak? kalau tak saya antar you ke KBRI,” kata Naomi.
Tanpa pikir panjang, Naomi langsung bersedia diantar ke Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur. Januari 2021.
Pihak KBRI kemudian melapor pada pihak berwajib akan tindakan majikan Naomi yang tak membayar upah pekerjanya.
Baca Juga: Benahi Prosedur dan Kompetensi, Tingkatkan Penempatan PMI ke Australia
Naomi yang tinggal di KBRI untuk mengurus haknya sudah mengikuti dua kali sidang untuk memberikan keterangan akan kasusnya. Pada Maret 2024 sidang terakhir atas kasusnya.
“Semoga saja hasilnya baik,” harapnya.
Naomi mengaku bersalah.
“Saya sudah tobat. Pergi (bekerja keluar negeri) harus resmi. Harus izin orang tua. Saya di sana menangis hari-hari. Ini pasti kualat dengan orang tua. Waktu mau datang saya dapat kabar kalau bapa saya sudah meninggal. Saya menyesal,” ujar Naomi.
*****
Kisah memilukan Naomi adalah kisah Pekerja Migran Indonesia dari NTT kesekian yang pernah ada.
Baca Juga: Ayodhia Tiba Disusul Kiriman Jenazah PMI dari Malaysia
Begitu banyak cerita pilu yang dibawa pulang PMI NTT. Penyiksaan, gaji tak dibayar, bahkan kematian.
Hingga 11 November 2023i sudah 134 jenazah PMI NTT yang dipulangkan.
Rata-rata jenazah PMI NTT yang pulang dengan tanpa nyawa ini adalah non prosedural.
Namun hal ini tak mengurangi keinginan banyak orang Indonesia untuk bekerja di luar negeri ketimbang bekerja di tanah sendiri.
Data KBRI mencatat, terdapat 3 negera terbesar jumlah PMI yang legal.
Baca Juga: PMI Jadi Potensi Devisa Bank NTT
Pertama, Malaysia dengan 425 ribu PMI yang legal. Kedua, di Singapura 125 ribu yang terdata. Ketiga, Brunei Darussalam ada 28.220 orang pada 2022.
Pekerjaan PMI kebanyakan di sektor informal atau ART.
Koordinator Fungsi Protokol dan Konsuler Konsulat Republik Indonesia (KRI) Tawau, Malaysia Calderon Dalimunthe beberapa waktu lalu di Kupang menyebut, jumlah pekerja non prosedural ini diperkirakan dua kali lebih banyak daripada yang terdata secara resmi.
Kepala BP3MI NTT, Siwa, pada beberapa waktu lalu menyatakan tak apa memilih bekerja di luar negeri. Asalkan masyarakat memiliki kesadaran dengan melengkapi persyaratan dan dokumen sebelum berangkat bekerja ke luar negeri. *****