Lembata – ‘Kalau berhenti dari guru, tidak bisa jadi PNS. Kenapa pilih begini? Uang tidak ada,’.
Begitu ungkapan yang didapat Maria Loka dari keluarganya ketika memilih menjadi pegiat perempuan dan anak di Permata Lembata.
Bersama suaminya yang adalah seorang pengojek, Maria menjalani hari dengan mendampingi banyak korban kekerasan perempuan dan anak di Lembata.
Mengadvokasi mereka untuk menempuh jalur hukum, untuk tidak diam dan menindaklanjuti kasus yang menimpa para korban.
Baca juga: Kerentanan Berlapis Perempuan Difabel Hadapi Kekerasan Seksual
Rumahnya kerap jadi ruang aman bagi para korban. Maria dan suami tanpa ragu menampung mereka.
“Kadang yang tinggal di rumah itu sampai 15 orang. Kami beli beras juga bukan sekarung, biar lima kilo lima kilo tapi mereka tidak kelaparan dengan kami,” ujar Maria.
*****
Maria Loka awalnya adalah seorang guru agama honorer di Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Setelah beberapa bulan menjadi guru, ia berhenti dan memilih tergabung dalam satu Lembaga yang fokus ke anak dan perempuan juga. Yaitu Sedon Senare.
Baca juga: Kades Maubesi Vinsentius Berkeliling Dusun Demi Warganya Tak Terkena Jaring Perdagangan Orang
“Saya terinspirasi awal itu dari bapak asuh saya. Jadi dia mau meninggal dunia 10 jam sebelum itu dia sudah pesan untuk saya harus berjuang dan membela orang-orang kecil,” cerita Maria.
Cerita baik bapak asuhnya semasa hidup yang mendirikan sebuah PAUD di masa pensiunnya, menjadi teladan bagi Maria untuk meneruskan jejak baik itu.
Baru beberapa hari bekerja di Sedon Senare, Maria terus mendapat laporan kekerasan pada perempuan dan anak.
Hingga satu anak datang melapor yang ternyata adalah keponakannya sendiri.
Baca juga: Sehari NTT Terima 3 Jenazah Pekerja Kebun Sawit dari Malaysia
“Terima laporan dari keponakan saya sendiri. Keponakan saya itu masih usia SMP. Dan ia mengalami kekerasan seksual ayng cukup sadis saat itu. Dia dipukul oleh istri pelaku sampai keguguran. Ia dipaksa untuk pindah agama, setelah itu malah dia ditinggalkan,” ujar Maria mengenang Kembali cerita pilu ponakannya saat itu.
Maria terpukul dan mulai berjanji untuk mendedikasikan diri untuk mendampingi perempuan dan anak di Lembata.
“Saya mulai prihatin. Saya mulai berjuang mulai saat itu,” kata perempuan 46 tahun ini.
Baca juga: Jumlah Penyandang HIV Meningkat Tajam di 19 Kabupaten dan Kota di NTT
Ia mencoba masuk ke pemeritahan. Dengan menjadi personil Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A).
Namun kemudian di 31 Desember 2017, bupati Lembata merumahkan semua honorer. Termasuk dirinya.
Maria bersama dua orang temannya kemudian bersepakat untuk membangun sebuh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk isu perempuan dan anak. Dibangunlah Permata Lembata pada 28 Mei 2018.
Baca juga: Awal Desember, 7 Kecamatan di NTT Status Awas Hujan Lebat
Permata, adalah akronim dari Peduli Perempuan dan Anak Lembata. Lembaganya ini ia dirikan untuk fokus menjadi ruang aman bagi perempuan dan anak yang mengalami kasus kekerasan.
Tak hanya mengadvokasi mereka yang mengalami kekerasan, siapa saja yang butuh ruang untuk bercerita mereka pun melayani.
Di Permata juga mendampingi mereka yang terkena HIV/AIDS.
Baca juga: Permintaan Kades Direspons, Jenazah PMI dari Malaysia Tiba di Sumba
“Karena ketika korban-korban ini distigma, mereka mau berlindung di mana? Jadi semua persoalan ketidakadilan soal perempuan kami ada di sana. Walau kapasitas kami itu masih jauh dari harapan, tapi kami berupaya tetap di sana,” kata ibu empat anak ini.
Antara Budaya dan Lingkaran Kekerasan yang Tiada Berkesudahan di Lembata
Data Kementerian Pemeberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPA) RI menyatakan, sejak 2018 hingga 2022 tak ada laporan kekerasan pada perempuan dan anak di Lembata.
Sedangkan Permata sendiri mencatat ada laporan kekerasan yang meningkat tiap tahunnya.

Meningkatnya catatan pelaporan kekerasan ini membuktikan korban akhirnya mulai sadar untuk tidak memilih diam saja.
Baca juga: Mengenal 4 Jenis Kekerasan Yang Dialami Perempuan
Selama ini banyak kekerasan yang terjadi namun korban enggan melapor. Entah karena ketidak tahuan harus melapor ke mana, atau takut akan adanya stigma dan perundungan dari lingkungan sekitar. Bahkan, ada pula yang disebut diselesikan dengan adat. Sehingga banyak kasus berakhir tanpa peradilan.
Pada kasus keponakan Maria, setelah dihamili, dipukul, dipaksa, dihina, dan ditinggalkan, penyelesaian kasus itu berhenti pada penyelesaian adat istiadat.
Aparat Penegak Hukum pun kala itu percaya, jika kasus-kasus seperti ini sudah cukup ditangani dengan adat.
Pelaku hingga kini bebas, sedang korban memikul beban mental, stigma, dan ekonomi atas anak yang dihamilinya.
