Kupang – Pemerhati Pendidikan dari Undana Kupang, Marsel Robot, memberi catatan kritis mengenai pelajar yang terlibat dalam kasus penganiayaan transpuan di Kota Kupang.
Kasus penganiayaan pada dini hari 23 Desember 2023 itu menyebabkan transpuan 33 tahun bernama Desy Aurelia alias Oktovianus Tafuli meninggal dunia.
Dua pelakunya adalah pelajar SMA dan salah satunya merupakan anak anggota DPRD Kota Kupang aktif dari Partai Demokrat. Keduanya bersekolah di SMAN 7 Kupang.
Baca juga : Kronologi dan Motif Pelaku Aniaya Transpuan Hingga Tewas
Totalnya 4 pelaku yang saat itu berada di bawah pengaruh miras dan menganiaya Desy sekitar pukul 02.00 WITA. Transpuan asal Ayotupas Kabupaten Kupang itu terkapar dan bersimbah darah. Nyawanya tak bisa diselamatkan lagi saat dibawa ke rumah sakit.
Kebiasaan mengonsumsi miras di jalanan seperti ini, menurut Marsel, tampaknya sudah 20 tahun berlangsung di Kota Kupang dan meresahkan masyarakat. Para pengguna jalan kadang terpaksa meminta permisi ke kumpulan pemabuk ini agar bisa melintas.
Secara psikologis, kata dia, ini cara anak-anak dan remaja mencari indentitas diri alih-alih menggunakan cara yang positif seperti anak berprestasi lainnya.
Baca juga : Rabies Renggut 29 Jiwa di NTT, Anak Terbanyak
Ia menyoroti peran keluarga sebagai pondasi pertama pendidikan dan dalam mengontrol pergaulan anak-anak mereka. Sementara peran sekolah ialah meneruskan nilai-nilai yang telah ditanamkan di dalam keluarga.
“Ada yang mencari identitas dirinya dengan cara yang negatif. Nah ini kita sangat berbeda dengan pendidikan di negara lain bahwa keluarga adalah basis pendidikan bukan semata tempat memberikan makan dan minum,” jelasnya.
Pada sisi lain, sekolah adalah tempat menjalankan dua hal yaitu pendidikan dan pembelajaran. Pendidikan inilah yang berkaitan dengan perilaku. Apapun kecerdasannya pada ujungnya harus bisa mengubah tingkah laku.
Baca juga : PT. Flobamor Tolak Tarif Masuk TN Komodo Dipayungi Hukum
“Bila itu tidak didapatkan di sekolah, di rumah juga, maka mereka mencarinya di jalan. Jadi di jalanan itu mereka mencari perhatian, menyatakan eksistensi, menyatakan identitas dengan cara yang amat negatif,” tukasnya.
Menurut Marsel ini jadi suatu bagian dari pembelajaran yang paling buruk di dalam kebiasaan menenggak miras di pinggir jalan yang sudah berlangsung lama ini.
Marsel juga menegaskan hal serius. Ia mengatakan saat ini tidak bisa dibedakan lagi anak-anak yang tidak bersekolah dengan pelajar.
Baca juga : Awal Mula Bocah SD di Kupang Bawa Pistol Rakitan ke Sekolah
“Makanya saya pernah tulis di salah satu surat kabar, kita punya banyak anak sekolah tapi sangat sedikit pelajar,” tegas Marsel.
“Jadi ke sekolah itu mereka hanya pergi saja tetapi tidak ada yang belajar biar dia bisa cerdas dan budi pekertinya baik, itu jarang, kita punya ribuan anak sekolah tapi tidak banyak yang terdidik,” lanjutnya lagi.
Sebenarnya keluarga hingga sekolah adalah pondasi penting bagi anak-anak. Sekolah tak bisa lepas tanggung jawab sosialnya atas apa yang dilakukan anak-anak di luar jam sekolah.
Baca juga : UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual Belum Bisa Diterapkan
“Karena sekolah itu tidak berdiri di tengah lautan yang tidak punya hubungan dengan masyarakat sosial dan seterusnya. Sekolah itu bagian dari masyarakat,” tandasnya lagi.
Hukuman pidana yang setimpal perlu dijatuhkan sebagai didikan moral bagi generasi saat ini baik itu pelajar maupun mahasiswa yang melanggar hukum.
“Ini pun sebenarnya tamparan bagi lembaga pendidikan kita,” kata dia.
Ia ingin kasus ini dilihat secara luas, bukan lagi dilihat sebagai kasus perorangan, karena status pelaku adalah pelajar dan mahasiswa maka ada kaitannya pula dengan institusi pendidikan.
Baca juga : 7 Negara Terbaik Sistem Pendidikan di Dunia Tak Satupun Terapkan Sekolah Subuh
Pemerintah pun harus memperhatikan dengan sangat serius kebiasaan anak-anak yang menghabiskan waktu dengan menenggak miras di pinggir jalan.
Perilaku anarkisme seringkali muncul dengan mabuk sebagai alasan. Misalnya anak-anak atau remaja ini bisa memalak pelintas jalan, memarahi orang-orang, bahkan sampai melakukan penyerangan.
Mirisnya, kata Marsel, sangat mudah menemukan gereja di Kota Kupang, namun kehadiran umatnya hanya formalitas karena berbanding terbalik dengan tindakan aktualnya di masyarakat.
Baca juga : Sejarah Gereja Katedral di Kupang yang Diresmikan Jokowi
“Tapi perilaku kita tidak mencerminkan itu. Realitas dalam gereja itu sebatas oral atau verbal saja lalu tidak diterapkan,” lanjut Marsel lagi.
Adanya kasus seperti ini pun sudah merusak cerminan Kota Kupang berjuluk Kota Kasih. Untuk itu institusi pendidikan, masyarakat, hingga pemerintah perlu berbenah dan melihat kembali peran orang tua, guru, dan pemerintah itu sendiri. ***