Baca juga: Warga NTT Diduga Korban TPPO Ditemukan di Batam, Kondisinya Menyedihkan
“Waktu itu kami buat laporan polisi tapi laporan kami tidak diterima. Dengan alasan karena waktu itu keluarga sudah menerima barang-barang adat. Malah waktu itu ditantang pergi kembalikan barang-barang adat itu dulu. Setelah itu baru laporan kami proses. Waktu itu kami tidak berdaya sekali melawan polisi saat itu, dan kasusnya terdiam sampai hari ini,” cerita Maria.
Dari situ ia belajar untuk jangan lagi membiarkan korban sendiri dan keluarga sepenuhnya terperdaya oleh apa kata adat yang sejatinya tak berpihak pada korban sama sekali.
Baca juga: Ratusan Lelaki Seks Lelaki di Lembata Termasuk Usia Anak-anak
Kerja-kerja mereka semakin dilihat dan makin banyak korban yang kemudian berani membuka diri untuk melapor.
“Saya melihat sudah ada peningkatan orang untuk melapor. Bahkan orang di luar Lembata juga ada yang melapor. Saya hanya memberi arahan untuk mereka. Tapi angka kesadaran masyarakat untuk melapor sudah tinggi,” katanya.
Namun meski demikian, masyarakat masih banyak pula yang melihat suatu masalah dengan tidak berprespektif korban.
Para korban masih kerap disalahkan dan mendapat perundungan, sedang pelaku malah dimaklumi.
Baca juga: Kasus Guru Suruh Siswa Celup Tangan di Air Panas Berakhir Damai
“Untuk masyarakat, lebih mempermasalahkan korban. Mereka maki hancur korban. Pengalaman ada satu korban dengan enam pelaku, dia malah dibully habis habisan oleh keluarga. Dalam satu desa itu. Dan memang anak itu cukup terpukul dan pernah dibawah ke psikiater di Maumere,” ceritanya.

Ada pula beberapa kasus anak sebagai pelaku itu karena mereka pacaran. Di mana orang tua sudah tahu hubungan mereka. Sehingga ketika terjadi kekerasan seksual, orang tua hanya mengurus adat dengan menikahkan mereka. Selanjutnya, siklus kekerasan terus berulang hingga kini.
“Jadi nanti ketahuannya di tingginya kehamilan muda itu. Budaya juga mendukung. Jadi nanti kita temui KDRT, penelantaran, itu nanti ada,” jelasnya.
Respon sosial ini yang dinilai masih kurang sehingga banyak persoalan anak terjadi, namun malah dilihat seperti hal biasa.
Baca juga: 218 Pekerja Seks Anak di Lembata Punya Grup Online Sampai Dijual Pacar Sendiri
“Sehingga muncul seperti pekerja seks jalanan itu, mereka di sana justru tertawa, jadikan itu bahan lelucon,” ungkap Maria.
Upaya dan Juang
Selain menampung mereka yang adalah korban kekerasan, Maria pun menjaga anak bayi dari korban kekerasan seksual di Lembata.
Anak-anak hasil pemerkosaan ini nantinya akan diberi pada keluarga yang bersedia merawat bayi-bayi ini.
Biasanya oleh keluarga yang belum punya anak, atau belum punya anak laki-laki maupun perempuan.
“Tapi kami mengedukasi lagi, agar jangan sampai kejadian seperti itu lagi. Jadi mereka tanda tangan di atas meterai di surat penyerahan. Kami lihat orang tua dengan latar belakang ekonomi baik,” jelas Maria.
Baca juga: Pengasuh Ponpes Perkosa 2 Santri di Matim, Ancam Bunuh Orangtua Korban
Selain itu, Maria hanya bisa berharap Lembaga agama pun makin sering mendampingi para korban untuk berjuang.
“Saya bersyukur karena ada koperasi GMIT yang memperdaya perempuan-perempuan (korban kekerasan) ini untuk punya kerja yang jelas. Setiap minggu itu ada kegiatan untuk mereka,” ungkapnya.
Maria pun berharap adanya psikolog maupun psikiater di tanah Lembata agar memudahkan mereka dalam menangani korban kekerasan yang tak jarang mengalami gangguan mental.
Maria menyatakan, ketersediaan psikolog belum ada sehingga mereka harus keluar pulau jika butuh penanganan dari pihak-pihak ini.
Baca juga: Pemuda Asal Bokong Buat Web Desa untuk Permudah Akses Layanan
“Ada lulusan psikologi dari Lembata. Tapi dia lebih memilih bekerja di luar daerah. Ini baru kali pertama juga kami datang Kupang untuk mengikuti pemeriksaan dari psikiater,” ungkap Maria.
Selain itu, harapnya pemerintah juga bisa mengalokasikan dana bagi para korban kekerasan.
Selama ini, dana yang didapat Maria adalah hasil sumbangsih dari orang-orang yang berempati. Atau dari korban KDRT yang berduit. Mereka kerap membantu Permata baik itu dalam bentuk uang maupun pakaian.
Baca juga: Ai Uhik Kuhus, Ubi Kukus Khas Perbatasan Indonesia-Timor Leste
Sejak 2018, baru di 2021 lalu Permata mendapat bantuan kemanusiaan dari Indonesia Untuk kemanusiaan (IKA).
“Dengan 20 juta kami mengadvokasi 183 kasus di 2021 saja. Waktu itu sedang corona. Tapi angka kekerasan seksual itu cukup tinggi,” ujar Maria.
Selain dari pada itu, Maria dan suami menggunakan uang pribadi untuk menjalankan misi kemanusiaan mereka ini.
“Saya hanya percaya bahwa restu dari Lewo Tana, dari Tuhan itu pasti,” pungkasnya. ***